Waktu niat wudlu dan shalat secara fiqih. Foto: istimewa. |
Oleh M Abdullah Badri
PADA dasarnya, niat itu dimulai sejak aktivitas ibadah dimulai. Kecuali berpuasa. Saat kita berpuasa, niat bisa dilakukan lebih awal, dengan alasan: sulitnya memulai niat berbarengan dengan dimulainya ibadah puasa (saaf Fajar). Bahkan, menurut qoul ashoh ulama', niat berpuasa yang bareng dengan Fajar malah tidak sah.
Hal itu berbeda bila kita berpuasa sunnah. Saat puasa sunnah dilakukan, niat bahkan bisa diakhirkan. Misalnya, jam 8 pagi baru niat puasa sunnah. Hal itu sah. Hanya saja ada syaratnya, yakni: sejak fajar perut kita belum kemasukan makanan sama sekali. Kalau sudah kenyang sarapan, ngopi saja. Haha.
Niat di awal ibadah seperti puasa sunnah itu tidak bisa disamakan dengan wudlu. Mengapa? Wudlu adalah bagian dari aktivitas thaharah yang harus diniati. Puasa berbeda dengan wudlu. Puasa adalah ibadah yang memiliki khaslah wahidah (satu tindakan). Sementara wudlu, tidak. Wudlu butuh tindakan berbeda-beda dari tiap-tiap anggotanya. Ada yang cukup diusap, harus disiram, dan lainnya.
Contoh ibadah lain yang boleh mendahulukan niat adalah ibadah kurban. Misalnya kita sudah memulai niat berkurban saat membeli hewan, atau saat menyerahkan hewan kurban itu ke seorang wakil (kiai atau panitia kurban), maka itu sudah cukup. Sah. Mengapa? Menurut qoul ashoh, niat berkurban tidak wajib berbarengan saat hewan disembelih. Clear yah. Paham yah.
Sekarang detail niat shalat dan wudlu lagi. Bukan membahas mendahulukan atau mengakhirkan niat, tapi memerinci waktu niat di kedua jenis ibadah tersebut (wudlu dan shalat).
Niat dalam Shalat
Shalat termasuk jenis ibadah yang sejak awal berisi dzikir.
ما أوله من العبادات ذكر وجب إقترانها بكل اللفظ
Artinya:
"Ibadah yang sejak awal merupakan dzikir, maka, membarengkan niat dengan tiap lafalnya adalah wajib".
Oleh karena itulah, membarengkan niat shalat dengan semua lafal "Allahu Akbar" (di takbiratul ihram), hukumnya wajib. Meski begitu, ada yang menganggapnya cukup bila niat sudah tertancap saat awal lafal; di kalimat "Allah" saja, tanpa "Akbar".
Praktik niat shalat seperti di atas ada yang menyebut sudah cukup (yakfi). Termasuk Imam Ghazali yang mendukung praktik membarengkan niat di awal kata "Allah" saja. Alasan beliau: sikap selalu menjaga niat (ibadah shalat) sejak awal hingga akhir, bukanlah sesuatu yang wajib.
Di bawah ini adalah makna membarengkan niat shalat dengan takbir:
أن يوجد جميع النية المعتبرة عند كل حرف منه
Artinya:
"Niat harus beriring dengan jelasnya (pengucapan) tiap-tiap huruf (dalam takbir)".
Niat dalam Wudlu
Beda dengan shalat. Wudlu termasuk jenis ibadah yang awalnya hakiki dan sekaligus nisbi. Maksudnya, aktivitas ibadah wudlu hampir menyerupai aktivitas lainnya yang bukan ibadah, misalnya: diserupakan dengan bersih-bersih wajah. Kan bisa. Dalam bentuk ibadah begini, niat harus dibarengkan dengan di awal gerakan (أول المفعول).
Karena itu, agar sah, niat wudlu harus dibarengkan dengan awal anggota wudlu yang akan dibasuh, yakni wajah (اول مغسول من الوجه). Sama halnya dengan tayammum. Agar sah, niat tayamum harus bareng dengan gerakan awal memindah debu sebelum diusapkan ke wajah (إقتران نيته بالنقل). Keduanya (tayamum dan wudlu) adalah jenis ibadah af'al (aktivitas kerja fisik), yang awalnya hakiki dan juga nisbi.
Beda dengan membaca basmalah saat wudlu. Membarengkan niat dengan bismillah saat wudlu hukumnya mustahab, alias sunnah, seperti tertulis dalam Kitab Al-Muhadzab. Cuma, yang lebih afdhal adalah: saat membaca basmalah, niat wudlu sudah langsung bareng sekaligus dengan membasuh salah satu bagian wajah. Mendahulukan niat sebelum membaca basmalah berakibat kosongnya aktivitas dari tasmiyah (menyebut nama Allah).
Baik wudlu, shalat maupun haji, semuanya adalah ibadah yang berbentuk af'al. Dalam bentuk ibadah seperti ini, kita cukup menyempurnakan niat di awal aktivitas. Saat sujud, kita tidak perlu niat lagi, karena sudah diniati sebagai shalat sejak awal. Demikian pula haji. Saat thawaf, sa'i, kita tidak perlu niat sendiri-sendiri yang berbeda-beda.
Tambih
Niat tidak selamanya bisa diukur fi awwalil fi'li (saat pertama berbuat). Contohnya: suami memukul istri sebanyak 10 kali atau lebih, dan berturut-turut, lalu istrinya meninggal. Apakah suami itu wajib dihukum berat (diqishosh)?
Harus diinvestigasi dulu, apakah niat awal dia memukul istrinya itu untuk membunuh (muhlik) atau tidak. Bila dia bermaksud bermaksud memukul 2-3 kali untuk memberi pelajaran kepada istri, dan ternyata berakibat fatal, ya fala (tidak diqishosh). Alasannya: dalam kasus di atas terjadi kerancuan antara disengaja dan tidak disengaja.
Tidak sengaja menyiram bibir, lalu, Anda bergumam "ah, lebih baik tak niati wudlu daripada tidak", maka, niat wudlu dengan praktik seperti ini tidak sah. Bibir kena air duluan, baru niat kemudian. Kapan barengnya?
Beda dengan memukul istri, seperti contoh di atas, yang butuh investigasi niat untuk qishash. Ini ibadah, ndoro, bukan main pukul.[badriologi.com]
Keterangan:
Artikel ini seluruhnya disarikan dari Kitab Al-Asybah wan Nadha'ir fi Qawa'id wa Furu'il Fiqhis Syafi'iyyah, dalam Bab Fi Waqtin Niyyah, karya Imam Jalaluddin Suyuthi, Cetakan Pertama dari Penerbit Dar Kutub Ilmiyah Lebanon, Tahun 1983, hlm: 24-30.