Matan Minhajut Thalibin tentang puasa sunnah, termasuk puasa dahr. Foto: badriologi.com. |
Oleh M Abdullah Badri
DALAM buku-buku biografi berbahasa Arab, Imam Nawawi (631-676 H) dinyatakan selalu setiap hari. Berbukanya cukup hanya dengan memakan roti jatah dari Madrasah Rawahiyah, Damaskus, di waktu Isya' akhir, lalu cukup meminum dengan segelas air putih di waktu sahur. Imam Nawawi tidak pernah memakan buah dari Kota Damaskus karena dianggap syubhat.
Oleh muridnya, Syaikh Ala'uddin Al-Athhar (w. 724 H), Imam Nawawi disebut sebagai orang yang banyak berpuasa. Karena jarang makan, Imam Nawawi jarang ke toilet. Ia tidak beranjak dari tempat duduknya kecuali hanya untuk wudlu' atau shalat. Semua waktunya habis untuk ilmu pengetahuan; muraja'ah (mengulang hapalan), qira'ah (membaca) dan tashnif (menulis), hingga wafat.
Gambaran Imam Nawawi yang ahli tirakat tersebut masih banyak kita temukan dalam tradisi dan laku santri di Nusantara, terutama di pondok pesantren tradisional, -meski intensitasnya mengalami penurunan, tidak seperti zaman dulu.
Menurut Imam Nawawi, hukum puasa dahr (صوم الدهر) itu mustahab (disarankan), dengan catatan; pertama, tidak menimbulkan mudarat, atau kedua, tidak mempengaruhi hak-hak atau tugas yang seharusnya dilakukan. Bila menimbulkan pengaruh tidak baik bagi pelaku puasanya, maka, hukumnya makruh. Tidak sampai haram.
Dalam Matan Kitab Minhajuth Thalibin (ringkasan dari Al-Muharrar Rafi'i), Imam Nawawi menyatakan,
وصوم الدهر غير العيد والتشريق مكروه لمن خاف به ضررا أو فوت حق. ومستحب لغيره
Artinya:
"Puasa dahr selain hari raya Id dan Tasyriq adalah makruh bagi orang yang khawatir timbul mudarat, atau khawatir tertinggalnya kewajiban. Dan sunnah (mustahab) hukumnya bagi selainnya (red. yang tidak khawatir)". (Baca: Minhajuth Thalibin, Imam Nawawi, Cet. Dar Minhaj, 2005, hlm: 186).
Maksud puasa dahr adalah puasa setiap hari sepanjang tahun, kecuali Hari Raya Idul Fitri dan Idul Adlha serta tiga (3 hari) Taysriq. Inilah jenis puasa yang dilakukan Imam Nawawi selama hidupnya, di Damaskus. Bila sepanjang tahun berpuasa tanpa jeda, semua ulama' lintas madzhab sepakat hukumnya haram.
Penjelasan Hukum Berpuasa Sepanjang Tahun
Dalam Kitab Nihayatul Muhtaj (syarah Kitab Minhaj), Imam Syamsuddin Ar-Ramli menjelaskan bahwa dasar sunnahnya hukum berpuasa setiap hari (dahr) adalah keumuman hadits riwayat Imam Baihaqi, yang berbunyi:
من صام الدهر ضيقت عليه جهنم وعقد تسعين
Artinya:
"Siapa yang puasa dahr, jahannam dilipat untuknya (tidak masuk neraka atau tidak ada jatah neraka baginya)" (HR. Baihaqi).
Hadits lain juga menyebutkan,
من صام يوما في سبيل الله باعد الله وجهه عن النار سبعين خريفا
Artinya:
"Barang siapa puasa sehari dengan niat fi Sabililillah (ikhlash), Allah menjauhkan wajahnya dari neraka sejauh 70 jurang".
Adapun hadits yang berbunyi لا صام من صام الأبد (tidak dianggap puasa bagi mereka yang puasa sepanjang masa) sebetulnya ditujukan puasa tahunan yang tidak pernah stop istirahat di hari haram berpuasa, yakni Hari Raya Idul Fitri dan Adlha serta tiga hari Tasyriq.
Syaikh As-Syarwani menyebut, sunnahnya berpuasa dahr selain di hari haram berpuasa merupakan pendapat yang mu'tamad (kuat dan diakui madzhab). Tidak ada khilaf antara Ibnu Hajar dan Ar-Ramli (syaikhani) maupun dalam kitab-kitab karangan Imam Nawawi sendiri, seperti Al-Majmu' Syarah Al-Muhadzab maupun Raudlatuth Thalibin. (Baca: Hawasyi Tuhfatul Muhtaj Bisyarhil Minhaj, Syaikh Abdul Hamid As-Syarwani, Cet Penerbit Musthafa Muhammad Mesir, Jilid 3, hlm: 459).
Sunnahnya puasa dahr berubah menjadi makruh bila sampai merepotkan pelakunya. Hal ini berdasarkan hadits riwayat Abu Darda' yang pernah berpuasa dahr dan dilaporkan Ibunya kepada Rasulullah Saw. Ke Abu Darda', Nabi Muhammad Saw. kemudian memberikan sabda nasihat berikut:
إن لربك عليك حقا ولأهلك عليك حقا ولجسدك عليك حقا فصم وأفطر وقم ونم وائت أهلك وأعط كل ذي حق حقه
Artinya:
"Kepada Tuhanmu, kamu punya kewajiban (hak), kepada keluargamu kamu juga punya tanggungan, ragamu juga punya hak. Maka, puasalah dan berbukalah. Ibadah malam lah, dan tidurlah. Berikan keluargamu akan haknya. Penuhilah hak kepada tiap-tiap yang memiliki hak (darimu)". (Baca: Nihayatul Muhtaj Ila Syarhil Minhaj Jilid 3, Syaikh Syamsuddin Ar-Ramli, Cet. Dar Kotob Ilmiyah, 2002, hlm: 210).
Dari dasar hadits di atas, kita ketahui, Nabi Saw. tidak melarang berpuasa dahr. Beliau hanya memberikan penjelasan kepada Abu darda' tentang hak yang harus dipenuhi jika berpuasa dahr. Bila puasa dahr merepotkan dia, jangan dilakukan. Bila tidak, ya silakan. Itu sunnah. Mustahab.
Bukan hanya puasa saja, shalat qiyamul lail rutin setiap malam juga makruh bila pelakunya merasa repot. Hal ini juga ditegaskan oleh Al-Isnawi, sebagaimana dikutip Imam Ibnu Hajar dalam Kitab Tuhfatul Muhtaj syarah Al-Minhaj. Saking utamanya puasa dahr, orang yang bernadzar (berjanji) hendak berpuasa dahr (selain 5 hari yang haram) terkena hukum harus menjalaninya. (Hawasyi Tuhfatul Muhtaj, hlm: 210).
Catatan Untuk Penahqiq Biografi Imam Nawawi
Banyak ulama' yang mengakui Imam Nawawi sebagai wali Allah. Karomah-karomahnya tertulis dalam buku biografi semacam Al-Minhajus Sawi (karya Imam Suyuthi), A'lamut Tarikh Juz IV: Imam An-Nawawi (karya Ali Ath-Thantawi), Bughyatur Rawi (karya Ibnu Imam Al-Kamiliyyah, w. 874), A'lamul Muslimin X: Al-Imam An-Nawawi Syaikhul Islam wal Muslimin (karya Abdul Ghani Daqr), Manhalul Adzbir Rawi (karya Syaikh As-Syakhawi, w. 902), dan lainnya.
Namun, dalam karya inti biografi Imam Nawawi yang ditulis oleh murid kesayangan, Syaikh Alauddin Al-Atthar, yang berjudul: Tuhfatuth Thalibin fi Tarjamitil Imam Muhyiddin, muncul catatan kaki seolah Imam Nawawi adalah sosok yang tidak beres karena biasa berpuasa dahr setiap hari. Penulis catatan kaki itu bernama Abu Ubaidah Masyhur bin Hasan Alu Salman.
Di halaman 48 Tuhfatuth Thalibin cetakan pertama dari Penerbit Dar Atsariyah tahun 2007, Abu Ubaidah Alu Salman menulis catatan kaki seperti ini:
نهى عليه الصلاة والسلام عن صيام الدهر كما هو ثابت في صحيح البخاري و صحيح مسلم وغيرهما
Artinya:
"Nabi Saw. melarang puasa dahr sebagaimana tertulis dalam Shahih Bukhari, Shahih Muslim dan lainnya". (Tuhfatuth Thalibin fi Tarjamitil Imam Muhyiddin, Dar Atsariyah, 2007, hlm: 48 dengan penahqiq Abu Ubaidah Masyhur bin Hasan Alu Salman).
Catatan kaki panahqiq Kitab Tuhfatuth Thalibin yang melarang puasa dahr. Foto: badriologi.com. |
Untuk mendukung pendapatnya, Abu Ubaidah kemudian menyertakan pendapat Ad-Dzahabi yang intinya, beribadah yang tidak sesuai dengan sunnah Nabi Muhammad Saw dan tidak mengetahui dalilnya, sebagaimana dilakukan oleh kalangan abid (ahli ibadah) kebanyakan, termasuk orang yang terbujuk dan meninggalkan banyak kebaikan.
Abu Ubadah seolah mengajak kepada pembaca agar tidak meniru amalan puasa tathawwu' (sunnah) seperti dilakukan oleh Imam Nawawi. Tanpa investigasi lebih lanjut terkait pendapat Imam Nawawi dalam karya-karyanya seperti Minhajuth Thalibin, Abu Ubadah langsung melakukan justifikasi "puasa dahr dilarang".
Agar lebih fair, sebagai penahqiq, Abu Ubadah Alu Syaikh harusnya menyertakan pendapat Syaikh Syarwani (penulis Hasyiyah Tuhfatul Muhtaj syarah Minhaj) yang menyebut kalau sunnahnya puasa dahr adalah pendapat mu'tamad bagi mereka yang kuat.
Lebih dari itu, masih di kitab yang sama sama, Abu Ubadah juga memberikan catatan agar sebaiknya, penulis-penulis biografi ulama' besar seperti Imam Nawawi tidak menyertakan karomahnya. Alasannya, agar keagungan sosoknya tidak tercemar. Ini alasan macam apa? Bukankah muridnya sendiri, Al-Aththar, juga menyebut kalau Imam Nawawi adalah waliyullah? Dan karomahnya juga sudah muncul sejak bertemu dengan Syaikh Yasin Aswad di usia 10 tahun.
Banyak penulis biografi menyatakan, Imam Nawawi bukan saja alim, tapi juga amil (mengamalkan ilmunya). Bila beliau menyatakan hukum puasa dahr mustahab, Imam Nawawi jelas melakukannya. Bukan hanya omong kosong.
Gara-gara kaya ilmu dan kaya amal itulah, Imam Nawawi disegani oleh penguasa di Damaskus kala itu. Apalagi beliau punya wirid khusus karangan sendiri, namanya Hizib Nawawi, yang saat ini masih dibaca para santri. [badriologi.com]