Oleh M Abdullah Badri
DALAM tradisi budaya nusantara, sebutan darah biru biasanya ditujukan kepada orang-orang yang memiliki garis keturunan ningrat: raja, orang suci, nabi, orang terhormat atau tokoh berpengaruh pada masanya. Dalam kesehariannya, keturunan darah biru akan mendapatkan penghormatan luar biasa dari masyarakat setempat, karena sudah menjadi istilah sakral.
Semua yang dikerjakan mendapatkan legitimasi kuat. Bahkan, keturunan darah biru dari Nabi –biasa disebut habaib- dianggap memiliki keramat, yang jika dilawan permintaanya akan berakibat laknat di dunia, minimal ditunda hingga wafat, di akhirat.
Tentu, semua orang tidak ada yang menyangkal bahwa sebutan darah biru itu hanya ungkapan konotatif untuk menunjukkan ketinggian status social penyandang. Konon, para pemimpin dan petinggi negeri ini adalah titisan para raja dan penguasa pada zaman dulu. Lalu, mengapa istilah darah biru dilekatkan kepada para panguasa? Tidak adakah istilah lain, darah putih misalnya, sebagaimana golongan putih (golput) dalam istilah politik?
Jika dimaknai, darah itu menunjukkan arti keturunan. Sedangkan biru merujuk pada ketinggian, sebagaimana birunya langit di angkasa. Jadi, darah biru mengandung makna orang yang memiliki garis keturunan ningrat: petinggi, penguasa atau raja pada zaman dahulu.
Sekilas, istilah tersebut hanyalah ekspresi penghormatan kepada keturunan orang-orang mulia semata, yang pernah berjasa membangun kesejahteraan masyarakat banyak. Namun jika ditelisik lebih lanjut menggunakan analisa semiotik, di dalamnya ada pesan mitologis mempertahankan pengaruh kekuasaan.
Semiotika adalah adalah ilmu yang mempelajari tentang tanda (sign), berfungsinya tanda, dan produksi makna. Ia digunakan untuk menganalisa nalar logika dan budaya berpikir manusia. Sebab, sebagaimana dikatakan Peirce, seorang ahli filsafat dan logika, penalaran manusia selalu dilakukan lewat tanda. Artinya, manusia hanya dapat bernalar lewat tanda. (Berger, 2000: 11-22). Tanda-tanda berupa teks, bahasa, gerakan, sikap, gambaran visual dan seterusnya menjadi media untuk melakukan interpretasi kehendak manusia.
Sebuah tanda (berwujud kata atau lainnya) mempunyai dua aspek yang ditangkap oleh indra kita yang disebut dengan signifier, bidang penanda atau bentuk dan aspek lainnya yang disebut signified, bidang petanda atau konsep atau makna. Aspek kedua terkandung di dalam aspek pertama. Jadi petanda merupakan konsep atau apa yang dipresentasikan oleh aspek pertama, penanda. Penanda terletak pada tingkatan ungkapan (level of expression) dan mempunyai wujud atau merupakan bagian fisik seperti bunyi, huruf, kata, gambar, warna, obyek, dan sebagainya. Sementara Petanda terletak pada level of content (tingkatan isi atau gagasan) dari apa yang diungkapkan.
Dalam sistem panandaan semiotik, selalu ada dua makna yang beroperasi. Pertama, makna lugas, yaitu makna yang merujuk pada hakikat sesungguhnya (darah biru dalam arti sesunguhnya: darah berwarna biru). Kedua, bermakna ideologis (darah biru dalam pengertian metaforis: keturunan ningrat).
Dalam mengoperasikan penandaan, antar keduanya harus ada ketersambungan makna secara konotatif (‘alaqah). Simbolisasi darah digunakan sebagai petanda (signified) garis keturunan, sementara penggunaan warna biru merujuk makna tinggi, luhur. Melalui penanda (signifier) berupa darah dan biru akan memproduksi makna mitologis, yang direkayasa, menjelma menjadi status sosial, pencitraan kekuasaan.
Silsilah Darah Biru
Dalam semiotika kekuasaan, darah biru tidak hanya menujukkan sebagai penghormatan atas keturunan ningrat. Ada pesan terselubung yang sengaja dicitrakan untuk mengendalikan kesadaran bahwa keturunan darah biru tidak sama dengan keturunan darah-darah lain.Dalam memproduksi makna, darah biru melalui dua tahapan, sebagaimana dikonsepsikan oleh John Fiske. Pertama, representasi (raja sebagai simbol kekuasaan) dan kedua, ideologi (merujuk pada mitos penghormatan berlebih dari garis keturunan). Hasilnya, darah biru dengan sendirinya akan menarik garis demarkasi dengan yang lain.
Ia menjadi ekslusif, yang secara idelogis tidak bisa disamakan dengan dimensi lain yang berada di luar garis keturunan yang dimaksud. Dalam tahapan berikutnya, terciptalah strata dan kasta berbasis keturunan. Disini, kita dapat melihat adanya imperialisasi ideologis terhadap paradigma berpikir secara tidak sadar. Pesan tersampaikan secara natural, tanpa paksaan, masuk dalam alam budaya.
Ketika mendiskusikan darah biru, yang muncul dalam perbincangan adalah kehormatan, kekuasaan, kecerdasan, pengaruh, kedigdayaan supranatural dan sederet citra yang menguntungkan para pemilik keturunan darah biru. Hal-hal yang ada di luar akal sehat, menjadi wajar jika menisbatkannya kepada keturunan berdarah biru.
Yang bisa dilakukan oleh darah biru, belum tentu bisa dilakukan oleh orang lain, yang “berkasta rendah”, demikian petanda yang tercipta. Semua keinginan bisa dicapai dengan mudah, begitu juga orang yang mau tunduk terhadap titahnya. Darah biru, di sini, berhasil menancapkan status quo.
Dalam alam politik bebas demokrasi seperti sekarang, darah biru perlu didesakralisasi. Kebebasan yang melahirkan rasionalisme tidak mungkin mencapai substansi kesejahteraan yang sesungguhnya manakala semiotika kekuasaan dalam darah biru masih mengakar kuat dalam pardigma budaya massa, yang selalu melihat bobot dari bibit semata.
Padahal, jika mau jujur berpikir rasional, tidak ada hubungan antara keturunan dan kualitas seseorang. Pepatah yang mengatakan bahwa orang besar dilahirkan dari orang besar itu bukan karena keturunan, namun karena proses berkomunikasi dan belajar secara terus menerus dengan orang-orang besar. Keturunan tidak berkaitan sama sekali dengan keturunan, kecuali hanya mempengaruhi. Itulah pesan tersirat dari pepatah “buah yang jatuh tidak akan jauh dari pohonnya.” Itu yang tidak disadari banyak orang.
Dengan rasionalisasi semiotika kekuasaan darah biru akan menghilangkan garis demarkasi mitologis yang ekslusif. Harapannya, dalam pemilu presiden mendatang, para pemilih (voter) akan lebih cerdas dalam menentukan pilihan, beralih dari habitus mitologis menuju habitus budaya kritis rasional. [badriologi.com]
(Dimuat Majalah EDUKASI Edisi XXXIX/ Thn XVIII/Juni/2009)