Oleh M Abdullah Badri
Rifa’iyah adalah komunitas pengikut ajaran KH. Ahmad Rifa’i, asal Batang, Jawa Tengah. Ribuan pengikutnya tersebar di beberapa daerah, baik di Jawa maupun luar Jawa. Selain di Batang dan Pekalongan, daerah yang tedapat banyak pengikut beliau ada di Wonosobo. Desa Krapyak, Mojotengah, Wonosobo, adalah salah satu wilayah yang hampir semua penduduknya pengikut setia ajaran Kyai Rifa’i.
Yang membuat Rifa’iyah menjadi unik adalah sistem kerja masyarakatnya yang mendasarkan kepentingan bersama. Di desa itu, keputusan yang diambil harus berbasis kebutuhan, dengan persetujuan kolektif antara pihak berwenang, sesepuh dan masyarakat. Antar warga, terjalin kersama, bahu-membahu untuk meringankan beban. Semua aksi sosial diatur dengan kode etik, dan semua, mematuhi. Kalau ada tindakan seseorang yang dianggap melanggar kode etik itu, mereka akan mendapatkan sanksi sosial dan kultural. Itu berjalan alamiah, karena berangkat dari keinginan masyarakat sendiri. Bukan keinginan sekelompok pihak atau penguasa tertentu. Hidup di desa itu, serasa menemukan kenikmatan sosial.
Ketika ada orang yang meninggal misalnya, ritual pengiriman doa yang biasa diselenggarakan oleh keluarga yang meninggal, tidak boleh menyediakan penganan apapun. Itu kesepakatan tak tertulis. Tujuannya, agar keikhlasan orang yang mendoakan tidak digadaikan dengan harapan-harapan materialistis. Justru para tetangga dan handai tolanlah yang menyumbang kepada keluarga yang ditinggalkan, untuk meringankan beban.
Aksi warga ketika mendapati tetangganya tertimpa musibah sangat cepat tanggap. Tanpa diberikan pengumaman, warga sekitar akan mengumpulkan dana sebagai bentuk kepedulian sosial. Dan yang dibantu harus menerima. Adalah sebuah ironi bagi warga Rifa’iyah manakala menolak bantuan iklash itu.
Meskipun Jam’iyah Rifa’iyah di sana sibuk bekerja seharian, namun waktu habis magrib digunakan sebagai sarana istirahat dan membangun jalinan komunikasi antar warga. Peraturan tak tertulis menyatakan, tidak ada televisi dan toko yang buka pada waktu maghrib, hingga isya’ tiba. Meskipun tidak ada sanksi khusus yang diterima bagi yang tidak melaksanakan, namun kesadaran untuk melaksanakan peraturan kultural semacam itu, sungguh tinggi.
Waktu senggang antara maghrib dan isya’ digunakan untuk menambah wawasan pengetahuan, di masjid. Belajar bareng-bareng tentang banyak hal. Jadi, ritual pendidikan masyarakat di Rifa’iyah berjalan baik, tidak pernah berhenti. Wajar bila mereka fasih menerangkan ajaran Kyai Rifa’i yang terkenal berani melawan penjajah itu. Ya, karena dia adalah salah satu pahlawan nasional.
Untuk menjaga kerukunan, warga Rifa’iyah selalu menggunakan musyawarah sebagai jalan penyelesaian. Sekecil apapun, sejauh berkaitan dengan kemaslahatan bersama, dibahas dalam Jam’iyah, yang diadakan setiap malam Jum’at, berbarengan dengan acara tahlilan, bergilir, berkeliling ke rumah-rumah warga. Usai melaksanakan tradisi tahlil, masing-masing orang bebas menyuarakan aspirasinya, tentang apapun.
Pernah suatu kali, ada yang merasa tidak nyaman dengan kehadiran rental play station. Ketidaknyaman bukan karena hal itu dilarang dalam paradigma Rifa’iyah, namun karena dianggap mengganggu jam belajar anak-anak sekolah. Atas kesepakatan, beberapa warga, ditunjuk beberapa orang untuk memberikan pengarahan kepada pemilik usaha itu. Dan, karena kesadaran akan kebersamaan sosial, pemilik usaha yang juga warga Rifa’iyah itu mengikuti ajakan warga. Dia mengganti bisnis lain yang lebih menjanjikan secara materi, namun tidak mengganggu kenyamanan warga.
Yang membuat menarik, dalam satu desa yang terdiri atas 800 kepala keluarga itu, hanya ada satu masjid yang berdiri. Tidak ada musholla dan tempat ibadah umum lainnya. Hal itu dilakukan untuk menjaga persatuan dan kesatuan antar warga. Ritual jama’ah shalat dilakukan dalam satu masjid. Karena hanya ada satu tempat ibadah, setiap hari, terutama menjelang jam-jam pelaksanaan shalat, selalu ramai dipenuhi warga. Semua kegiatan dipusatkan di masjid. Mulai dari acara seremonial keagamaan dan seni budaya, musyawarah hingga upacara pemberangkatan haji dan jenazah, semua dilakukan di masjid.
Tamu yang datang ke sana, akan disambut dengan baik. Bahkan, kalau dianggap perlu, diadakan upacara penyambutan tamu oleh bagian sosial organisasi. Bagi mereka, tamu adalah raja sekaligus mayat. Ia akan dilayani bak seorang raja bertahta, dengan catatan tidak membawa kemudaratan sosial, dalam pengertian, ia harus patuh kepada konsensus sosial dan kultural yang sudah berjalan, bak mayit, yang tidak punya kuasa apa-apa merekayasa.
Spirit kepedulian sosial Rifa’iyah yang saya kenal memang sulit ditemukan di daerah lain, meskipun rata-rata sumber pengahasilan mereka dari bercocok tanam dan kerajinan besi. Hampir jarang ditemukan terjadinya gesekan sosial berbasis kepentingan individual sesaat. Bisa demikian karena mereka memiliki tokoh sentral yang selalu memantau dan membina masyarakat. Ada seorang tokoh yang disepuhkan secara spiritual dan sosial.
Konsensus tidak berjalan atas dasar desakan hukum, namun kebutuhan bersama. Laku kepedulian sosial tidak dicantumkan dalam sebuah undang-undang yang memiliki konsekuensi yuridis-formal, yang mendapatkan sanksi hukum. Semua berjalan secara kultural dalam ikatan kebersamaan. Sanksi tetap ada, namun hanya dalam kerangka kesadaran kultural. Pernah suatu ketika ada seorang warga yang melanggar konsensus kultural. Tak ada tuntutan darinya, namun lama-kelamaan, ada kesan rikuh ewuh pakewuh untuk melakukan hal yang sama untuk kesekian kali.
Semua itu bisa terjadi karena selain faktor keberhasilan internalisasi nilai-nilai agama dan tradisi, juga karena menyatunya ruang publik dan individu. Telah terjadi nuansa kosmopolitan, yang menyeimbangkan antara hak-hak personal individu dengan tuntutan dan kebutuhan masyarakat. Dan yang menjadikan Rifa’iyah eksentrik adalah ritual kepedulian sosial itu telah merasuk secara inheren menjadi sebuah habitus sosial. Kepedulian sosial tidak dijalankan oleh anasir-anasir fungsional dalam ikatan untung-rugi, namun dalam ikatan kultural-primordial. Saya memimpikan itu terjadi dalam komunitas lain.
(Dimuat Kompas, Senin, 1 Februari 2010)
Rifa’iyah adalah komunitas pengikut ajaran KH. Ahmad Rifa’i, asal Batang, Jawa Tengah. Ribuan pengikutnya tersebar di beberapa daerah, baik di Jawa maupun luar Jawa. Selain di Batang dan Pekalongan, daerah yang tedapat banyak pengikut beliau ada di Wonosobo. Desa Krapyak, Mojotengah, Wonosobo, adalah salah satu wilayah yang hampir semua penduduknya pengikut setia ajaran Kyai Rifa’i.
Yang membuat Rifa’iyah menjadi unik adalah sistem kerja masyarakatnya yang mendasarkan kepentingan bersama. Di desa itu, keputusan yang diambil harus berbasis kebutuhan, dengan persetujuan kolektif antara pihak berwenang, sesepuh dan masyarakat. Antar warga, terjalin kersama, bahu-membahu untuk meringankan beban. Semua aksi sosial diatur dengan kode etik, dan semua, mematuhi. Kalau ada tindakan seseorang yang dianggap melanggar kode etik itu, mereka akan mendapatkan sanksi sosial dan kultural. Itu berjalan alamiah, karena berangkat dari keinginan masyarakat sendiri. Bukan keinginan sekelompok pihak atau penguasa tertentu. Hidup di desa itu, serasa menemukan kenikmatan sosial.
Ketika ada orang yang meninggal misalnya, ritual pengiriman doa yang biasa diselenggarakan oleh keluarga yang meninggal, tidak boleh menyediakan penganan apapun. Itu kesepakatan tak tertulis. Tujuannya, agar keikhlasan orang yang mendoakan tidak digadaikan dengan harapan-harapan materialistis. Justru para tetangga dan handai tolanlah yang menyumbang kepada keluarga yang ditinggalkan, untuk meringankan beban.
Aksi warga ketika mendapati tetangganya tertimpa musibah sangat cepat tanggap. Tanpa diberikan pengumaman, warga sekitar akan mengumpulkan dana sebagai bentuk kepedulian sosial. Dan yang dibantu harus menerima. Adalah sebuah ironi bagi warga Rifa’iyah manakala menolak bantuan iklash itu.
Meskipun Jam’iyah Rifa’iyah di sana sibuk bekerja seharian, namun waktu habis magrib digunakan sebagai sarana istirahat dan membangun jalinan komunikasi antar warga. Peraturan tak tertulis menyatakan, tidak ada televisi dan toko yang buka pada waktu maghrib, hingga isya’ tiba. Meskipun tidak ada sanksi khusus yang diterima bagi yang tidak melaksanakan, namun kesadaran untuk melaksanakan peraturan kultural semacam itu, sungguh tinggi.
Waktu senggang antara maghrib dan isya’ digunakan untuk menambah wawasan pengetahuan, di masjid. Belajar bareng-bareng tentang banyak hal. Jadi, ritual pendidikan masyarakat di Rifa’iyah berjalan baik, tidak pernah berhenti. Wajar bila mereka fasih menerangkan ajaran Kyai Rifa’i yang terkenal berani melawan penjajah itu. Ya, karena dia adalah salah satu pahlawan nasional.
Untuk menjaga kerukunan, warga Rifa’iyah selalu menggunakan musyawarah sebagai jalan penyelesaian. Sekecil apapun, sejauh berkaitan dengan kemaslahatan bersama, dibahas dalam Jam’iyah, yang diadakan setiap malam Jum’at, berbarengan dengan acara tahlilan, bergilir, berkeliling ke rumah-rumah warga. Usai melaksanakan tradisi tahlil, masing-masing orang bebas menyuarakan aspirasinya, tentang apapun.
Pernah suatu kali, ada yang merasa tidak nyaman dengan kehadiran rental play station. Ketidaknyaman bukan karena hal itu dilarang dalam paradigma Rifa’iyah, namun karena dianggap mengganggu jam belajar anak-anak sekolah. Atas kesepakatan, beberapa warga, ditunjuk beberapa orang untuk memberikan pengarahan kepada pemilik usaha itu. Dan, karena kesadaran akan kebersamaan sosial, pemilik usaha yang juga warga Rifa’iyah itu mengikuti ajakan warga. Dia mengganti bisnis lain yang lebih menjanjikan secara materi, namun tidak mengganggu kenyamanan warga.
Yang membuat menarik, dalam satu desa yang terdiri atas 800 kepala keluarga itu, hanya ada satu masjid yang berdiri. Tidak ada musholla dan tempat ibadah umum lainnya. Hal itu dilakukan untuk menjaga persatuan dan kesatuan antar warga. Ritual jama’ah shalat dilakukan dalam satu masjid. Karena hanya ada satu tempat ibadah, setiap hari, terutama menjelang jam-jam pelaksanaan shalat, selalu ramai dipenuhi warga. Semua kegiatan dipusatkan di masjid. Mulai dari acara seremonial keagamaan dan seni budaya, musyawarah hingga upacara pemberangkatan haji dan jenazah, semua dilakukan di masjid.
Tamu yang datang ke sana, akan disambut dengan baik. Bahkan, kalau dianggap perlu, diadakan upacara penyambutan tamu oleh bagian sosial organisasi. Bagi mereka, tamu adalah raja sekaligus mayat. Ia akan dilayani bak seorang raja bertahta, dengan catatan tidak membawa kemudaratan sosial, dalam pengertian, ia harus patuh kepada konsensus sosial dan kultural yang sudah berjalan, bak mayit, yang tidak punya kuasa apa-apa merekayasa.
Spirit kepedulian sosial Rifa’iyah yang saya kenal memang sulit ditemukan di daerah lain, meskipun rata-rata sumber pengahasilan mereka dari bercocok tanam dan kerajinan besi. Hampir jarang ditemukan terjadinya gesekan sosial berbasis kepentingan individual sesaat. Bisa demikian karena mereka memiliki tokoh sentral yang selalu memantau dan membina masyarakat. Ada seorang tokoh yang disepuhkan secara spiritual dan sosial.
Konsensus tidak berjalan atas dasar desakan hukum, namun kebutuhan bersama. Laku kepedulian sosial tidak dicantumkan dalam sebuah undang-undang yang memiliki konsekuensi yuridis-formal, yang mendapatkan sanksi hukum. Semua berjalan secara kultural dalam ikatan kebersamaan. Sanksi tetap ada, namun hanya dalam kerangka kesadaran kultural. Pernah suatu ketika ada seorang warga yang melanggar konsensus kultural. Tak ada tuntutan darinya, namun lama-kelamaan, ada kesan rikuh ewuh pakewuh untuk melakukan hal yang sama untuk kesekian kali.
Semua itu bisa terjadi karena selain faktor keberhasilan internalisasi nilai-nilai agama dan tradisi, juga karena menyatunya ruang publik dan individu. Telah terjadi nuansa kosmopolitan, yang menyeimbangkan antara hak-hak personal individu dengan tuntutan dan kebutuhan masyarakat. Dan yang menjadikan Rifa’iyah eksentrik adalah ritual kepedulian sosial itu telah merasuk secara inheren menjadi sebuah habitus sosial. Kepedulian sosial tidak dijalankan oleh anasir-anasir fungsional dalam ikatan untung-rugi, namun dalam ikatan kultural-primordial. Saya memimpikan itu terjadi dalam komunitas lain.
(Dimuat Kompas, Senin, 1 Februari 2010)