Oleh M. Abdullah Badri
Adagium "apalah arti sebuah nama," tak seutuhnya benar dalam narasi identitas yang menentukan harga diri dan martabat seseorang. Nama, dalam tata kultur lain, adalah lumpur doa.
Nama bisa diambil dari lintas bahasa; Inggris, Perancis, Italia, Arab, Sanksekerta, Jawa, Indonesia dan lainnya. Orang tua sibuk menyusun nama indah untuk anak-nya yang baru saja lahir, sesuai dengan harapan doa dan jenis kelamin.
Jenis kelamin jadi penentu pemilihan sebuah nama. Abdullah, meski berarti "hamba Allah", tanpa pelibatan jenis kelamin disana, nyatanya tak dijumpai melekat sebagai nama seorang perempuan. Kasus serupa ada pada misal nama Fatimah atau Monika, yang tabu bila dilekatkan kepada laki-laki.
Nyata, nama merupakan identitas pemantik harga diri sejak dari persepsi dan konotasi. Laki-laki harus diberi nama yang berkesan maskulin, sementara perempuan, laiklah mendapat nama utuh dengan panggilan yang memikat dan feniminis. Terjadi bias dalam pencitraan nama antara laki-laki dan perempuan. Keindahan, kelemahan, kesyahduan, sejak dini disandangkan kepada perempuan dalam konotasi nama.
Atas hasrat martabat, memilih nama adalah kerja ideologis yang memiliki konsekuensi simbolik menyingkirkan barisan nama usang, untuk diganti dengan nama-nama dan panggilan nama- yang ngetrend dan berkelas. Nama yang berakhiran yem, nah, jah, tak menarik lagi dijadikan atribut kenamaan generasi sekarang. Itu hanyalah nama-nama perempuan generasi lama orang Jawa yang sekarang sudah bercucu.
Stigma yang melekat, penyandang nama beraroma klasik kini diidentifikasi sebagai kelas melarat dan tak tercerahkan oleh trend. Sementara, nama-nama adaptasi dari bahasa asing dikonotasikan sebagai milik masyarakat urban sejahtera dan berkelas. Lucunya, masyarakat di desa yang ingin anaknya memiliki nama berkelas kadang asal beri nama tanpa tahu mula kata dan makna. Tak ada doa yang dipanjatkan dalam susunan nama yang a-historis makna. Trend nama menghilangkan doa.
Nama-nama perempuan acap jadi korban kelatahan trend nama itu. Bila nama sejak dari panggilannya menunjuk citra sebagai yang cantik dan feminim, dipakailah ia sebagai identitas, meski kosong doa. Panggilan nama dianggap lebih penting daripada nama lengkap. Tradisi Jawa, yang memanggil orang dengan mengorupsi secara semantik dari nama asal, menjadikan nama panggil harus lebih terlihat terhormat meski nama asli berkonotasi kuno dan katrok.
Bahasa
Feminitas nama yang mengasingkan perempuan terlihat kentara dalam bahasa Arab yang terkenal sangat patriarkhis itu. Bila Nabi menyatakan bahwa ahsanul asma’ (nama paling bagus) adalah Muhammad (yang dipujikan) dan Abdullah (hamba Allah), maka nama senada yang biasanya diawali dengan Abdul, seperti Abdul Rohman dan Rohim (Hamba Yang Maha Pengasih), Malik (Maha Memiliki), Salam (Maha Pendamai), Aziz (Maha Mulia), Hadi (Maha Penunjuk), yang dalam 99 Asma’ul Husna (Nama-nama Agung) milik Tuhan, tabu dimiliki perempuan. Padahal, setiap kita adalahttp://www.blogger.com/img/blank.gifh hamba Tuhan, tanpa membedakan jenis kelamin. Nama Tuhan boleh untuk nama laki-laki, bukan perempuan. Walaupun kita tahu, Tuhan tak berkelamin.
Di masyarakat kita, nama jadi ganjil kala tak menunjuk jenis kelamin jelas. Akan dianggap ngawur dan "menghinakan". Nama seperti Bambang, Budi, misal, akan jadi humor bila menyemat ke perempuan. Pembedaan seksologis kian kentara dalam kultur panggilan orang berkelamin ganda, waria. Satu sisi ia ingin dipanggil dengan nama khas yang digunakan laki-laki. Namun, di sisi lain, ia juga ingin dianggap sebagai perempuan yang memiliki nama manis. Nama jadi seksis dan diskriminatif.
Dus, dalam khazanah Islam, Nabi Muhammad mengamanatkan kepada setiap orang tua untuk memberikan nama yang terbaik bagi anaknya. Itu adalah kewajiban, bukan sekadar hak. Beliau mengatakan bahwa salah satu kewajiban orang tua kepada anaknya adalah: an yuhsina ismahu wa adabahu/ memberikan nama yang terbaik dan adabnya. Amanat Nabi yang mendahulukan pemilihan nama daripada pengajaran tata moral menjadi bukti bahwa nama adalah doa agar anak jadi lebih baik dalam setiap masanya: beradab.
Nama hanya soal pilihan replikatif ihwal martabat dan harga diri. Tak ada dosa dalam pilihan antara yang feminin dan maskulin. Kalau hanya tabarrukan (mengharap berkah), tak soal bila perempuan mengambil nama yang dikonvensi sebagai hanya milik laki-laki, dan sebaliknya. Asal paham bahwa biografi nama hakikatnya ada dalam doa dan cita-cita, bukan trend. Silahkan beri nama anak perempuan Anda Soekarno atau Soekarni (lebih feminis) bila ingin tabarrukan nama dengan proklamator itu, misal.
(Dimuat Harian Analisa Medan, Jum'at 10 Juni 2011)
Adagium "apalah arti sebuah nama," tak seutuhnya benar dalam narasi identitas yang menentukan harga diri dan martabat seseorang. Nama, dalam tata kultur lain, adalah lumpur doa.
Nama bisa diambil dari lintas bahasa; Inggris, Perancis, Italia, Arab, Sanksekerta, Jawa, Indonesia dan lainnya. Orang tua sibuk menyusun nama indah untuk anak-nya yang baru saja lahir, sesuai dengan harapan doa dan jenis kelamin.
Jenis kelamin jadi penentu pemilihan sebuah nama. Abdullah, meski berarti "hamba Allah", tanpa pelibatan jenis kelamin disana, nyatanya tak dijumpai melekat sebagai nama seorang perempuan. Kasus serupa ada pada misal nama Fatimah atau Monika, yang tabu bila dilekatkan kepada laki-laki.
Nyata, nama merupakan identitas pemantik harga diri sejak dari persepsi dan konotasi. Laki-laki harus diberi nama yang berkesan maskulin, sementara perempuan, laiklah mendapat nama utuh dengan panggilan yang memikat dan feniminis. Terjadi bias dalam pencitraan nama antara laki-laki dan perempuan. Keindahan, kelemahan, kesyahduan, sejak dini disandangkan kepada perempuan dalam konotasi nama.
Atas hasrat martabat, memilih nama adalah kerja ideologis yang memiliki konsekuensi simbolik menyingkirkan barisan nama usang, untuk diganti dengan nama-nama dan panggilan nama- yang ngetrend dan berkelas. Nama yang berakhiran yem, nah, jah, tak menarik lagi dijadikan atribut kenamaan generasi sekarang. Itu hanyalah nama-nama perempuan generasi lama orang Jawa yang sekarang sudah bercucu.
Stigma yang melekat, penyandang nama beraroma klasik kini diidentifikasi sebagai kelas melarat dan tak tercerahkan oleh trend. Sementara, nama-nama adaptasi dari bahasa asing dikonotasikan sebagai milik masyarakat urban sejahtera dan berkelas. Lucunya, masyarakat di desa yang ingin anaknya memiliki nama berkelas kadang asal beri nama tanpa tahu mula kata dan makna. Tak ada doa yang dipanjatkan dalam susunan nama yang a-historis makna. Trend nama menghilangkan doa.
Nama-nama perempuan acap jadi korban kelatahan trend nama itu. Bila nama sejak dari panggilannya menunjuk citra sebagai yang cantik dan feminim, dipakailah ia sebagai identitas, meski kosong doa. Panggilan nama dianggap lebih penting daripada nama lengkap. Tradisi Jawa, yang memanggil orang dengan mengorupsi secara semantik dari nama asal, menjadikan nama panggil harus lebih terlihat terhormat meski nama asli berkonotasi kuno dan katrok.
Bahasa
Feminitas nama yang mengasingkan perempuan terlihat kentara dalam bahasa Arab yang terkenal sangat patriarkhis itu. Bila Nabi menyatakan bahwa ahsanul asma’ (nama paling bagus) adalah Muhammad (yang dipujikan) dan Abdullah (hamba Allah), maka nama senada yang biasanya diawali dengan Abdul, seperti Abdul Rohman dan Rohim (Hamba Yang Maha Pengasih), Malik (Maha Memiliki), Salam (Maha Pendamai), Aziz (Maha Mulia), Hadi (Maha Penunjuk), yang dalam 99 Asma’ul Husna (Nama-nama Agung) milik Tuhan, tabu dimiliki perempuan. Padahal, setiap kita adalahttp://www.blogger.com/img/blank.gifh hamba Tuhan, tanpa membedakan jenis kelamin. Nama Tuhan boleh untuk nama laki-laki, bukan perempuan. Walaupun kita tahu, Tuhan tak berkelamin.
Di masyarakat kita, nama jadi ganjil kala tak menunjuk jenis kelamin jelas. Akan dianggap ngawur dan "menghinakan". Nama seperti Bambang, Budi, misal, akan jadi humor bila menyemat ke perempuan. Pembedaan seksologis kian kentara dalam kultur panggilan orang berkelamin ganda, waria. Satu sisi ia ingin dipanggil dengan nama khas yang digunakan laki-laki. Namun, di sisi lain, ia juga ingin dianggap sebagai perempuan yang memiliki nama manis. Nama jadi seksis dan diskriminatif.
Dus, dalam khazanah Islam, Nabi Muhammad mengamanatkan kepada setiap orang tua untuk memberikan nama yang terbaik bagi anaknya. Itu adalah kewajiban, bukan sekadar hak. Beliau mengatakan bahwa salah satu kewajiban orang tua kepada anaknya adalah: an yuhsina ismahu wa adabahu/ memberikan nama yang terbaik dan adabnya. Amanat Nabi yang mendahulukan pemilihan nama daripada pengajaran tata moral menjadi bukti bahwa nama adalah doa agar anak jadi lebih baik dalam setiap masanya: beradab.
Nama hanya soal pilihan replikatif ihwal martabat dan harga diri. Tak ada dosa dalam pilihan antara yang feminin dan maskulin. Kalau hanya tabarrukan (mengharap berkah), tak soal bila perempuan mengambil nama yang dikonvensi sebagai hanya milik laki-laki, dan sebaliknya. Asal paham bahwa biografi nama hakikatnya ada dalam doa dan cita-cita, bukan trend. Silahkan beri nama anak perempuan Anda Soekarno atau Soekarni (lebih feminis) bila ingin tabarrukan nama dengan proklamator itu, misal.
(Dimuat Harian Analisa Medan, Jum'at 10 Juni 2011)