Oleh M Abdullah Badri
Sebagai sumber nilai Islam, Al-Qur’an dan Hadits menduduki wilayah yang amat penting. Keduanya tidak mungkin dipisahkan akar kesejarahan umat Islam, karena perkembangan Islam secara ontologis-budaya, mulai semasa hidup Nabi Muhammad hingga sekarang, didorong oleh nilai dan etika berbasis wahyu, Al-Qur’an dan Sunnah. Untuk menggali keduanya, dibutuhkan metode ijtihad yang sebenarnya sudah dimulai sejak zaman Nabi, hingga sekarang. Setelah melewati perjalanan panjang, metode ijitihad untuk menggali nilai-nilai dari Al-Qur’an dan Hadits yang dirumuskan para sarjana muslim, dianggap mapan dan bebas kritik, bahkan dianggap sebagai sistem terbaik yang tak tergantikan.
Ketika pemahaman itu telah tertanam dalam persepsi dominan masyarakat muslim berabad-abad lamanya, serta mengalami stabilisasi dan normalisasi pemaknaan yang kokoh, maka segala kekuatan resistensi yang menggoyahkan kekokohan tersebut akan berusaha ditolak, apalagi bila berasal dari luar tradisi keislaman. Ketika aras tradisi intelektual hadits yang telah sekian lama menempatkan ulumul hadits sebagai metode ijtihad yang diakui umat Islam mendapatkan resistensi dari kalangan pengkaji ketimuran (Orientalis), yang notabene berasal dari luar tradisi keilmuan Islam, respon yang terjadi adalah penolakan. Intelektual Muslim mengalami kepanikan atas serangan-serangan orientalis pengkaji hadits. Betapa tidak, ketika hadits, yang kini terhimpun dalam literatur hadits (baik yang kanun maupun non-kanun) telah dipahami dan diyakini berasal dari Nabi Muhammad SAW ternyata dianggap tidak memiliki otentisitas dari Nabi. Bahkan dianggap sebagai tradisi oral dan tulisan yang diciptakan para penulis buku-buku hadits.
Studi hadits di Barat dimulai oleh sarjana Jerman Alois Sprenger (w. 1893) yang mengekspresikan skeptisismenya terhadap otentisitas hadis. Kemudian diamini oleh William Muir yang juga memiliki sikap skeptis yang sama. Serangan terhadap literatur hadis mencapai puncaknya ketika Ignaz Goldziher menulis bukunya Muhammedanische Studien, yang merupakan buku kritik hadis terpenting pada abad kesembilan belas (1850-1921). Kurang lebih enam puluh tahun setelah terbitnya buku Goldziher, Joseph Schacht menerbitkan hasil penelitiannya tentang Hadits dalam sebuah buku berudul The Origins of Muhammadan Jurisprudence. Lebih dari sepuluh tahun ia melakukan penelitian Hadits. Dan sejak itu (tahun 1950 M). Dibanding dengan Goldziher, Schacht cukup radikal karena sampai pada kesimpulan bahwa tidak ada satupun Hadits yang otentik dari Rasulullah, khususnya Hadits-hadits yang berkaitan dengan hukum Islam, sementara Goldziher hanya sampai pada skeptisisme otentisitas Hadis. Keduanya dikritik secara oleh sarjana Muslim seperti Mushthafa al-Siba’I dalam bukunya Al-Sunnah wa makanatuha fi al-Tasyri’ al-Islamy (1949), Muhammad Ajjaj al-Khotib dalam al-Sunnah qabla al-Tadwin (1964) serta Muhammad Musthafa Azami dengan karyanya Studies in Early Hadits Literature (1967).
Betul memang, kritik sejarah adalah tugas yang tidak pernah berhenti. Para sarjana Islam yang telah melakukan kritik terhadap Goldziher dan Schacht, kini kembali diserang secara metodologis yang tentu berpengaruh pada kesimpulan tentang otentisitas dan otoritas hadis sebagai sumber hukum dan norma Islam. Serangan metodologis tersebut datang dari G. H. A. Juynboll (lahir: 1935), sarjana asal Belanda yang telah menghabiskan separoh dari umurnya untuk meneliti hadits. Ia menganggap Azami telah menggunakan sumber yang tidak dapat dipertanggung jawabkan historisitasnya, sehingga semua premis dan kesimpulannya tertolak. Dari hasil semedi hadits yang dilakukannya, ia kemudian membuat sejumlah teori sebagai bagian dari metode penelitian hadis yang ia lakukan selama kurang lebih 30 tahun. Muncullah istilah spider, single strand, diving, partial common link, common link dan argumentum e silentio, yang dua terakhir ia kembangkan dari Schacht. Kesimpulannya, ia tidak percaya akan adanya satu hadits pun yang bisa dipertanggungjawabkan historisitasnya. Ia menganggap metode verifikasi hadits yang diterapkan selama ini oleh sarjana Islam tidak reliable (thiqa) untuk menentukan otentisitas hadits.
Saya tidak tertarik untuk membahas kesimpulannya, karena tentu akan menemukan bias tidak produktif dengan tradisi intelektual masyarakat Islam. Pembahasan akan menarik manakala diarahkan untuk mengkaji metodologi yang digunakan hingga mencapai pada kesimpulan yang sangat berbeda itu. Misalnya saat membincang metode kritik hadits yang disebut common link. Metode ini berbeda dengan metode kritik hadits konvensional. Jika metode kritik hadits konvensional berpijak pada kualitas periwayat, maka metode common link tidak hanya menekankan kualitas sang periwayat, tetapi juga kuantitasnya. Jika sebuah hadits diriwayatkan oleh seorang sahabat, kemudian diteruskan secara estavet dan periodik kepada tabi’in, tabi’it tabi’in hingga sampai pada kolektor hadits yang memiliki isnad yang ‘adil, dlabith, mulai awal hingga akhir bersambung kepada Nabi, maka dalam metode konvensional bisa dierima kesejarahannya, otentik, bahkan mutawatir. Namun, dalam metode common link, jalur periwayatan hadits itu masih dalam tahap penyelaman (diving strand), belum menjamin kesejarahan penisbatan sebuah hadits kepada periwayat di masa lampau: sahabat atau Nabi, karena jalur riwayat tersebut dapat saja dipalsukan oleh kolektor hadits. Dalam metode ini, semakin banyak jalur isnad yang memancar atau menuju kepada seorang periwayat, semakin terbuka jalur riwayat tersebut memiliki klaim kesejarahan. Praktek kritik metode ini berada di wilayah kritik historis-filologis.
Betul, studi hadits di Barat berbeda secara fundamental dari studi hadits di tempat lain, seperti di Timur Tengah dan Indonesia. Kalau di Timur Tengah dan Indonesia studi hadis menekankan pada bagaimana melakukan takhri-j hadits untuk menentukan otentisitasnya, maka studi hadits di Barat menekankan bagaimana melakukan dating (penanggalan) hadis untuk menaksir historisitasnya dan bagaimana melakukan rekonstruksi sejarah terhadap peristiwa yang allegedly terjadi pada masa awal Islam. Mempelajari sejarah metodologi tertentu akan semakin memperkaya kita, yang pada gilirannya akan semakin memungkinkan untuk mengungkap kenyataan sejarah kehidupan Nabi. Namun demikian kritik Orientalis terhadap metodologi penelitian hadits yang, oleh sebagian besar sarjana Islam, dianggap sudah mapan menunggu respon dari sarjana Islam. Tentu naif menolak satu tradisi intelektual secara a-priori tanpa mengetahui esensi tradisi tersebut. Tantangan kita semua. Karena studi hadits sebagai sebuha perjalanan sejarah akan terus hidup dan berdialektika. Wallahu a’lam.
(Disampaikan sebagai pengantar diskusi tentang Studi Hadits dalam Tradisi Keilmuan Barat, dalam rangkaian acara Studi Banding HMJ TH Fakultas Ushuluddin IAIN Walisongo Semarang dengan HMJ TH Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Gunung Djati Bandung. Semarang, 3 Juni 2009)
Sebagai sumber nilai Islam, Al-Qur’an dan Hadits menduduki wilayah yang amat penting. Keduanya tidak mungkin dipisahkan akar kesejarahan umat Islam, karena perkembangan Islam secara ontologis-budaya, mulai semasa hidup Nabi Muhammad hingga sekarang, didorong oleh nilai dan etika berbasis wahyu, Al-Qur’an dan Sunnah. Untuk menggali keduanya, dibutuhkan metode ijtihad yang sebenarnya sudah dimulai sejak zaman Nabi, hingga sekarang. Setelah melewati perjalanan panjang, metode ijitihad untuk menggali nilai-nilai dari Al-Qur’an dan Hadits yang dirumuskan para sarjana muslim, dianggap mapan dan bebas kritik, bahkan dianggap sebagai sistem terbaik yang tak tergantikan.
Ketika pemahaman itu telah tertanam dalam persepsi dominan masyarakat muslim berabad-abad lamanya, serta mengalami stabilisasi dan normalisasi pemaknaan yang kokoh, maka segala kekuatan resistensi yang menggoyahkan kekokohan tersebut akan berusaha ditolak, apalagi bila berasal dari luar tradisi keislaman. Ketika aras tradisi intelektual hadits yang telah sekian lama menempatkan ulumul hadits sebagai metode ijtihad yang diakui umat Islam mendapatkan resistensi dari kalangan pengkaji ketimuran (Orientalis), yang notabene berasal dari luar tradisi keilmuan Islam, respon yang terjadi adalah penolakan. Intelektual Muslim mengalami kepanikan atas serangan-serangan orientalis pengkaji hadits. Betapa tidak, ketika hadits, yang kini terhimpun dalam literatur hadits (baik yang kanun maupun non-kanun) telah dipahami dan diyakini berasal dari Nabi Muhammad SAW ternyata dianggap tidak memiliki otentisitas dari Nabi. Bahkan dianggap sebagai tradisi oral dan tulisan yang diciptakan para penulis buku-buku hadits.
Studi hadits di Barat dimulai oleh sarjana Jerman Alois Sprenger (w. 1893) yang mengekspresikan skeptisismenya terhadap otentisitas hadis. Kemudian diamini oleh William Muir yang juga memiliki sikap skeptis yang sama. Serangan terhadap literatur hadis mencapai puncaknya ketika Ignaz Goldziher menulis bukunya Muhammedanische Studien, yang merupakan buku kritik hadis terpenting pada abad kesembilan belas (1850-1921). Kurang lebih enam puluh tahun setelah terbitnya buku Goldziher, Joseph Schacht menerbitkan hasil penelitiannya tentang Hadits dalam sebuah buku berudul The Origins of Muhammadan Jurisprudence. Lebih dari sepuluh tahun ia melakukan penelitian Hadits. Dan sejak itu (tahun 1950 M). Dibanding dengan Goldziher, Schacht cukup radikal karena sampai pada kesimpulan bahwa tidak ada satupun Hadits yang otentik dari Rasulullah, khususnya Hadits-hadits yang berkaitan dengan hukum Islam, sementara Goldziher hanya sampai pada skeptisisme otentisitas Hadis. Keduanya dikritik secara oleh sarjana Muslim seperti Mushthafa al-Siba’I dalam bukunya Al-Sunnah wa makanatuha fi al-Tasyri’ al-Islamy (1949), Muhammad Ajjaj al-Khotib dalam al-Sunnah qabla al-Tadwin (1964) serta Muhammad Musthafa Azami dengan karyanya Studies in Early Hadits Literature (1967).
Betul memang, kritik sejarah adalah tugas yang tidak pernah berhenti. Para sarjana Islam yang telah melakukan kritik terhadap Goldziher dan Schacht, kini kembali diserang secara metodologis yang tentu berpengaruh pada kesimpulan tentang otentisitas dan otoritas hadis sebagai sumber hukum dan norma Islam. Serangan metodologis tersebut datang dari G. H. A. Juynboll (lahir: 1935), sarjana asal Belanda yang telah menghabiskan separoh dari umurnya untuk meneliti hadits. Ia menganggap Azami telah menggunakan sumber yang tidak dapat dipertanggung jawabkan historisitasnya, sehingga semua premis dan kesimpulannya tertolak. Dari hasil semedi hadits yang dilakukannya, ia kemudian membuat sejumlah teori sebagai bagian dari metode penelitian hadis yang ia lakukan selama kurang lebih 30 tahun. Muncullah istilah spider, single strand, diving, partial common link, common link dan argumentum e silentio, yang dua terakhir ia kembangkan dari Schacht. Kesimpulannya, ia tidak percaya akan adanya satu hadits pun yang bisa dipertanggungjawabkan historisitasnya. Ia menganggap metode verifikasi hadits yang diterapkan selama ini oleh sarjana Islam tidak reliable (thiqa) untuk menentukan otentisitas hadits.
Saya tidak tertarik untuk membahas kesimpulannya, karena tentu akan menemukan bias tidak produktif dengan tradisi intelektual masyarakat Islam. Pembahasan akan menarik manakala diarahkan untuk mengkaji metodologi yang digunakan hingga mencapai pada kesimpulan yang sangat berbeda itu. Misalnya saat membincang metode kritik hadits yang disebut common link. Metode ini berbeda dengan metode kritik hadits konvensional. Jika metode kritik hadits konvensional berpijak pada kualitas periwayat, maka metode common link tidak hanya menekankan kualitas sang periwayat, tetapi juga kuantitasnya. Jika sebuah hadits diriwayatkan oleh seorang sahabat, kemudian diteruskan secara estavet dan periodik kepada tabi’in, tabi’it tabi’in hingga sampai pada kolektor hadits yang memiliki isnad yang ‘adil, dlabith, mulai awal hingga akhir bersambung kepada Nabi, maka dalam metode konvensional bisa dierima kesejarahannya, otentik, bahkan mutawatir. Namun, dalam metode common link, jalur periwayatan hadits itu masih dalam tahap penyelaman (diving strand), belum menjamin kesejarahan penisbatan sebuah hadits kepada periwayat di masa lampau: sahabat atau Nabi, karena jalur riwayat tersebut dapat saja dipalsukan oleh kolektor hadits. Dalam metode ini, semakin banyak jalur isnad yang memancar atau menuju kepada seorang periwayat, semakin terbuka jalur riwayat tersebut memiliki klaim kesejarahan. Praktek kritik metode ini berada di wilayah kritik historis-filologis.
Betul, studi hadits di Barat berbeda secara fundamental dari studi hadits di tempat lain, seperti di Timur Tengah dan Indonesia. Kalau di Timur Tengah dan Indonesia studi hadis menekankan pada bagaimana melakukan takhri-j hadits untuk menentukan otentisitasnya, maka studi hadits di Barat menekankan bagaimana melakukan dating (penanggalan) hadis untuk menaksir historisitasnya dan bagaimana melakukan rekonstruksi sejarah terhadap peristiwa yang allegedly terjadi pada masa awal Islam. Mempelajari sejarah metodologi tertentu akan semakin memperkaya kita, yang pada gilirannya akan semakin memungkinkan untuk mengungkap kenyataan sejarah kehidupan Nabi. Namun demikian kritik Orientalis terhadap metodologi penelitian hadits yang, oleh sebagian besar sarjana Islam, dianggap sudah mapan menunggu respon dari sarjana Islam. Tentu naif menolak satu tradisi intelektual secara a-priori tanpa mengetahui esensi tradisi tersebut. Tantangan kita semua. Karena studi hadits sebagai sebuha perjalanan sejarah akan terus hidup dan berdialektika. Wallahu a’lam.
(Disampaikan sebagai pengantar diskusi tentang Studi Hadits dalam Tradisi Keilmuan Barat, dalam rangkaian acara Studi Banding HMJ TH Fakultas Ushuluddin IAIN Walisongo Semarang dengan HMJ TH Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Gunung Djati Bandung. Semarang, 3 Juni 2009)