Cover Kitab Fiqih Media Sosial. |
Oleh M. Abdullah Badri
Salah satu karya dari Kang Kiai Maimun Abu Naufal Al-Banari yang ditulis pada 2024 lalu ada yang berjudul Fiqhu Wasa'ilit Tawashul Al-Ijtima'i (فقه وسائل التواصل الإجتماعي) atau Fiqih Media Sosial. Tebalnya 100 halaman dan sudah ada makna jenggot Pegon Jawa.
Membacanya, Anda akan diajak berselancar ke dunia media sosial dilihat dari perspektif hukum fiqih madzhab Syafi'i. Ada 35 bab yang dibahas dalam kitab tersebut. Diantaranya, hukum main game via internet, hukum menyebarkan karya orang lain via internet tanpa ijin dan lainnya.
Intinya, dari semua pembahasan yang ada, hukum berselancar di media sosial itu disamakan semuanya dalam dunia nyata. Bila baik, maka, hukumnya sunnah dan dapat ganjaran, bila tidak, ya sebaliknya.
Yang membuat saya menarik adalah bab ke-14, yakni menyebarkan aib orang lain di media sosial. Menurut Imam Ibnu Hajar Al-Haitami, sebagaimana dikutip Kang Kiai Maimun di halaman 40-41, hukum asal ghibah adalah haram. Namun, kadang bisa menjadi wajib atau mubah bila ada tujuan syariat yang dibenarkan dimana tidak ada jalan lain menuju ke sana kecuali dengan menyebarkan aibnya.
Misalnya, mengkritik orang yang biasa berfatwa tentang agama, padahal dia tidak ahli agama. Maka, menurut Ibnu Hajar, kritiknya dibolehkan bahkan bisa menjadi wajib demi menjaga umat Islam agar tidak mengikuti cangkem elek-nya yang ngawur tanpa dasar, seperti yang marak akhir-akhir terkait kisah khurofat mi'roj 70 kali semalam, hujan susu, dan lainnya.
Hal-hal seperti itu boleh dikritik habis-habisan. Nek wani.
Ibnu Hajar Al-Haitami bahkan menyamakan orang yang berbuat fasiq secara terang-terangan sebagai tukang palak liar di bumi tak bertuan, dan karena itu boleh dihajar habis dengan ghibah dan bongkar aib. Bagi saya, ndawir (meminta duit secara paksa) kepada janda anak tiga, termasuk perbuatan fasiq terang-terangan karena ndawir (apapun bentuknya) merugikan orang lain, seperti pemalak liar, preman tak beriman.
Oleh sebab itulah, mengkritik perbuatan ndawir termasuk amar makruf nahi mungkar yang dibolehkan dalam sudut pandang Ibnu Hajar ini. Bahkan, menurut Al-Munawi, itu termasuk kategori memberikan nasehat wajib agar umat tidak tertipu meskipun risikonya kena santet, seperti saya alami.
Itulah salah satu bab di kitab Kang Maimun Zubair yang menarik perhatian saya. Bila Anda ingin membacanya lebih lanjut, boleh pesan lewat saya. Ada stok hingga 500an eksemplar. Dicetak sendiri oleh penulis. Saya sempat membelinya pas dolan ke rumah beliaunya di Raguklampitan, Batealit Jepara. [badriologi.com]