Peta makam Kiai Sareh Kartolo, Wonorejo. Foto: badriologi.com. |
Oleh M. Abdullah Badri
KIAI Kartolo bin Karto Rajimin (Singo Blendang, Suwawal Timur) atau dikenal Kiai Sareh, pernah hidup di Wonorejo, Jepara Kota. Dia pernah nyantri di Aceh dan Madura. Pernah berkhidmah pula kepada Syaichona Cholil Bangkalan.
Saat kembali ke Jepara, dia dikenal sebagai kiai sareh karena di Wonorejo, pesan yang disampaikan kepada warga di sana adalah agar "sareh, sareh dan sareh". Artinya sabar.
Pengikut terakat Syathariyah tersebut memiliki cara dakwah yang unik. Kiai Kartolo lebih suka mengajak warga yang suka gelut dengan shalawatan dan dzikiran thariqah. Muridnya tidak banyak, sekitar 60an saja. Itupun silih berganti karena boyongan sekarepe dewe.
Kiai Sareh adalah contoh ulama' yang tidak pernah meminta bisyaroh atau bayaran kepada santrinya, seperti ayahnya pula, Singo Blendang. Hanya saja, santrinya sangat peduli. Rumah dibuatkan oleh warga asal Kiai Sareh tetap mau mendidik warganya Wonorejo dengan bekal agama yang dibutuhkan.
Suatu kali, Kiai Sareh diberi uang santri kaya senilai 250 ece berbahan emas persegi yang tengahnya bolong (bisa direnteng seperti kalung). Saat itu, nilai seekor sapi hanya 3 ece emas. Harga rumah sederhana pun sekitar 50an ece. Dia menggunakan sebagian uang besar itu untuk membangun pesantren ngaji sederhana.
Dari pesantren tersebut, Kiai Sareh memiliki sarana pendukung mengajak warga Wonorejo untuk berdzikir daripada membaca kitab seperti kiai sekarang. Maklum, saat itu tetangga sekitar angel dikandani. Mereka lebih mudah diajak dzikir daripada mikir. Maulid Al-Barzanji setengah suwek pun jadi bacaan rutinan Kiai Kartolo dan para jama'ah. Setelah itu, makan-makan. Gratis pula.
Anak Kiai Sareh, Hamzah, justru memiliki cara unik menyentuh hati orang-orang. Kiai Hamzah membiarkan warga tetap sabung ayam tapi dengan satu syarat, yakni: mau membaca shalawat Ibrahimiyah. Hasilnya, Kiai Hamzah memiliki banyak murid metal mantan preman dari kalangan penyuka adu jago.
Selain Kiai Sareh, ada auliya' lain di Jepara yang selalu memberi untuk mengambil hati agar mau bersyahadat. Entah barang, ilmu atau keterampilan hidup. Sebut misalnya Datuk Sikangkrang, Kerso (yang memberi keterampilan menenun dengan syarat: mau bersyahadat), Kiai Murwat, Bandungrejo (penyedia kathok yang ditukar syahadat), Buyut Malang Kusumodirjo, Pecangaan Kulon (memberi lahan tani dan lahan rumah agar mau bersyahadat).
Hal senada juga dilakukan kiai-kiai kuno lain di Jepara, seperti: Kiai Hasan Wiso (Bugel), Datuk Gurnadi (Singorojo), Kiai Leseh Joko Glagah (Banyumanis), Kiai Manshur Syah Sutojiwo (Bondo), Kiai Rifa'i Ujungporo (Saripan), Syaikh Abdul Jalil Sunan Jepara (Mantingan) -yang berkolaborasi dengan Kiai Amir Hasyim-Juminah untuk mencerdaskan masyarakat Jepara terkait hukum syariat zakat, puasa, jinayah, dll.
Semuanya selalu memberi. Tangan mereka di atas. Bukan di bawah.
Gara-gara perjuangan mereka inilah, warga Jepara mayoritas memiliki kecintaan besar terhadap Islam dan pemangkunya, para ulama' dan auliya'. Jasa mereka dikenang, tidak dibuang. Saat haul pun, warga tetangga sekitar makam mereka sudi urunan dan ikhlash memberi. Mereka mengakui bahwa para kiai kuno adalah bagian dari leluhur mereka. Hubungan batin ini tetap ada hingga sekarang. Hasil tanduran dakwah mereka, bisa dirasakan.
Bila pun para kiai yang saya sebut di atas diberi bebungah (bisyaroh) oleh santri dan jama'ahnya, itu karena ada ta'alluq kuat yang terjalin. Bukan sekedar mahabbah -tanpa tanduran sosial, politik, spiritual, ekonomi, dll- kepada warga. Bagi saya, mahabbah itu ada batas syariatnya. Soal ini, insyaAllah akan saya tulis di edisi lanjutan lain, yang lebih reflektif. [badriologi.com]