Ilustrasi mencari sesuap kerang batik. Foto: badriologi.com. |
Oleh M. Abdullah Badri
NASAB itu bonus. Nasab bukan amal. Ia termasuk takdir mubrom yang tidak bisa dipilih by request kepada Allah Swt. Karena itulah, nyacat (tha'n) atas nasab termasuk minal kaba'ir (dosa besar).
Menyatakan nasab Walisongo putus adalah tafrith (sembrono), dan menyatakan nasab Ba'alwi terputus -dengan dalil non qath'i selain Al-Qur'an dan Hadits- termasuk ifrath (ekstrim) dan ghuluw (berlebihan). Yang tawassuth bagi saya adalah ber-tawashau (saling beri nasehat) kepada pemilik bonus nasab agar beradab benar dan semestinya.
Orang yang mulia sejak lahir cepret sebab nasab itu sangat besar risikonya di dunia dan akhirat. Baik dia itu turunan raja, ulama', auliya', sayyid, syarif atau lainnya. Rasulullah Saw menjadi mulia itu bukan sebab leluhurnya saja, tapi akhlak beliau. Dikatakan dalam hadits terkenal, "innama buitstu li utammima makarimal akhlak" (aku diutus untuk menyempurnakan akhlak). Bukan "liutammima makarimal ansab" (untuk menyempurnakan nasab).
Andai Nabi Saw langsung otomatis mulia sebab nasabnya an sich, mengapa Abu Lahab yang segalur nasab dengan Beliau Saw ke atas justru dikutuk oleh Allah Swt dalam Surat Al-Masad?
Tegasnya, untuk layak dihormati, piranti yang wajib dipenuhi oleh pemilik bonus nasab adalah akhlak. Dan untuk bisa diikuti, piranti wajibnya adalah ilmu. Sementara itu, untuk selamat dari neraka, pirantinya adalah iman.
Terlalu sedih saat ada yang bilang dengan percaya diri, "mohon maaf, kamu belum tentu selamat, beda dengan saya (yang pasti selamat di akhirat sebab nasab)". Ya Allah. Adab apa yang dipertontonkan ini? Bagi saya, ini bukan adab, tapi takabbur tingkat julit.
Masih terngiang di telinga saya, ada seorang kiai yang saya hormati berujar, "emangnya ngajimu bisa mendekatkan santrimu kepada Allah (kok sampai ijin meninggalkan agenda)?". Ya Rabb. Ngelus dada.
Semoga yang pada pede itu tidak termasuk dalam dawuh Abu Abdillah yang dikutip dalam Kitab Tashfiyatul Qulub di bawah ini,
من ظن أنه واصل فاصله ومن ظن أنه فاصل منّاه
Terjemah:
"Sesiapa yang menyangka dirinya sampai tujuan (kepada Allah), dialah yang terpisah. Dan siapa saja yang merasa jauh, Allah memberinya anugerah (mampu mendekat)".
Secara qath'i, Rasulullah Saw adalah manusia terbaik dan terdekat dengan Allah. Meski begitu, setiap hari Beliau Saw masih merutinkan ber-istighfar 70 kali. Itulah alamat sa'adah (orang selamat). Dikatakan oleh Abu Utsman:
علامة السعادة: أن تطيع الله وتخاف أن تكون مردودا
Terjemah:
"Alamat beruntung adalah jika kamu taat kepada Allah, dan takut (amalmu) tertolak (oleh Allah)".
Kok ada yang pede pasti surga sebab nasab, yakinlah, malaikat Ridwan bakal mengintrogasi secara adil. Sebab, sekali lagi, nasab adalah bonus, ia bukan amal. Justru karena bonus, beban pemilik nasab mulia lebih berat. Amalnya mudah digunjing bila tidak sesuai dengan akhlak leluhurnya.
Menjadi anak kiai (gus) misalnya, kok dia tidak punya ilmu, alamat bakal sepi pesantrennya. Kiainya wafat, pondok bisa dipenuhi ilalang. Di Jepara banyak terjadi, dan jumlahnya puluhan, bahkan mungkin ratusan yayasan. Saking nafsunya membuat pesantren, ada teman sepondok saya yang terpaksa menjual pesantren. Piye jal?
Betapa eloknya dawuh Imam Ghazali dalam Kitab Al-Adab fid-Din. Beliau menegaskan bahwa adab yang harus dimiliki seorang syarif (orang mulia dari trah nasab), antara lain:
- Tidak dikenankan mencari kerja dari nasabnya (لا يجعل نسبه وسيلة لكسب الرزق)
- Harus dekat dengan pemilik ilmu,
- Menghormati ahli fiqih dan Al-Qur'an, dan
- Membantu tetangganya (bukan ndawir rono-rene).
Tanpa trah kok bisa berdikari, Anda adalah syarif. Sebaliknya, bila masih mengandalkan trah demi sesuap kerang, Anda dha'if. [badriologi.com]