Logika Kapital Tradisi Nyumbang -->
Cari Judul Esai

Advertisement

Logika Kapital Tradisi Nyumbang

M Abdullah Badri
Minggu, 04 April 2010
Flashdisk Ebook Islami

Jual Kacamata Minus
Oleh M Abdullah Badri

Beberapa waktu lalu, ketika bertemu dengan kawan lama di sebuah acara, ia meminta saya untuk mendoakan agar acara pernikahannya yang akan dilaksanakan beberapa bulan lagi dihadiri banyak tamu. Selain itu, ia juga meminta pertimbangan saya untuk menentukan kapan waktu yang tepat untuk melangsungkan pernikahan. Bak paranormal, saya menjawab sekenanya, ia pun mantap dengan jawaban saya. Ketika saya tanya apa perlunya menyesuaikan tanggal nikah? Ia menjawab supaya tamu yang datang juga banyak. Lho kok?

Pernikahan adalah upacara sakral yang harus disertai dengan ikhlas menjalankan sunnah nabi. Namun sayang, kini kerap kali ketika orang akan melangsungkan upacara pernikahan (resepsi) justru dimanfatkan sebagai momen mengumpulkan kekayaan dengan mengundang sebanyak-banyaknya tamu. Logikanya, lebih banyak tamu, lebih banyak pula “pemasukan”.

Apapun akan dilakukan agar tamu yang datang datang dari segala arah, termasuk dengan mencari tanggal yang tepat. Dari sini, logika kapital mulai berjalan. Sebenarnya tidak ada masalah untuk mencari hari yang cocok dengan dengan kemaslahatan hari esok –karena itu merupakan kearifan lokal yang sudah berlaku berabad-abad dalam masyarakat Jawa-, namun ketika niat itu dibelokkan untuk mencari keuntungan materi, yang timbul kemudian adalah terkikisnya nuansa sakral yang seharusnya ada. Tradisi, dan bahkan agama, yang mulanya menyimpan kearifan lokal, hilang terganti oleh logika kapital.

Untuk mencapai target tamu yang datang, undangan banyak disebar. Kemanapun. Bukan hanya kepada sanak kerabat, handai tolan dan relasi, tetapi kepada orang yang belum pernah dikenal nan jauh berada disana. Beberapa kali saya pribadi menjumpai hal demikian. Para pejabat setempat bahkan mungkin juga tidak luput dari sasaran undangan “pernikahan gelap” yang entah. Sebab ia adalah publik figur, barangkali.

Khusus untuk para nama-nama yang dianggap penting, dalam beberapa kasus, sebagaimana yang saya jumpai, ternyata mereka menjadi “sasaran penting” undangan. Terutama kepada mereka yang sedang membangun citra atau sedang dalam masa kampanye. Yang mengherankan lagi, meski nama-nama penting itu merasa tidak kenal, toh sebagian dari mereka sudi datang. Hanya untuk memenuhi hasrat pribadinya. Gila bukan? Dengan datang ke lokasi undangan, paling tidak mereka mendapatkan keuntungan berupa kepopuleran. Upacara pernikahan –saya pikir juga acara seremonial lainnya- kini disesaki dengan orang-orang yang penuh hasrat kapital. Yang satu memperoleh keuntungan materi, satunya lagi popularitas.

Orientasi Kapitalistik
Lalu, apa soal memperbincangkan hal demikian? Dalam paradigma positivisme, gejala tersebut tidak akan dipermasalahkan, selama tidak mengganggu kemaslahatan umum. Namun, jika dilihat dalam konstruk pemikiran budaya, hal semacam itu jelas menunjukkan sinyal yang negatif. Sebab, fenomena tersebut jelas telah menggeser nilai luhur budaya, berupa terjalinnya rasa pesaudaraan saling membantu, bukan saling menguntungkan dalam arti positifistik. Jika relasi yang terbangun dalam budaya adalah hirarki persaudaraan-sosial-spiritual, maka relasi dalam nuansa kapital adalah hirarki keuntungan-pribadi-politik. Budaya kemudian tidak dimengerti dalam ikatan spiritual, namun lebih sebagai hubungan ekonomi.

Kita tidak menyalahkan secara mutlak apa yang diperbuat oleh saudara kita dalam kasus diatas. Sebab, mereka melaksanakan hal demikian juga dalam rangka memenuhi kamaslahatan hidup mereka, agar upacara yang diadakan tidak merugikan diri sendiri. Namun yang menjadi masalah kemudian adalah ketika ia, dalam suatu waktu, tidak mampu lagi mengembalikan “pinjaman” yang pernah diberikan oleh para tamu undangan yang dulu pernah diundang, ketika ada “upacara balasan”.

Ada kejadian yang ironis, ketika seseorang usai melaksanakan upacara pernikahan dengan sangat mewah dan dihadiri banyak tamu undangan, baik dari masyarakat sekitar maupun dari luar daerah, selang beberapa minggu kemudian, pasangan pengantin yang telah mendapatkan sumbangan begitu banyak itu tiba-tiba pindah ke daerah lain, keluar kampung.

Kontan, karena logika kapital sudah mengakar dalam tradisi nyumbang, masyarakat sekitar merasa dikibuli. Harapan mereka agar sumbangan yang telah diberikan kepada pasangan itu kelak dikembalikan pupus akibat kepergiannya. Tentu hal ini meresahkan masyarakat. Inilah buah dari logika kapital yang telah menghilangkan nilai persaudaraan dalam upacara-upacara pernikahan.

Sulit memang mengubah orientasi masyarakat yang kadung kapitalistik dan individualistik. Jika menunggu campur tangan pemerintah untuk mengatur mekanisme nalar semacam itu jelas akan mengahabiskan energi, sebab ini adalah wilayah budaya, bukan wilayah politik, apalagi politik budaya. Satu-satunya hal yang dapat kita lakukan adalah dengan memulai dari diri sendiri, memahami relasi positif yang seharusnya dijadikan pijakan dalam setiap kehidupan kita.

Apa yang saya jelaskan kepada kawan lama saya diatas tentang pentingnya nilai budaya sedikit banyak mengembalikan apa yang selama ini telah hilang dari budaya kita. Karena ia akhirnya memahami.

(Dimuat Kompas, Sabtu, 13 Desember 2008)
Flashdisk Ribuan Kitab PDF

close
Iklan Flashdisk Gus Baha