Boikot Trans7. |
Oleh M. Abdullah Badri
BANDINGKAN dua kejadian ini. Pertama, ada politisi membawa kamera ke pesantren milik sahabatnya. Dia beraksi memberikan amplop ke santri-santri. Isinya hanya 5 ribu. Kedua, ada wali santri sowan ke kiai dan meninggali amplop berisi 100 ribu sembari memohon doa supaya anaknya diberkahi ilmu manfaat dunia akhirat.
Mana yang kalian sebut kurangajar? Bagi saya, politisi itulah yang kurangajar. Dia memanfaatkan santri untuk kepentingan dirinya. Sedangkan wali santri, dia peduli berkah, dan karenanya, dia mencari ridlo guru dari anaknya dengan memberinya bisyaroh. Dalam tradisi pesantren, menghormati ilmu, harus menghormati guru. Bisyaroh bagian dari menghormati guru. Menuduh tradisi bisyaroh sebagai feodalisme seperti dilakukan Trans7 adalah kebodohan murokkab tingkat akut yang kurangajar, setaraf kurangajarnya dengan politisi yang saya sebutkan.
Bisyaroh adalah bagian dari subkultur pesantren. Orang luar pesantren tidak mengenal itu. Stasiun Trans7 yang saya kenal sejak dulu sebagai sarang Alkacong (aliran kathok congklang) tidak mengenal subkultur ini. Kebanyakan kru-nya didoktrin ustadz salafi-wahabi, sehingga narasi menyudutkan amaliyah ahlussunnah sebagaimana dilakukan mereka di program "Khazanah", mudah muncul, seperti tahun-tahun sebelum tayangan 13 Oktober 2025.
Dalam subkultur pesantren, memberi bisyaroh (bebungah) ke kiai itu ibadah. Kiai yang dianggap sebagai orang alim, tentu lebih banyak ilmu dan dzikirnya daripada kru Trans7 yang Alkacong itu. Sehingga, memberikan bisyaroh berupa uang dimana ketika uang itu dibuat membeli beras dan kala kenyang sang kiai mengajar atau dzikir, maka ketika itulah sang pemberi bisyaroh ikut mendapatkan pahala. Inilah yang disebut berkah.
Itu bukan feodalisme, sebagaimana tuduhan semprul Trans7, melainkan khidmah (mengabdi). Berkahnya ilmu, dalam subkultur pesantren, bukan karena banyaknya belajar, tapi karena khidmah. Betapa banyak santri tidak alim tapi ilmunya manfaat. Itu bukan sebab belajar dan ngaji saja, tapi sebab mau ngabdi dengan gurunya, kiai-nya.
Betapa banyak contoh berkahnya khidmah murid kepada guru dalam siroh Nabawi. Lihatlah, bagaimana Abdullah bin Mas'ud ra mengabdi lama kepada Kanjeng Rasul Muhammad Saw membawakan sandal Beliau Saw kemana-mana. Ketika di jalan, dia juga yang membentangkan tirai untuk Nabi Saw ber-qodlil hajat.
Bacalah pula berapa lama Anas bin Malik ra mengabdi kepada Rasulullah Saw. Lebih dari 10 tahun. Apakah mereka dibayar Nabi Saw? Tidak. Mereka ini mengabdi. Santri Nusantara meniru mereka berdua karena hal itu adalah sunnah para sahabat Nabi Saw. Alkacong akan menyebut hal ini sebagai feoodalisme. Pertanyaannya, apakah sahabat khadim (pembantu) merasa di-feodal? Tidak. Mereka justru bahagia bisa ikut memudahkan hidup dan membahagiakan Rasulullah Saw. Ini yang tidak dimiliki dalam kultur salafi wahabi Alkacongisme.
Kelompok Alkacong yang berideologi wahabi salafi takfiri (mengafirkan) seperti terkumpul di Trans7 tidak mengenal khidmah sebagai salah cara mendapatkan berkah ilmu. Makanya, bila mereka pandai omong dan berdalil, tak peduli perasaan. Lha wong orangtuanya Kanjeng Nabi Saw saja disebut kafir kok. Ini artinya mereka ngomong dengan dalil tanpa perasaan. Buah ideologi Alkacong, dimana-mana, selalu begitu: sinis, protesan, merasa benar sendiri, menyalahkan orang lain.
Alkacong seperti Dzulkhuwaishiroh, yang pernah menuduh Rasulullah Saw tidak adil karena membagi ghanimah perang kepada muallaf. Bila kru Trans7 Alkacong hidup di zaman Rasulullah Saw, mereka pasti akan menayangkan video mengkritik habis Rasulullah Saw karena tidak bekerja. Rasulullah Saw itu menghidupi keluarganya dari ghanimah khumus (5 persen) hasil perang. Keliru jika profesi Rasulullah Saw itu pedagang.
Seolah, Alkacong wahabi takfiri seperti di Trans7 mengharamkan kiai kaya raya. Hanya mereka yang boleh kaya dengan bisnis hoax dan fitnah murahan kepada tradisi subkultur pesantren. Bila ulama' tidak ada yang kaya dan berpengaruh, mereka senang. Dengan begitu, dengan se-enak jidat mereka bisa menghina tanpa ada yang melawan.
Trans7 keliru mencari musuh. Kiai (terutama kiai pesantren) adalah pemimpim kharismatik produk masyarakat. Orang diberi gelar kiai sebab pengabdian mereka yang diakui. Bukan karena karir jabatan maupun nasib nasab. Melawan kiai, berarti melawan masyarakat. Kiai diakui karena ilmu dan kontribusinya sangat banyak.
Trans7 kok kurangajar menghina pesantren dengan narasi sinis, tunggulah saatnya dijauhi masyarakat, seperti politisi kurangajar itu. [badriologi.com]