Oleh M Abdullah Badri
Setelah pertengkaran, pasti ada dendam. Damai hanya sementara. Tak percaya? Lihat bagaimana para suporter sepakbola melampiaskan dendam kepada lawannya, meskipun yang memicu kejadian hanya peristiwa kecil yang terjadi beberapa tahun lalu.
Dendam sifatnya tidak rasional dan abadi. Emosi menjadi tuan. Sifat kekanak-kanakan akan merajai. Coba kamu rasakan sendiri ketika tidak menyukai seseorang. Pandangan kamu tentang dia semuanya jelek, negatif. Tak ada yang baik dalam dirinya. Kamu selalu curiga bahwa gerak-geriknya hanya tampilan muka belaka. Itu namanya dendam yang berlebihan, ekstrim.
Segala sesuatu yang bersifat ekstrim, tidak mau diganggu gugat. Inginnya harus dituruti. Dendam bila belum terlampiaskan akan lama tertanam hingga mati. Begitu pula dalam cinta. Mencintai seseorang secara berlebih akan melepaskan kontrol emosi. Atas dasar cinta berlebih yang tak sampai, seorang gadis rela menyerahkan kehormatan atau bahkan bunuh diri. Hanya karena dendam, seseorang berani mati. Tu kan!
Betul kata Hadits Nabi Muhammad: ihbab habbibaka haunamma, asa an yakuna baghidlaka yaumamma. Wabghidl baghidlaka haunamma, asa an yakuna habibaka yaumamma (cintailah kekasihmu dengan sederhana, barangkali kelak ia akan menjadi musuhmu. Bencilah musuhmu dengan biasa, barangkali kelak ia akan menjadi kekasihmu). Ada anjuran untuk menggunakan akal sehat dalam sikap yang ekstrim. Karena suatu kali tidak mustahil, musuh menjadi kawan, kawan menjadi lawan.
Asal kamu tahu saja, bahwa timbulnya rasa suka dan benci itu hanya dari cara kamu memandang orang saja. Kamu terlalu suka kepada seseorang karena yang kamu lihat sisi baiknya terus. Begitu pula ketika benci memburu dengki, itu bermula dari cara kamu melihat sifat buruk dia tanpa henti. Gede Prama pernah mengatakan, jika ingin mencintai seseorang, lihatlah kelebihannya. Bila ingin membenci dan menjauhinya, jangan lewatkan segala kekurangannya. Begitu.
Jika kamu membenci berlebihan, kelak layak menjadi ratu gosip murahan, karena beritamu soal dia tak ada yang baik. Berlebihan dalam mencintai, membuatmu tak kontrol hati, bahkan menjadi fanatis buta. Yang kamu suka dan kamu cinta itu akan menjadi “nabi”mu. Seakan tak ada yang buruk darinya. Semuanya baik.
Jangan, jauihilah karakter ekstrim itu! Mengapa? Karena kita adalah manusia, yang bisa benar, juga berpotensi banyak salah. Kullu bani adam khattha’un (semua anak manusia adalah salah), kata Nabi. Yang terbaik dari kita adalah yang mau introspeksi. Dengan introspeksi, kita tidak akan lupa diri. Kita menjadi mawas diri. Bencilah, cintailah. Tapi sewajarnya. Dengan begitu kamu akan menjadi orang yang menarik di lingkunganmu. Kamu menjadi manusia yang rohaniyah, cerdas menata hati dan menggunakan manajemen rasio, sebagaimana ditulis Ibnu al-Qoyim dalam buku tebalnya, al-Ruh.
(Dimuat Suara Merdeka, 21 Februari 2010)
Setelah pertengkaran, pasti ada dendam. Damai hanya sementara. Tak percaya? Lihat bagaimana para suporter sepakbola melampiaskan dendam kepada lawannya, meskipun yang memicu kejadian hanya peristiwa kecil yang terjadi beberapa tahun lalu.
Dendam sifatnya tidak rasional dan abadi. Emosi menjadi tuan. Sifat kekanak-kanakan akan merajai. Coba kamu rasakan sendiri ketika tidak menyukai seseorang. Pandangan kamu tentang dia semuanya jelek, negatif. Tak ada yang baik dalam dirinya. Kamu selalu curiga bahwa gerak-geriknya hanya tampilan muka belaka. Itu namanya dendam yang berlebihan, ekstrim.
Segala sesuatu yang bersifat ekstrim, tidak mau diganggu gugat. Inginnya harus dituruti. Dendam bila belum terlampiaskan akan lama tertanam hingga mati. Begitu pula dalam cinta. Mencintai seseorang secara berlebih akan melepaskan kontrol emosi. Atas dasar cinta berlebih yang tak sampai, seorang gadis rela menyerahkan kehormatan atau bahkan bunuh diri. Hanya karena dendam, seseorang berani mati. Tu kan!
Betul kata Hadits Nabi Muhammad: ihbab habbibaka haunamma, asa an yakuna baghidlaka yaumamma. Wabghidl baghidlaka haunamma, asa an yakuna habibaka yaumamma (cintailah kekasihmu dengan sederhana, barangkali kelak ia akan menjadi musuhmu. Bencilah musuhmu dengan biasa, barangkali kelak ia akan menjadi kekasihmu). Ada anjuran untuk menggunakan akal sehat dalam sikap yang ekstrim. Karena suatu kali tidak mustahil, musuh menjadi kawan, kawan menjadi lawan.
Asal kamu tahu saja, bahwa timbulnya rasa suka dan benci itu hanya dari cara kamu memandang orang saja. Kamu terlalu suka kepada seseorang karena yang kamu lihat sisi baiknya terus. Begitu pula ketika benci memburu dengki, itu bermula dari cara kamu melihat sifat buruk dia tanpa henti. Gede Prama pernah mengatakan, jika ingin mencintai seseorang, lihatlah kelebihannya. Bila ingin membenci dan menjauhinya, jangan lewatkan segala kekurangannya. Begitu.
Jika kamu membenci berlebihan, kelak layak menjadi ratu gosip murahan, karena beritamu soal dia tak ada yang baik. Berlebihan dalam mencintai, membuatmu tak kontrol hati, bahkan menjadi fanatis buta. Yang kamu suka dan kamu cinta itu akan menjadi “nabi”mu. Seakan tak ada yang buruk darinya. Semuanya baik.
Jangan, jauihilah karakter ekstrim itu! Mengapa? Karena kita adalah manusia, yang bisa benar, juga berpotensi banyak salah. Kullu bani adam khattha’un (semua anak manusia adalah salah), kata Nabi. Yang terbaik dari kita adalah yang mau introspeksi. Dengan introspeksi, kita tidak akan lupa diri. Kita menjadi mawas diri. Bencilah, cintailah. Tapi sewajarnya. Dengan begitu kamu akan menjadi orang yang menarik di lingkunganmu. Kamu menjadi manusia yang rohaniyah, cerdas menata hati dan menggunakan manajemen rasio, sebagaimana ditulis Ibnu al-Qoyim dalam buku tebalnya, al-Ruh.
(Dimuat Suara Merdeka, 21 Februari 2010)