Al-Mawâidlul Ushfuriyyah, Kitab Kuning Berisi Cerita -->
Cari Judul Esai

Advertisement

Al-Mawâidlul Ushfuriyyah, Kitab Kuning Berisi Cerita

M Abdullah Badri
Minggu, 10 Maret 2019
Flashdisk Ebook Islami

Jual Kacamata Minus
download terjemahan kitab mawaidzul usfuriyah
Saat ngaji membaca Kitab Al-Mawâ’idlul Ushfuriyah tiap malam Kamis. Foto: pribadi. 
Oleh M Abdullah Badri

SEJAK Bapak (H. Muhammad Badri bin Abdul Hadi bin Marsam bin Sarih bin Baraim) wafat pada malam Jumat Wage, 19 Dzulqa’dah 1433/5 Oktober 2012 (saat pemilihan petinggi dimenangkan H. Ahmadun), tidak ada pesan atau wasiat apapun tentang pengelolaan mushalla Al-Firdaus, Ngabul, Tahunan, Jepara, kecuali hanya diminta meneruskan pembangunan fisik semampunya dan ngaji tiap sore Bulan Ramadhan.

Atas nama wasiat, Ramadhan 1434/2013, saya terpaksa melanjutkan ngaji, dengan membaca Kitab Nashâ’ihul Ibâd. Kitab tersebut saya pilih karena selain sebagai pengingat untuk diri pribadi, kitab itu saya anggap dibutuhkan oleh masyarakat sekitar.

Ngaji rutin malam Ahad, Rabu siang dan Jumat siang (Al-Qur’an) di mushalla tidak saya iyakan untuk kelanjutannya karena memang tidak mendapatkan wasiat dari Bapak.

Dengan alasan yang sama, Rutinan ngaji 17 mushalla di beberapa tempat pun tidak saya teruskan dari Bapak. Selain itu, Pak Lek saya (H. Masdim Abdul Hadi) juga saya anggap lebih pas sebagai penerus rutinan Bapak. Lebih sepuh dan tentunya lebih bijak.

Berjalannya waktu, ternyata beberapa warga yang ikut ngaji puasa meminta saya untuk meneruskan rutinan Ngaji malam Ahad, sebagaimana Bapak dulu mentradisikannya, wasiat dari simbah guru Syaikh KH. Muhammadun, Pondowan, Pati, Jawa Tengah.

Kitab Kuning Berisi Cerita

Permintaan gelar ngaji tersebut tidak segera saya tanggapi. Hingga akhirnya, perwakilan beberapa warga sekitar mendatangi saya dan memintanya, atas nama warga pula.

“Kitab apapun, yang penting jenengan ngaji,” kata mereka.

Mereka berdalih, di desa, tidak ada tempat ngaji rutin kitab. Banyak majelis dzikir digelar, tapi majelis ngaji, masih sangat minim dan tidak kronologis. Padahal, dalam ngaji, mereka juga membutuhkan ilmu agama dan pengetahuan lainnya yang bisa dirasakan dan diamalkan. Kata mereka.

Karena kesungguhan niat, akhirnya, pada 03 Dzulhijjah 1439/15 Agustus 2018, bismillâh, saya mulai membaca Kitab Al-Mawâ’idlul Ushfuriyah, dengan beberapa syarat:

  1. Jika ingin ngaji, harus istiqamah. Bila demikian, saya juga mengharuskan istiqamah,
  2. Jangan memberi imbalan bentuk bisyârah apapun, termasuk uang. Ini mengikuti pesan Bapak. Alasannya, jika ngaji ditakar dengan uang, kala uang bisyârahnya tidak ada, ngajinya tidak jadi digelar. 

Syarat itu dipenuhi mereka karena ide tersebut muncul dari kesungguhan niat mereka sendiri. Beberapa warga mulai ngaji tiap sepekan sekali, di mushalla sebelah rumah pas, Al-Firdaus. Bukan malam Ahad seperti rutinitas Bapak, tapi tiap malam Kamis.

Dan waktu saya memulai baca (qirâ’ah) pun, atas perintah guru, di mana saat itu beliau meminta supaya ngajinya dimulai pada malam Kamis pertama (Pon) Bulan Haji (Dzulhijjah 1439 H). Padahal, permintaan warga sudah diutarakan langsung ke saya dua pekan sebelumnya usai lebaran.   

Pemilihan malam Kamis tiada lain karena ittibâ’ berkah agar peserta yang ikut ngaji tidak berbosan-bosan dalam terus mengkaji ilmu. Demikian kata guru saya. Pilihan membaca yang jatuh kepada Kitab Al-Mawâ’idlul Ushfuriyah juga karena ijin dari guru sepuh. Beliau meminta supaya saya membaca hadits saja. Poinnya begitu.

Ada dua kitab yang sedianya saya baca waktu itu, yakni Arba’în Nawawi dan Al-Mawâ’idlul Ushfuriyah sendiri. Alasannya sederhana; saya khatam ngaji kedua kitab tersebut meski belum pernah menyebarkannya kepada orang lain.

Bahkan, untuk Kitab Al-Mawâ’idlul Ushfuriyah, alhamdulillâh khatam ngaji hingga tiga kali, lengkap dengan asahan maknanya zaman ikut ngaji rutinan tiap Rabu sore di pondok Tasywiquth-Thullab, asuhan KH. Ma’mun Ahmad, dan pasanan ngaji di pesantren Miftahul Huda, Gringging, Dawe, Kudus, asuhan Kiai Mahmud Junaidi.

Lama menunggu kitab apa yang harus saya baca, isyarah yang didapatkan guru saya adalah Al-Mawâ’idlul Ushfuriyah. Ya sudah, lanjut ngaji dengan kitab tersebut.

Kisah-kisah dalam Al-Mawâ’idlul Ushfuriyah, ketika ngaji, saya tambah dengan keterangan-keterangan lain di luar hadits dan cerita-cerita aktual yang berkembang di sekitar kita. Tapi, di blog badriologi.com ini, saya mencoba menuliskannya. Kadang dengan terjemah sesuai teks, kadang pula dengan ulasan-ulasan yang terkait dengan peristiwa aktual sedang terjadi, sebagai pengingat.

Semangat mendokumentasikan teks dan narasi Ngaji Kitab Al-Mawâ’idlul Ushfuriyah tiap malam Kamis terus muncul sejak saya menemukan terjemahan kitabnya oleh Zein Husein Alhamid, yang ternyata banyak melakukan tahdzîf (pembuangan teks terjemah asli) dengan alasan tidak jelas. Baca ulasannya: Waspada Terjemahan Kitab Ushfuriyah Zeid Husein Alhamid.

Beberapa narasi Ngaji Kitab Al-Mawâ’idlul Ushfuriyah yang sudah saya dokumenkan secara online, bisa Anda simak dalam daftar bagian sesuai judulnya, dalam daftar Sheet Drive Google di bawah ini (atau klik langsung DISINI). Dan kalau sudah lengkap, mudah-mudahan menjadi sebuah buku yang diterbitkan oleh Penerbit Diroz Pustaka. Nawaitu mau’idho’hi awake dewe. Bismillah! [badriologi.com]
Flashdisk Ribuan Kitab PDF

close
Iklan Flashdisk Gus Baha