![]() |
| Nadhom tentang fitnah bawaan orang alim atau ulama'. |
Oleh M. Abdullah Badri
SUDAH menjadi sifat bawaan seorang yang alim (berilmu) bahwa dia akan dimusuhi oleh banyak orang, termasuk keluarga dan saudara kandungnya sendiri. Justru ketika seorang alim tidak mendapatkan celaan, berarti ada kebenaran yang disembelih olehnya, demi mendapatkan pujian. Ahli bijak mengatakan:
مَنْ لَا عَدُوَّ لَهُ فَلَا قِيمَةَ لَهُ، لأَنَّ مَنْ لا يُغْضِبُ أَحَدًا لَمْ يَقُلِ الحَقَّ
Terjemah:
"Orang yang tidak mempunyai musuh tidak ada nilainya, karena dia yang tidak membuat marah siapapun yang berarti dia tidak mengatakan kebenaran".
Justru ketika tidak dimusuhi para musuh, ada kemungkinan seorang alim menyembunyikan kebenaran, takut membongkar kebatilan dan suka dihormati. Dia tidak memiliki sifat tabligh (menyampaikan utuh) kebenaran, seperti para Rasul. Dia takut kebenaran ditegakkan. Sebab, kebenaran selalu menyakitkan orang-orang yang berbuat kebatilan.
Begitulah tabiat para Nabi dan Rasul. Kebenaran selalu dibenci, dan orang yang mewarisinya, para ulama' itu, akan dibenci pula bila membela yang benar. Karena itulah, dalam bahar Rojaz empat syair, saya katakan:
إِذَا رَأَيْتَ عَالِمًا لَيْسَ لَهُ :: كَثِيرُ أَعْدَاءٍ فَقَلَّ وِرْثُهُ
"Jika engkau melihat seorang alim yang tidak banyak musuhnya, maka sedikitlah warisan ilmunya (dari para Nabi)".
لَا يَكْمُلُ الْعَالِمُ فِي مَقَامِهِ :: حَتَّى ابْتَلَاهُ أَرْبَعُ الْوُجُوْهِ
"Seorang alim tidak akan sempurna kedudukannya hingga ia diuji oleh empat hal".
شَمَاتَةُ الْأَعْدَاءِ ثُمَّ الثَّانِي :: مَلَامَةٌ مِنَ اصْدِقَاءِ الخَشِنِ
"Pertama, hinaan para musuh. Kedua, celaan dari teman yang kasar".
طَعَنَهُ الجُهَّالُ ثُمَّ حَسَدَهْ :: عُلْمَاءُ إِنْ صَبَرَ فَاتْبَعْ مَا رَأَهْ
"Ketiga, tikaman cela orang bodoh. Keempat, didengki oleh para ulama. Jika ia bersabar, maka ikutilah jalannya".
SYARAH NADHOM
Bait pertama itu sebetulnya dari perkataan Syaikh Mutawalli As-Sya'rowi dalam karyanya, Tafsir Al-Khowatir. Beliau berkata:
إِذَا رَأَيْتَ عَالِمًا مِنْ عُلَمَاءِ الإِسْلَامِ لَيْسَ لَهُ أَعْدَاءٌ، فَاعْلَمْ أَنَّهُ قَدْ نَقَصَ مِيرَاثُهُ مِنْ مِيرَاثِ الأَنْبِيَاءِ
Terjemah:
"Jika kamu melihat ada ulama yang tidak punya banyak musuh, ketahuilah, warisannya dari para Nabi berkurang".
Sedangkan bait kedua hingga keempat adalah perkataan Syaikh Ibnu Atha'illah As-Sakanadari dalam Kitab Latha'iful Minan.
لَا يَكْمُلُ عَالِمٌ فِي مَقَامِ الْعِلْمِ حَتَّى يُبْتَلَى بِأَرْبَعٍ: شَمَاتَةِ الْأَعْدَاءِ، وَمَلَامَةِ الْأَصْدِقَاءِ، وَطَعْنِ الْجُهَّالِ، وَحَسَدِ الْعُلَمَاءِ، فَإِنْ صَبَرَ عَلَى ذَلِكَ جَعَلَهُ اللهُ إِمَامًا يُقْتَدَى بِهِ
Terjemah:
"Tidaklah sempurna derajat seorang alim hingga dia diuji empat hal: hinaan para musuh, celaan sahabat, tikaman orang-orang bodoh, dengkinya para ulama'. Jika dia sabar atas semua itu, Allah Swt akan menjadikannya sebagai pemimpin yang diikuti".
Bagi seorang alim, permusuhan yang diterimanya bukanlah keburukan, tapi isyaroh bahwa dia berada di pihak yang benar. Demikian itulah warisan dari para Nabi sejak zaman dahulu. Allah Swt berfirman:
وَكَذَٰلِكَ جَعَلْنَا لِكُلِّ نَبِيٍّ عَدُوًّا مِنَ الْمُجْرِمِينَ
Terjemah:
"Begitulah, bagi setiap nabi, telah Kami adakan musuh dari para pendosa". (Al-Furqon: 31).
Tidak cukup hanya beriman, dan selesai urusan, seolah tidak akan diuji. Tidak. Pasti diuji. Semakin tambah iman, semakin datanglah banyak ujian. Allah Swt berfirman:
اَحَسِبَ النَّاسُ اَنْ يُّتْرَكُوْٓا اَنْ يَّقُوْلُوْٓا اٰمَنَّا وَهُمْ لَا يُفْتَنُوْنَ
Terjemah:
"Apakah manusia mengira bahwa mereka akan dibiarkan (hanya dengan) berkata, “Kami telah beriman,” sedangkan mereka tidak diuji?" (QS. Al-Ankabut: 3).
Karena para nabi selalu memiliki musuh, maka para ulama' yang mewarisinya pasti juga memiliki banyak musuh. Itulah balak mereka. Semakin luas jangkauan dakwahnya, semakin banyak permusuhan yang diterimanya. Rasulullah Saw bersabda:
أشدُّ الناس بلاءً الأنبياء، ثم الأمثل فالأمثل
Terjemah:
"Orang yang paling banyak cobaannya ialah para Nabi, kemudian orang-orang terbaik berikutnya, dan orang-orang terbaik setelahnya". (HR. Tirmidzi).
Setidaknya, ada empat balak yang akan menimpa para ulama'. Yakni:
1. Hinaan para musuh.
Seperti dijelaskan sebelumnya, ulama' adalah pewaris Nabi. Tanpa musuh, warisan ilmunya dari para Nabi berkurang. Semakin banyak yang memusuhinya, semakin tegaslah posisinya sebagai ulama'. Tidak sempurna derajat orang alim yang tidak punya musuh. Tapi lebih tidak sempurna lagi bila dia marah menghadapi hinaan musuhnya. Orang alim pastinya tahu bahwa semuanya datang atas kehendak Allah Swt.
Ksempurnaan ilmu bukan karena banyaknya pengetahuan dan rajinnya muthala'ah (membaca kitab), tapi karena bersihnya maksud kepada Allah Swt dan kuatnya menanggung beban ketika diberi balak berupa hinaan.
2. Celaan teman-teman.
Kiai misalnya, di kalangan sahabat sejawat, dia tidak dihormati. Bahkan dia akan dihina karena dulu pernah satu kamar di pesantren. Tahu masa lalunya. Begitulah. Sahabat ulama' yang kasar akhlak tidak akan menghormatinya karena ilmu. Bahkan, ketika dawuh, teman-teman karibnya mencela, alih-alih percaya padanya.
3. Tikaman cela orang bodoh (awam).
Sudah menjadi sunnatullah, di hadapan orang alim, orang bodoh tidak mudah menerima kebenaran darinya. Ulama' punya ilmu, mereka tidak. Mudahlah muncul su'udzon, tuduhan bohong dan fitnah dari mereka atas kebodohan mereka sendiri. Bahkan mencelanya, dituduhnya tidak paham adat dan tidak paham keinginan masyarakat. Orang awam inginnya dituruti walaupun salah. Sementara, orang yang alim tahu cara terbaik buat mereka karena ulama' mengetahui standar syariat.
Namun, bagi orang alim yang benar, dia tahu, celaan orang bodoh sama sekali tidak mengurangi bendera kebenaran yang dibawanya. Kiai sing apik, ora ngurus cangkeme wong goblok.
4. Hasudan sesama ulama'.
Meskipun orang bodoh mudah mencela orang alim. Namun, ada yang lebih banyak mencibirnya, yakni para ulama' sendiri. Justru cibiran sesama ulama' ini seperti racun. Banyak ulama' yang mati karakternya gara-gara cangkem elek sesama ulama'. Imam Al-Ghazali mengatakan:
أَكْثَرُ مَا يُؤْذِي العَالِمَ لَيْسَ الجَاهِلُ، بَلِ العَالِمُ الَّذِي يَغَارُ مِنْهُ
Terjemah:
"Yang paling merugikan seorang ulama bukanlah orang yang bodoh, melainkan ulama yang dengki kepadanya".
Hasud memang bagian afat (momok) bagi orang-orang berilmu jika mereka tidak mensucikan diri dengan akhlak yang baik. Jarang sekali ada kiai yang mendukung eksistensi dan perkembangan kiai lain. Ini tabiat yang menggejala dimana-mana. Musuh kiai, ya kiai. Mereka tidak akan bermusuhan dengan bakul ayam, bakul sate, atau bakul rujak.
Karena itulah, saya bersaran: jika kamu alim dan mampu menulis kitab, jangan mudah bicara ilmu kepada orang yang alim. Risiko didengki. Di depan, mereka bisa bermuka manis, tapi begitu kamu pulang, akan ada rapat besar membicarakan kepantasanmu, kapasitasmu, akhlakmu, dengan cibiran: apakah pantas dia menulis kitab? Begitulah yang saya alami.
Orang alim tidak akan mendengki ke orang kaya. Mereka justru menjadi sasaran proyek keinginannya. Dia hanya mendengki kepada sesamanya yang sama-sama berilmu. Sebab inilah, kita menjumpai banyaknya kiai yang royokan mengimami jama'ah shalat di masjid atau mushalla, padahal, tak ada cuan di sana. Apa yang diperebutkan? Hanya satu: dia tidak rela diganti, yang artinya, dia tidak rela ia tidak dihormati tetangga dan sesamanya. Begitulah.
Saya tambahi lagi jenis balak lagi.
5. Menjauhnya keluarga (بعيد العائلة).
Di mata masyarakat, orang alim mungkin dihormati. Tapi, di keluargnya, banyak sekali didengki dan dibenci. Jika kamu terlalu banyak ilmu lalu keluargamu justru makin menjauh sebab ilmumu, maka, ketika itulah kamu layak disebut memiliki warisan Nabi. Bukankah tantangan Rasulullah Saw adalah keluarganya sendiri?
Jika seorang alim bisa bersabar melewati balak-balak yang menjadi sunnah bawaan sebagai seorang alim, maka, kata Syaikh Ibnu Atha'illah, dia akan jadi panutan yang layak diiikuti. Dalam syair, saya bahasakan dengan kata: (فَاتْبَعْ مَا رَأَهْ - ikutilah jalannya), meski banyak yang memusuhinya, mencelanya, mencibirnya, menghinanya, dan keluarganya menjauhinya. [badriologi.com]
Keterangan:
Nadhom di atas adalah bagian dari kumpulan Nadhom Sururun Nasho'ih, yang suatu kali akan saya kumpulan jadi kitab nadhom bersyarah bahasa Indonesia.





