Peteng Dedet Yayasan Zumrotul Wildan Ngabul -->
Cari Judul Esai

Advertisement

Peteng Dedet Yayasan Zumrotul Wildan Ngabul

M Abdullah Badri
Selasa, 07 November 2023
Flashdisk Ebook Islami

Jual Kacamata Minus
pengalaman memvaksin anak
Banner edaran vaksinasi di MI Zumrotul Wildan, Ngabul, Tahunan, Jepara,
pada 7 November 2023. Foto: istimewa.


Oleh M. Abdullah Badri


PADA Kamis, 2 November 2023, anak kedua saya diantarkan guru ke rumah setelah otot lehernya mengencang dan kepalanya tidak bisa ditolehkan kanan kiri dengan baik. Tidak ada penyebab yang bisa dideteksi atas ketidaknormalan otot leher saat di madrasah. 


Jumat, 3 November 2023, saya periksakan dia ke Essa, dan sore harinya baru saya bawa ke tukang pijat sebelah. Gara-gara otot leher tak bisa dibuat menoleh, anak saya ijin tidak masuk madrasah tiga hari; Kamis, Sabtu dan Ahad (2, 4 dan 5 November 2023). 


Pada Senin, 6 November 2023, saya paksa anak saya masuk madrasah walau masih agak kesakitan saat menoleh. Tapi, pada Selasa, 7 November 2023, dia tidak saya ijinkan masuk madrasah karena pada malam Selasa, baru tersiar kabar dari gurunya di grup WA bahwa Selasa pagi akan ada imuninasi difteri untuk kelas 2 dan 5 MI. 


Kabar ini baru disebar di WA setelah ada salah satu wali murid yang menanyakan tentang imunisasi besok di grup. Andai tidak ada yang bertanya, mungkin tidak banyak wali murid yang menginjinkan anaknya tak masuk sekolah. Mungkin pula, anak saya bakal menjadi korban imunisasi tanpa ijin dari orangtua. 


Itulah yang saya sayangkan untuk Yayasan Zumrotul Wildan (ZW), Ngabul, Tahunan, Jepara. Berkali-kali saya ingatkan di grup Yayasan ZW, bila ada pihak Puskesmas manapun ingin masuk ke sekolah (goes to school) untuk melakukan vaksinasi, suratilah dulu para wali murid. Minimal, umumkanlah dulu di grup WA wali murid. Jangan kucing-kucingan. Bila informasi adanya vaksinasi tidak diterima oleh para wali murid, sementara ada wali murid yang mengharamkan vaksin untuk anaknya seperti saya, itu sama saja dengan maling kesempatan. 


Bersusah payah saya sebagai orangtua menjemput rezeki halal untuk anak, eh ternyata justru barang yang haram seolah dipaksa masuk ke anak lewat madrasah, lewat vaksinasi atau imunisasi, dimana tidak ada jaminan bahwa anak yang sudah divaksin akan terbebas total dari penyakit yang konon dicegah. 


Saya ingat, adik saya (anaknya paman) dirawat di Rumah Sakit selama dua minggu setelah divaksin. Tentu saja pihak yang memvaksin tidak akan mengakui kalau penyebab demamnya akibat vaksin. Mengakui saja tidak, apalagi membantu biaya pengobatan. Vaksinnya gratis, tapi, efek buruk vaksin yang mungkin muncul, mereka tidak akan bertanggungjawab. Saya tidak akan penjang lebar berdebat soal teori vaksin. Muspro


Bukan Klinik Kesehatan

Kalau boleh bernalar, madrasah yang menerima proyek anak divaksin Puskesmas harusnya mau bertanggungjawab bila si anak langsung menampakkan efeknya, seperti demam tinggi atau lainnya. Sayangnya, madrasah jelas tidak mau bertanggungjawab bila ada anak masuk rumah sakit setelah divaksin. Wajar banyak wali murid menolak. Soalnya, risiko vaksinasi bakal ditanggung orangtuanya sendiri, seperti saya, yang tetap bertanggungjawab mengobatkan anak, mijetke anak, ketika lehernya terkunci saat jam sekolah berlangsung. 


Bagi saya, madrasah adalah klinik pendidikan. Madrasah bukanlah klinik kesehatan. Kalau madrasah ingin berperan dalam kesehatan anak, caranya bukan dengan vaksinasi, tapi membuat klinik kesehatan sendiri. Minimal menyediakan dana berobat (dana sosial) untuk anak yang tiba-tiba sakit di sekolah. Jadi, bila ada anak tiba-tiba sakit di sekolah, ada pihak yang langsung mengantarkan periksa ke klinik terdekat, dengan biaya dari madrasah. Barulah wali murid dikontak datang melanjutkan tanggungjawabnya mengobati anaknya yang sakit. Upaya ini sangat bermanfaat untuk mencegah mendadaknya efek buruk penyakit yang tiba-tiba saja bakal terjadi di sekolah.


Bila ada dana darurat sosial yang selalu tersedia untuk penanganan pertama kesehatan anak, siswa yang sakit bisa dijenguk rombongan siswa-siswa lain sekelas, dengan dana kas kesehatan tersebut. Kultur iyadatul maridl (niliki konco loro) ini pernah ada di zaman saya sekolah di Zumrotul Wildan. Andai hal ini bisa terus diterapkan, antar siswa, teman-temannya dan wali murid yang anaknya dijenguk akibat sakit, akan tumbuh saling kasih. Tidak mudah melakukan perundungan.  


Saya mendengar, ada guru di ZW yang justru moyoki anak saya karena orangtuanya keras tidak mengijinkan ikut vaksinasi. Guru merundung murid ya nembe krungu iki. Innalillah wa inna ilahi roji'un


Yang ironis, anak pertama saya pernah pulang dari madrasah dalam kondisi lapar dan lemas. Setelah ditanya ibunya, ternyata duit jatah sangu, yang sebagiannya untuk iuran dana sosial, tidak dikasi kembalian oleh sang guru. 


Uniknya, sang guru justru mutung. "Ya udah, besok saya kembalikan semuanya. Biar tidak dianggap mengambil dana sosial". Ini guru macam apa kok langsung mutung? Mengapa dia tak langsung memberi susuk (kembalian) untuk keperluan sangu anak. Kasih sayang mana yang ingin ditunjukkan oleh guru semacam itu? 


Kalau gurunya saja tidak menampakkan etika uswah (contoh) baik kepada muridnya, atau colong laku memasukkan "barang haram" berupa vaksin, maka, wajar Zumrotul Wildan saat ini masih fid-dholam (peteng dedet). 


Bila masih peteng dedet, saya berniat mencari nur-nur lain di madrasah lain, atas nama saya sebagai rojul, yang dalam hadits Rasulullah Saw, dituntut bertanggungjawab dunia akhirat. 


والرجل راع في أهله ومسؤول عن رعيته


Terjemah:

"Laki-laki (orangtua/suami) adalah pemimpin dalam keluarganya dan bertanggungjawab atas asuhannya" (HR. Muslim). 


Duh Gusti, kulo sampun usaha jogo anak supaya jauh dari memakan harta haram dan tetap menjaga dirinya dari pendidikan yang buruk. Bila madrasah Zumrotul Wildan justru terkesan merusaknya, saksikanlah, kulo sampun bebas. Ampun jenengan tuntut kulo, Gusti! Wallahu a'lam. [badriologi.com]


Flashdisk Ribuan Kitab PDF

close
Iklan Flashdisk Gus Baha