Makam Kiai Ma'ruf Ali, Tanggul Tlare |
Oleh M. Abdullah Badri
SEKITAR tahun 2000an, jama'ah Ratib Al-Idrus di Jepara yang dikenal dengan Muhyin Nufus (bukan Yuhyin Nufus), mendapatkan mandat agar ngrumat makam-makam leluhur. Lambat laun ada beberapa jama'ah yang setor nama makam keramat tak kerumat. Salah satunya adalah Makam Mbah Sasongko, Bawu, Batealit, Jepara.
Setelah di-rontgen, kuburan itu diganti nama Habib Abdullah bin Abu Bakar Al-Idrus. Nama dicipta baru, tapi narasinya tidak ada. Padahal, narasi adalah syarat mutlak seorang tokoh pernah menyejarah di suatu tempat.
Nama Sasongko lebih bisa dinarasikan daripada nama Al-Idrus. Orang boleh berbeda pendapat soal kisah naratifnya, tapi, asal masih dalam satu atap narasi "Sasongko", itu masih mudah diterima walaupun misalnya, tidak harus dikubur di sana (alias petilasan).
Ada yang berpendapat, Sasongko berasal dari kata songko, yang artinya pendatang. Tapi, menurut cerita keluarga besar, itu adalah nama asli. Lengkapnya, Hasan Sasongko. Lahir dari Desa Dongos, dan karenanya, bisa disebut "wong Songko Deso Dongos". Narasinya beda, tapi keduanya bisa dikompilasi. Itulah menyejarah. Kalau Al-Idrus kepiye?
Narasi lanjutnya, Hasan Sasongko adalah adik Joyo Kusumo Raharjo (Dongos), dan kakak dari Muhammad Rais (Mat Rais). Sasongko mukim di Bawu karena istrinya berasal dari Bawu dan menjadi kiai yang dikenal sering berhasil merukunkan keluarga bertengkar. Inilah bangunan narasi. Sing ngubah Sasongko menjadi Al-Idrus punya cerita apa?
Nama shahib makan saja tidaklah cukup. Walaupun dari hasil rontgen kuburan, mbok ya wawancara detail ke shahib kubur lebih lanjut lah. Biar bisa bercerita kepada cucu-cucunya yang masih hidup dan tersebar di Jepara.
Ingat, rontgen kuburan butuh keselarasan dengan bangunan narasi yang sudah ada, atau, dalam bahasa lain, harus ada kesesuain -walaupun sedikit- dengan dzikrul ahadits (cerita tutur citizen yang berkembang). Kalau hanya mengirim nama, silsilah, dan tidak ada cerita, radiasi rontgen bisa adiktif terhadap sejarah yang ada.
Selain Hasan Sasongko, hasil rontgen kuburan yang rodo nganu di Jepara adalah Abu Bakar bin Yahya (pulau panjang), Abdurrahman Al-Idrus Pakis (Potroyudan), Mbah Sabilan (yang dzikrul ahadits awalnya bernama Abdurrahman, kini diperkaya versinya menjadi Abdurrahim Basyaiban, Demaan) dan makam Kiai Ma'ruf Ali (Tanggul Tlare, yang dinarasikan cucu Ratu Shima padahal bertentangan dengan tradisi keraton). Itu yang saya tahu, di Jepara.
Menurut saya, sah-sah saja seorang ahli rontgen kuburan mendeteksi jeroan makam, tapi, tanpa kelengkapan narasi, hasilnya bakal benturan dengan narasi sejarah (adiktif). Mengapa sah? Karena cerita para wali -khususnya di Jepara- tidak banyak ditulis. Bila menuntut naskah sezaman untuk membuktikan eksistensinya, sampai bothak thukul gondrong, ya tidak bakal ketemu.
Banyak waliyullah di Jepara yang berlatar belakang muallaf, petani, pedagang, wong ndeso, guru ngaji, bahkan santri selawase, dimana hidup mereka jauh dari sumber literasi naskah, yang rata-rata disusun oleh pihak pemenang (cq. kekuasaan). Kisah mereka lapuk ditelan buku catatan takdir yang sudah ditutup.
Menuntut naskah sezaman atas kehadiran mereka yang pernah hidup di dunia mengakibatkan sejarah para wali menjadi sebatas legenda (cenderung fiktif), seperti ditulis oleh Pak Hadi di Buku Legenda Jepara itu.
Maka, mereka yang ahli rontgen harus paham sejarah dulu atau minimal investigasi dulu tentang cerita tutur yang sudah berkembang di wilayah setempat. Bila tidak, radiasi rontgen kuburan bakal kontra produktif dengan narasi dzikrul ahadits warga setempat, dan mati obor, yang akhirnya, disebut legenda saja. Sudah mati, masih dibunuh! Kasihan Mbah Sasongko, dkk. [badriologi.com]