Oleh M Abdullah Badri
Pada zaman kekhalifahan Sayyidina Ali Ibnu Abi Thalib r.a terjadi perpecahan besar dalam umat Islam, yang pada masa Nabi Muhammad saw belum pernah ada. Bermula dari golongan yang tidak setuju dengan sikap Ali yang menerima arbritase dalam perang Shiffin sebagai jalan untuk menyelesaikan persengketaan tentang khilafah dengan muawiyah Ibnu Abi Sufyan. Golongan inilah yang kemudian menamakan diri sebagai kaum Khawarij, yang dalam bahasa arab berarti keluar, yakni keluar dari barisan Ali dan Muawiyah yang tidak menyelesaikan perkara dengan hukum Allah.
Setelah menyatakan keluar dari barisan, Abdullah Ibn Wahb Al Rasyidi dijadikan Imam mereka, mengganti Ali, khalifah keempat. Perlawanan kepada Ali pun terjadi, namun mereka mengalami kekalahan. Tetapi, pada akhirnya, mereka berhasil membunuh Ali melalui tangan Abdul Rahman Ibnu Muljam.
Kaum Khawarij menuduh kafir para pendukung Ali dan juga Muawiyah yang menerima arbritase sebagai jalan penyelesaian masalah. Sebab, Al-Qur’an jelas menyatakan bahwa “Barang siapa yang membuat keputusan hukum dengan selain yang diturunkan Allah, maka ia adalah kafir” (Al-Maidah: 44). Ayat itulah yang akhirnya memunculkan semboyan La Hukma Illa Lillah (tidak ada hukum kecuali hukum Allah) yang menjadi pegangan perjuangan mereka.
Karena mereka menganggap kafir dan murtad kepada Ali dan Muawiyah, maka keduanya harus diperangi, dan juga pengikut masing-masing. Namun kaum Khawarij yang mayoritas berasal dari suku Badui (suku pedalaman) yang belum banyak mengenal agama dan strategi politik, hanya berhasil membunuh Ali, sementara Muawiyah justru semakin menekan mereka, ketika menjadi khalifah.(Harun Nasution: 1972).
Dalam perkembangannya, sebutan kafir oleh Khawarij ternyata meluas, bukan hanya kepada Ali, Muawiyah beserta pendukungnya, tapi juga kepada orang lain diluar golongan mereka. Bukan hanya itu, orang yang melakukan dosa besar, semisal berbuat zina, juga disebut kafir dan tidak akan masuk surga. Maka mereka harus dibunuh. Padahal, Nabi tidak pernah menyatakan hal demikian. Itulah sebabnya para ulama’ Ahlussunnah sepakat menyatakan Khawarij sebagai golongan bid’ah yang menyesatkan, karena keluar dari tuntunan Nabi.
FPI dan Ahmadiyah
Secara organisasi, Khawarij memang sudah mati, namun pemikiran-pemikirannya yang ekstrim selalu ada dalam setiap masa. Semboyan mereka La Hukma Illa Lillah mudah kita jumpai dalam ormas-ormas Islam yang memperjuangkan Syariah Islam. Begitu juga dengan gampangnya mengeluarkan pernyataan sesat dan kafir kepada kelompok lain. Seakan hanya diri mereka yang benar, yang lain salah, sesat.
Di Indonesia, salah satu organisasi yang menurut saya mewarisi wajah Islam Khawarij adalah Front Pembela Islam (FPI). Tanggal 1 Juni lalu, ketika kelahiran Pancasila diperingati di Monas, mereka melakukan “perang kecil” terhadap orang-orang yang mereka tuduh mendukung Ahmadiyah, yakni yang tergabung dalam Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan dan Berkeyakinan (AKKBB). Dalam kacamata FPI, Ahmadiyah adalah sesat dan kafir, telah keluar dari Islam karena mengakui Nabi setelah Nabi Muhammad. Harus dimusnahkan. Maka, yang mendukungnya harus diperlakukan sama.
Penyelesaian yang ditempuh FPI berujung pada kekerasan tanpa kompromi. Tidak melihat siapa yang sedang dihadapi dan dimana mereka berada. Anak-anak dan ibu-ibu menjadi kebrutalan mereka dalam tragedi itu. Setidaknya 14 orang luka-luka. Dengan begitu -dalam anggapannya-, mereka telah menjadi penegak hukum Tuhan, meski harus mengorbankan nyawa orang lain yang tidak berdosa.
Jika Khawarij terdiri atas orang-orang pedalaman, maka FPI tidak lebih sebagai sekumpulan orang-orang yang baru saja taubat dari dosa, yang dangkal pengetahuan agamanya. Sebagaimana kita ketahui, anggota FPI rata-rata adalah “alumni asrama”. Wajar manakala gampang melakukan kekerasan. Ya, FPI adalah Neo-Khawarij di Indonesia.
Lalu, apakah FPI juga tergolong sesat pemikiranya? Bisa jadi akidah yang dianut adalah sama dengan mayoritas umat Islam. Tidak sesat. Apalagi jika melihat pemimpinnya adalah seorang habib, keturunan Nabi. Namun, cara-cara yang ditempuh kadang tidak dapat diterima logika umum dan tidak rasional. Inilah yang menjadi perdebatan.
Penyelesaian akidah, sebagaimana terlihat dalam gerakan mereka, selalu menggunakan cara-cara kekerasan. Orang yang mengetahui hukum, tentu tidak akan melakukan hal demikian. Semangat juang mereka tidak diimbangi dengan ketaatan terhadap hukum. Mereka melakukan itu karena hukum yang sah bagi mereka hanya hukum Allah, sebagaimana semboyan kaum Khawarij diatas. Mereka lupa bahwa Indonesia bukan hanya milik umat Islam, namun milik pemeluk agama lain. Juga negara hukum yang sangat menghargai perbedaan berpendapat dan berkeyakinan.
Membela Tuhan
Apa yang akan kita sumbangkan kepada Tuhan? Apakah dengan mengatakan bahwa tiada Tuhan selain Allah dan Nabi Muhammad utusan Allah, Tuhan akan merasa terhormat? Tidak sama sekali. Karena tuhan memang tidah butuh pertolongan manusia. Manusialah yang justru diperintah meminta pertolongan kepada Tuhan. Kehormatan Tuhan tidak akan berkurang sedikitpun dengan segala penodaan yang dilakukan umat manusia. Begitu juga penodaan yang dilakukan Ahmadiyah. Pertolongan pertama kepada Tuhan dengan menggunakan kekerasan sebagaimana yang dilakukan FPI, justru menunjukkan keangkuhan terhadap kuasa Tuhan. Mereka menganggap Tuhan lemah, sehingga butuh ditolong.
Apa yang menjadi sebab mereka berlogika semacam itu adalah karena kedangkalan akan ajaran agama. Dulu, pengikut khawarij merupakan orang-orang yang paling berani menyampaikan ajaran agama kepada masyarakat. Dengan bermodalkan satu-dua ayat atau hadits yang pernah dipelajari sebelumnya, mereka berani mengeluarkan fatwa sebagaimana fatwa kafir yang gampang dilekatkan kepada selain golongan mereka.
Selain itu, kedangkalan ilmu pengetahuan, semisal strategi politik dan perang, membuat mereka gampang ditunggangi pihak luar yang berkepentingan. Terbukti dalam sejarah, kaum Khawarij berulangkali dimanfaatkan kelompok oposisi yang menentang pemerintah. Namun berulangkali pula mereka gagal dan belum pernah mendirikan sebuah negara sebagaimana kaum Sunni (Turki, Syiria, Damaskus dll) dan Syi’ah (Iran). Dalam sejarahnya, mereka selalu menjadi kaum terpinggirkan.
Kekerasan yang dilakukan FPI menyerupai golongan Khawarij tersebut. Karena kedangkalan agama dan ilmu pengetahuan, boleh jadi mereka dimanfaatkan pihak ketiga yang berkepentingan. Semoga asumsi saya salah.
(Dimuat dalam Bulletin Bingkai Jakarta, Edisi: 13, Juni 2008)
Pada zaman kekhalifahan Sayyidina Ali Ibnu Abi Thalib r.a terjadi perpecahan besar dalam umat Islam, yang pada masa Nabi Muhammad saw belum pernah ada. Bermula dari golongan yang tidak setuju dengan sikap Ali yang menerima arbritase dalam perang Shiffin sebagai jalan untuk menyelesaikan persengketaan tentang khilafah dengan muawiyah Ibnu Abi Sufyan. Golongan inilah yang kemudian menamakan diri sebagai kaum Khawarij, yang dalam bahasa arab berarti keluar, yakni keluar dari barisan Ali dan Muawiyah yang tidak menyelesaikan perkara dengan hukum Allah.
Setelah menyatakan keluar dari barisan, Abdullah Ibn Wahb Al Rasyidi dijadikan Imam mereka, mengganti Ali, khalifah keempat. Perlawanan kepada Ali pun terjadi, namun mereka mengalami kekalahan. Tetapi, pada akhirnya, mereka berhasil membunuh Ali melalui tangan Abdul Rahman Ibnu Muljam.
Kaum Khawarij menuduh kafir para pendukung Ali dan juga Muawiyah yang menerima arbritase sebagai jalan penyelesaian masalah. Sebab, Al-Qur’an jelas menyatakan bahwa “Barang siapa yang membuat keputusan hukum dengan selain yang diturunkan Allah, maka ia adalah kafir” (Al-Maidah: 44). Ayat itulah yang akhirnya memunculkan semboyan La Hukma Illa Lillah (tidak ada hukum kecuali hukum Allah) yang menjadi pegangan perjuangan mereka.
Karena mereka menganggap kafir dan murtad kepada Ali dan Muawiyah, maka keduanya harus diperangi, dan juga pengikut masing-masing. Namun kaum Khawarij yang mayoritas berasal dari suku Badui (suku pedalaman) yang belum banyak mengenal agama dan strategi politik, hanya berhasil membunuh Ali, sementara Muawiyah justru semakin menekan mereka, ketika menjadi khalifah.(Harun Nasution: 1972).
Dalam perkembangannya, sebutan kafir oleh Khawarij ternyata meluas, bukan hanya kepada Ali, Muawiyah beserta pendukungnya, tapi juga kepada orang lain diluar golongan mereka. Bukan hanya itu, orang yang melakukan dosa besar, semisal berbuat zina, juga disebut kafir dan tidak akan masuk surga. Maka mereka harus dibunuh. Padahal, Nabi tidak pernah menyatakan hal demikian. Itulah sebabnya para ulama’ Ahlussunnah sepakat menyatakan Khawarij sebagai golongan bid’ah yang menyesatkan, karena keluar dari tuntunan Nabi.
FPI dan Ahmadiyah
Secara organisasi, Khawarij memang sudah mati, namun pemikiran-pemikirannya yang ekstrim selalu ada dalam setiap masa. Semboyan mereka La Hukma Illa Lillah mudah kita jumpai dalam ormas-ormas Islam yang memperjuangkan Syariah Islam. Begitu juga dengan gampangnya mengeluarkan pernyataan sesat dan kafir kepada kelompok lain. Seakan hanya diri mereka yang benar, yang lain salah, sesat.
Di Indonesia, salah satu organisasi yang menurut saya mewarisi wajah Islam Khawarij adalah Front Pembela Islam (FPI). Tanggal 1 Juni lalu, ketika kelahiran Pancasila diperingati di Monas, mereka melakukan “perang kecil” terhadap orang-orang yang mereka tuduh mendukung Ahmadiyah, yakni yang tergabung dalam Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan dan Berkeyakinan (AKKBB). Dalam kacamata FPI, Ahmadiyah adalah sesat dan kafir, telah keluar dari Islam karena mengakui Nabi setelah Nabi Muhammad. Harus dimusnahkan. Maka, yang mendukungnya harus diperlakukan sama.
Penyelesaian yang ditempuh FPI berujung pada kekerasan tanpa kompromi. Tidak melihat siapa yang sedang dihadapi dan dimana mereka berada. Anak-anak dan ibu-ibu menjadi kebrutalan mereka dalam tragedi itu. Setidaknya 14 orang luka-luka. Dengan begitu -dalam anggapannya-, mereka telah menjadi penegak hukum Tuhan, meski harus mengorbankan nyawa orang lain yang tidak berdosa.
Jika Khawarij terdiri atas orang-orang pedalaman, maka FPI tidak lebih sebagai sekumpulan orang-orang yang baru saja taubat dari dosa, yang dangkal pengetahuan agamanya. Sebagaimana kita ketahui, anggota FPI rata-rata adalah “alumni asrama”. Wajar manakala gampang melakukan kekerasan. Ya, FPI adalah Neo-Khawarij di Indonesia.
Lalu, apakah FPI juga tergolong sesat pemikiranya? Bisa jadi akidah yang dianut adalah sama dengan mayoritas umat Islam. Tidak sesat. Apalagi jika melihat pemimpinnya adalah seorang habib, keturunan Nabi. Namun, cara-cara yang ditempuh kadang tidak dapat diterima logika umum dan tidak rasional. Inilah yang menjadi perdebatan.
Penyelesaian akidah, sebagaimana terlihat dalam gerakan mereka, selalu menggunakan cara-cara kekerasan. Orang yang mengetahui hukum, tentu tidak akan melakukan hal demikian. Semangat juang mereka tidak diimbangi dengan ketaatan terhadap hukum. Mereka melakukan itu karena hukum yang sah bagi mereka hanya hukum Allah, sebagaimana semboyan kaum Khawarij diatas. Mereka lupa bahwa Indonesia bukan hanya milik umat Islam, namun milik pemeluk agama lain. Juga negara hukum yang sangat menghargai perbedaan berpendapat dan berkeyakinan.
Membela Tuhan
Apa yang akan kita sumbangkan kepada Tuhan? Apakah dengan mengatakan bahwa tiada Tuhan selain Allah dan Nabi Muhammad utusan Allah, Tuhan akan merasa terhormat? Tidak sama sekali. Karena tuhan memang tidah butuh pertolongan manusia. Manusialah yang justru diperintah meminta pertolongan kepada Tuhan. Kehormatan Tuhan tidak akan berkurang sedikitpun dengan segala penodaan yang dilakukan umat manusia. Begitu juga penodaan yang dilakukan Ahmadiyah. Pertolongan pertama kepada Tuhan dengan menggunakan kekerasan sebagaimana yang dilakukan FPI, justru menunjukkan keangkuhan terhadap kuasa Tuhan. Mereka menganggap Tuhan lemah, sehingga butuh ditolong.
Apa yang menjadi sebab mereka berlogika semacam itu adalah karena kedangkalan akan ajaran agama. Dulu, pengikut khawarij merupakan orang-orang yang paling berani menyampaikan ajaran agama kepada masyarakat. Dengan bermodalkan satu-dua ayat atau hadits yang pernah dipelajari sebelumnya, mereka berani mengeluarkan fatwa sebagaimana fatwa kafir yang gampang dilekatkan kepada selain golongan mereka.
Selain itu, kedangkalan ilmu pengetahuan, semisal strategi politik dan perang, membuat mereka gampang ditunggangi pihak luar yang berkepentingan. Terbukti dalam sejarah, kaum Khawarij berulangkali dimanfaatkan kelompok oposisi yang menentang pemerintah. Namun berulangkali pula mereka gagal dan belum pernah mendirikan sebuah negara sebagaimana kaum Sunni (Turki, Syiria, Damaskus dll) dan Syi’ah (Iran). Dalam sejarahnya, mereka selalu menjadi kaum terpinggirkan.
Kekerasan yang dilakukan FPI menyerupai golongan Khawarij tersebut. Karena kedangkalan agama dan ilmu pengetahuan, boleh jadi mereka dimanfaatkan pihak ketiga yang berkepentingan. Semoga asumsi saya salah.
(Dimuat dalam Bulletin Bingkai Jakarta, Edisi: 13, Juni 2008)