Soto keledai di lokasi kuliner Ngaliyan Semarang. |
BANYAK orang sudah merasakan soto ayam, namun yang spesial, hanya kalangan tertentu yang mendapat kesempatan menjajal. Di jalan Prof. Dr. Hamka, Ngaliyan, tepatnya di kawasan Sulanji, sebelah selatan SMP 16 Semarang, ada warung soto ayam yang jika Anda datang, dijamin bergoyang lidah.
"Kimar", itulah nama warung tersebut. Pertama kali orang mendengar akan mengira bahwa soto khas Semarang itu dicampuri dengan daging keledai. Ya, karena dalam bahasa Arab, Kimar (tepatnya himar) bermakna keledai. Siapa sangka, Kimar ternyata hanya akronim dari Kibtiyah dan Mariyati, kakak adik yang berjulan di sana.
Tiap hari ratusan orang datang untuk makan siang. Ruangan yang sempit, berukuran 4x5 meter persegi, tak meyurutkan para pelanggan dan penikmat soto untuk merasakan sensasi kelezatannya. “Selama makan soto di Semarang, baru kali ini saya merasakan kenikmatan yang begitu hebat,” kata Angga, seorang teman dari Solo yang kebetulan saya ajak makan di sana.
Soto Kimar "Keledai" di komplek kuliner Ngaliyan Semarang |
Ibu tiga anak perempuan ini begitu rajin menyiapkan sajian sotonya kepada para pelanggan. Dalam sehari, dia hanya berjualan selama tujuh jam, mulai jam 09.00-16.00 wib. Waktu kerja di warung itu benar-benar dimanfaatkan untuk melayani pelanggan yang rata-rata dari kalangan pegawai dan kaum urban Ngaliyan.
Kuahnya yang begitu gurih, ditambah dengan daging ayam campuran yang tebal, membuat orang yang merasakan pertama ketagihan untuk mengulang “kesalahan” kedua dan seterusnya. Bagi saya, soto ayam “keledai” memiliki pelanggan banyak dan setia karena ada “kesalahan-kesalahan” sajian yang sengaja dibuat oleh pemiliknya. Paling tidak ada “tiga kesalahan” yang disengaja Kimar, yang tidak didapati di soto ayam lainnya.
Pertama, warna ayam dalam soto biasanya adalah putih, karena harus disuwir-suwir (dipotong-potong kecil). Namun Kimar tidak demikian. Ayamnya disajikan secara utuh, dimasak matang, dibacem, sehingga berwarna coklat. Bahkan kadang kulit dan tulang ayamnya tersaji sekalian. Orang seperti memakan bakso balungan, namun bukan. Ia sebetulnya sedang makan soto balungan.
Kedua, sajian soto menjadi terkesan salah karena harus digoda dengan aneka ragam makanan pelengkap lain. Soto yang sudah ada ayamnya itu, di sana, di meja makan itu, masih ada sayap, dada, kepala dan paha ayam yang menggoda untuk disantap. Belum lagi dengan sate telur, sate hati, sate kerang, serta tempe goreng, tahu goreng, bergedel, yang menunggu digoyang rasa.
Para pelanggan Soto Kimar Semarang (2010) |
“Kesalahan-kesalahan” tersebut bukan menurunkan minat para pembeli datang, justru membuat mereka merindukan kedatangan berikutnya yang lebih sensasional. Hanya bagian dari strategi saja. Bagaimana tidak, para pelanggan di sana dimanjakan dengan masakan-masakan yang tidak ditemukan di sudut-sudut rumah mereka.
Dengan uang 5000 rupiah, kita bisa menikmati kelezatan soto “keledai” itu. Atau kalau hanya ingin menikmati sensasinya saja, Anda cukup mengeluarkan uang 3000 rupiah, untuk ukuran setengah porsi. Cukup murah bukan?
Saya tidak hendak berpromosi, hanya ingin bercerita bahwa ada surga kuliner di Ngaliyan Semarang. Datang, dan rasakan sendiri. Cerita saya tidak akan membuat Anda yakin sebelum mencicipinya.
Pepatah Arab mengatakan: man lam yadzuq lam ya’rif, yang tidak mencicipi tidak akan merasakan. Maka, buktikan saja, karena barangkali, menurut persepsi Anda, saya berbohong. Tanpa dijemput, tanpa diantar yah! [badriologi.com]
Keterangan:
Hasil reportase kuliner ini pernah diikutkan dalam sebuah lomba menulis kuliner Semarang tahun 2010, tapi kalah. Haha.