Halaqah Keaswajaan Harlah NU 96 MWC Pecangaan, 29 Maret 2018. |
PASCA aksi 212 tahun 2016, seorang habib sepuh berkomentar lirih, “lha iyo, kerukunan sudah dibangun lama puluhan tahun di negeri ini, hanya karena tidak mau bersabar, diruntuhkan olehnya hanya dengan sekali aksi,” katanya.
Sayangnya, dalam aksi tersebut, bukan hanya NU yang menjadi korban, tapi juga kiainya, ulama-nya dan juga persatuan bangsa dan negara. Perbincangan tentang agama dan politik meluas begitu hebat hingga membuat suasana menjadi “eneg” berbicara tentang politik agama, hingga ada yang seorang ayah yang meminta anaknya di kampus agar tidak bergabung dengan gerakan mahasiswa Islam.
Media sosial pun akhirnya dipenuhi dengan ulasan para penceramah yang tiba-tiba muncul dengan nada-nada seolah mengerti segala hal. Di Twitter sendiri, kala itu, Jakarta menjadi kota tercerewet nomor tiga. Padahal warga negara Indonesia, konon, menempati urutan 64 dari 65 negara yang warga negaranya hidup senang dengan membaca buku.
Karena ketidakseimbangan antara membaca, diskusi dan berbicara —di dunia maya khususnya, muncullah fenomena hoax (bohong karena direkayasa) yang lagi-lagi, NU menjadi tumbal. Tokohnya dikerdilkan.
NU menjadi korban kekesalan kelompok dengan isu kriminalisasi ulama, pro penguasa “anti Islam” dan membenci para pendukung negara khilâfah (HTI), NKRI Ber-syari’ah (FPI) dan daulah islâmiyah (ala MMI dll).
Sejak dulu, NU memang sudah dibully dan bahkan dikafirkan. Dulu NU nya yang diserang bersama, tapi kini, kiai-nya, santrinya dan manhaj politiknya yang seolah dikesankan pertama kali dengan sebutan Syiah, bergeser menjadi PKI, dan kini, antek pemerintah.
Seolah-olah, pasca 212, negeri bernama Indonesia akan hancur di tahun-tahun berikutnya. Pesimisme tersebar massif di banyak kalangan yang justru (antara lain) muncul dari mereka yang selama ini digaji oleh negara. Kalimat kafir pun, menjadi polemik yang memecah belah.
Manhaj Kebangsaan NU
Sejarah mencatat, Nahdlatul Ulama (NU) sebagai organisasi tidak pernah bergeser dari garis perjuangan menegakkan ajaran Islam ahlussunnah wal jamâ’ah serta tetap menjaga persatuan dan kesatuan bangsa. Hal itu dibuktikan dengan keputusan-keputusan penting dan resmi terkait kehidupan bernegara.Tahun 1936, saat Indonesia masih dikuasai Belanda, NU sudah menyatakan Nusantara sebagai “dârul islâm” karena dulu pernah menjadi wilayah kekuasaan penguasa muslim. Selain itu, Belanda juga tidak pernah melarang berlangsungnya praktik keagamaan yang dijalankan oleh umat Islam.
Demi menjaga keutuhan bangsa di negara baru bernama Indonesia, melalui KH. Wahid Hasyim, NU juga mendukung dihapusnya tujuh kata “Piagam Jakarta” pada Juni 1945, jelang kemerdekaan. Fatwa Jihad melawan pendudukan kembali Belanda juga pernah dikeluarkan oleh Hadratussyaikh KH. Hasyim Asy’ari pada 22 Oktober 1945, yang kemudian meletuskan perang 10 November 1945.
Saat Presiden Ir. Soekarno mulai diserang lawan politiknya dengan isu amandemen UUD 1945, NU juga berpihak kepada Bung Karno dengan memberinya gelar waliyyul amri al-dlarurî bis-syaukah (pemegang kekuasaan temporer yang secara de facto memegang kekuasaan). Terjadi tahun 1954 saat Menteri Agama dipegang oleh KH. Masjkur.
Pada tahun 1983, NU secara resmi menerima Pancasila, yang kemudian dilanjut pada tahun 1984 menegaskan kembali penerimaan Pancasila sebagai asas tunggal. Saat tiga kelompok partai ingin mewacanakan kembali Piagam Jakarta dalam Sidang Umum MPR RI tahun 2000, lagi-lagi NU juga menolak usulan tersebut.
Terbaru, NU juga secara resmi menolak ideologi khilafah yang diusung oleh kelompok Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dalam Munas Alim Ulama yang digelar pada tahun 2014 silam. Dan pada Munas NU pada awal Maret 2019 kemarin, NU kembali di jalan menjaga persatuan bangsa dengan memunculkan tafsir “kâfir” sebagai “muwâthin” (warga negara).
Fotonya nya pas kebetulan ndangak. Duh. |
Diamnya NU tiada lain kecuali demi keutuhan bangsa. Namun, NU tidak bisa berdiam diri jika keutuhan negara dirongrong oleh kelompok yang datang belakangan dan tidak terlibat dalam sejarah perjuangan bangsa.
Tujuan utama NU terus eksis adalah agar Indonesia menjadi baldatun thayyibatun wa rabbun ghafûr, jauh dari konflik sesama anak bangsa, dan saling menjaga dengan sikap tawassuth, tawâzun, tasâmuh dan i’tidâl.
NU menjadi faktor dan aktor sejarah penting yang terbukti menjaga keutuhan NKRI sejak zaman bergerak Indonesia hingga mengalami zaman bergolak berkali-kali. Tanpa pengorbanan, pengabdian dan perjuangan yang tulus, hal itu tidak akan mungkin terjadi. Itulah manhaj politik kebangsaan NU. Sejak dulu, dan hingga kini berpihak kepada kesatuan NKRI.
Sayangnya, semua itu seolah ingin diruntuhkan oleh orang, yang menurut habib, hanya “karena “dia” tidak mau bersabar”. [badriologi.com]
Keterangan:
Esai ini disampaikan penulis dalam Halaqah NU dalam rangka Harlah NU ke-96 oleh MWC NU Pecangaan, Jepara, pada Jumat Pon, 29 Maret 2019 (siang), di Gedung MWC NU Pecangaan, Jl. Rahayu, Pecangaan Kulon, Kec. Pecangaan, Kab. Jepara