Menebar Islam Yang Damai -->
Cari Judul Esai

Advertisement

Menebar Islam Yang Damai

M Abdullah Badri
Minggu, 04 April 2010
Flashdisk Ebook Islami

Jual Kacamata Minus
Oleh M Abdullah Badri

Semua orang Islam sepakat bahwa diutusnya Nabi Muhammad Sallahu Alaihi Wasallam ke dunia ini adalah untuk membawa kedamaian (rahmat) kepada seluruh alam, tanpa membedakan agama, suku, warna kulit dan keyakinan, baik manusia, tumbuhan maupun binatang. Semua menjadi bagian dari dakwah Nabi. Bahkan, setiap makhluk yang ada di dunia ini bershalawat kepada beliau, karena telah membawa dunia dalam perdamaian. Dalam Al-Qur’an, Allah berfirman: “Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.” (Al-Anbiya’: 107).

Lalu, bagaimana rahmat itu diwujudkan dalam kehidupan nyata ini? Apakah dengan pemaksaan? Tidak. Sama sekali tidak. Allah menurunkan Al-Qur’an tidak serta merta menggunakan simbol-simbol mengerikan dan menakutkan. Sifat Allah, sebagaimana disebutkan dalam kalimat bismillahirrahmanirrahim (dengan menyebut nama Allah yang maha pangasih lagi maha penyayang), adalah dzat yang maha kasih dan penyayang. Allah memerintahkan kita untuk mengedepankan sikap saling mangasihi daripada membenci. Nabi telah mencontohkan itu. Bahkan, dalam berdakwah, Nabi tidak menggunakan pendekatan yang keras, namun menggunakan menggunakan sikap saling memahami, toleran dan menjaga kedamaian. Terbukti, dengan sifat rahmat tersebut, Nabi bisa mensyiarkan Islam hingga ke seluruh jazirah Arab.

Itulah yang ditiru Walisongo dalam mendakwahkan Islam di bumi nusantara ini. Hanya di Indonesia, Islam bisa masuk tanpa pertumpahan darah, peperangan. Dan ternyata terbukti menjadi agama mayoritas terbesar di dunia. Tidak seperti dakwah Islam yang masuk dengan menggunakan peperangan seperti di Iraq, Iran, Syiria, Mesir dan beberapa negeri Timur Tengah. Waktu itu, perluasan daerah Islam yang dilancarkan pada masa Dinasti Umayyah dan Abbasiyyah sering ditaklukkan dengan perang. Sehingga, pertumpahan darah tak bisa dihindarkan. Ujung-ujungnya, sifat Islam yang diwarisi oleh negara-negara tersebut terkenal kaku, sangar dan tidak toleran. Bahkan disebut sebagai “sarang orang-orang sangar”. Apapun yang bertentangan dengan Islam ditolak dan dubumihanguskan. Bahkan, dengan gampang mereka menyebut bid’ah segala hal yang tidak pernah terdapat dalam masa Nabi.

Walisongo tidak demikian. Mereka mendakwahkan Islam dengan mendekati praktek keseharian dan budaya masyarakat Jawa, karena memang mereka bukan penduduk asli Jawa. Mereka berusaha memahami bagaimana cara berpikir dan bertindak orang Jawa. Mereka mempelajari tradisi yang berkembang ketika itu. Jika mereka menemui budaya yang bertentangan dengan nilai-nilai Islam, mereka akan mengubahnya, namun secara bertahap, bukan langsung main sesat-menyesatkan dan syirik-mensyirikkan. Demikianlah sifat Nabi.

Kita tentu mengetahui bagaimana tahapan hukum minuman keras, yang dulu hanya disebut sebagai sesuatu yang lebih banyak manfaat daripada madlaratnya, kemudian dilarang meminumnya ketika akan melaksanakan shalat dan baru kemudian akhirnya diharamkan karena termasuk perbuatan setan. Itulah tahapan dakwah Nabi ketika itu.

Dengan mempelajari budaya, jangan khawatir Islam tidak akan kehilangan ruhnya. Bahkan akan semakin kuat dalam sanubari, karena orang yang didakwahi tidak merasa kehilangan identitasnya. Islam menjadi bagian dari hidupnya, bukan ajarannya semata.
Sayangnya, sekarang ini banyak upaya dari sebagian orang yang mengatasnamakan Islam kembali mengusik budaya umat Islam Indonesia yang selama ini sudah mengakar. Mereka takut Islam akan hangus manakala Islam ala Timur Tengah tidak diterapkan secara kaffah (menyeluruh [dalam tafsir mereka]). Dalam diri, mereka menganggap bahwa hanya Islam versi merekalah yang paling murni, paling sesuai dengan ajaran Nabi. Sehingga, tradisi positif yang sudah ada dalam masyarakat diputar ulang sesuai tafsir mereka. Orang yang tidak sesuai dengan pamahaman mereka dianggap masih belum melaksanakan Islam dengan benar. Pemahaman jenis inilah yang khas Islam Timur Tengah. Akhirnya, dakwah mereka terkesan sangar dan tidak toleran. Kekerasan menjadi jalan keluar, bukan dialog.

Dialog yang dimaksudkan adalah dengan memahami dan mengerti, bukan memaksakan kehendak. Islam akan kehilangan sejarahnya manakala tidak ditempatkan dan ditancapkan dalam hati masyarakat yang berbentuk budaya. Melalui pintu budaya, Islam akan menemukan wujud sesungguhnya. Dalam bahasa Gus Dur, pemahaman Islam semacam ini disebut dengan “pribumisasi Islam”. Yakni memasukkan jiwa-jiwa Islam dalam “perut” budaya, bukan mencongkelnya dari corak dan pola pikir masyarakat. Dengan demikian, pertumpahan darah dalam dakwah tidak akan terjadi. Bahkan antara Islam dan budaya akan saling mengisi, bukan mengurangi, apalagi memerangi. Jelas, karena Islam adalah rahmatan lilalamin, termasuk rahmat dalam budaya. Bukan la’natan lilalamin, laknat terhadap budaya, mematikan tradisi.

Sangat disayangkan manakala dakwah Islam harus menggunakan kekerasan, sebagaimana terjadi di Monas beberapa waktu lalu. Tindakan semacam itu justru akan membuat citra Islam tidak lebih sebagai agama suku yang suka kekerasan, bukan cinta kedamaian. Sehingga akan dijauhi. Bukan rahmat yang ditebar, namun laknat. Mari tebarkan Islam yang damai, toleran dan moderat! Mumpung jembar kalangane, mumpung padang rembulane. Dengan apa? Tentu dengan sikap saling memahami, bukan memusuhi. Tanpa membedakan suku, ras dan warna kulit. Bukankah Nabi mengajarkan demikian?

(Dimuat Bulletin Padhang Bulan Lakpesdam NU Semarang, Juni 2008)
Flashdisk Ribuan Kitab PDF

close
Iklan Flashdisk Gus Baha