Oleh M Abdullah Badri
Ada dua jenis orang yang konon mampu merubah dunia, keduanya merupakan tipe manusia pikir, yakni Nabi dan Filosuf. Bukan seorang politikus atu juga bukan seorang jendral. Sebab semua perubahan yang ada di dunia ini berawal dari sebuah pola pikir. Dan yang mampu melakukan gerakan semacam itu hanya Nabi dan Filosuf.
Manusia tidak bisa mencapai puncak perdaban seperti sekarang ini bila tidak ada dua jenis manusia tersebut. Mereka tak henti-hentinya berimajinasi, berselancar dengan cakrawala maha abstrak bernama akal (mohon dibedakan antara akal dan otak) untuk menata dunia yang dititipkan Sang Pencipta.
Tipe manusia semacam itulah yang banyak berjasa bagi kehidupan manusia. Wajar manakala mereke memiliki pengaruh yang sangat kuat dalam tatanan masyarakat dunia. Sebut saja misalnya Nabi Muhammad dan Isa Al-Masih dengan jutaan umat yang mengaguminya serta Plato, juga Aritoteles yang tak berhenti penyataannya dikutib dalam setiap wacana perubahan. Mereka bak kreator dunia. Wajar jika dikemudian hari Michael H. Hart dalam bukunya Seratus Orang Tokoh Berpengaruh di Dunia (1985) memasukkan para pemikir itu dalam dereten teratas. Bahkan Muhammad menduduki peringkat pertama.
Apa gerangan yang membuat mereka begitu dikagumi dunia. Tidak lain dan tidak bukan adalah karena tajamnya kritisisme yang mereka miliki dalam memandang realitas. Sosok semacam ini disebut dengan intelektual organik, yakni seorang intelektual yang tak pernah berhenti dalam mewacanakan perubahan dalam setiap ketimpangan sosial.
Mereka tidak pernah menghianati diri sendiri. Selalu peduli dan tanggap serta berani menyuarakan hak-hak kaum tertindas, sehingga mampu mendekonstruksi budaya lama dan direkontruksi dengan budaya baru yang lebih baik. Lihat betapa berhasilnya Muhammad mengganti budaya Jahiliyyah dengan Peradaban Kota Madinah. Dengan jasa Plato, Yunani pernah membangun peradaban yang disegani dunia.
Namun, karena kering dari aktivitas pemikir, Indonesia masih harus berjalan lebih jauh untuk membangun peradaban. Belum lagi ditambah rendahnya sumber daya manusia Indonesia.
Dunia mengakui bahwa Indonesia memiliki potensi tinggi menjadi bangsa yang besar dengan kekayaan alamnya. Namun masih harus terlebih dahulu melahirkan para intelektual organik. Kondisi geografis Indonesia yang ijo royo-royo, semua serba ada, disebut-sebut memiliki pengaruh terhadap pola pikir pragmatis penduduknya. Sehingga kejumudan dan keterbelakangan masih terus melanda. Jiwa kritis tumpul akibat dimanjakan dengan kekayaan alam yang dimiliki. Tinggal mengambil, bukan lagi mencari sebagaimana yang dilakukan negara-negara yang kurang sumber daya alam.
Lahirnya intelektual organik amat dinanti-nanti oleh bangsa. Dan itu bermula dari kampus. Karena disana prosesi pendidikan berpusat.
(Dimua Media Indonesia, 13 Mei 2008)
Ada dua jenis orang yang konon mampu merubah dunia, keduanya merupakan tipe manusia pikir, yakni Nabi dan Filosuf. Bukan seorang politikus atu juga bukan seorang jendral. Sebab semua perubahan yang ada di dunia ini berawal dari sebuah pola pikir. Dan yang mampu melakukan gerakan semacam itu hanya Nabi dan Filosuf.
Manusia tidak bisa mencapai puncak perdaban seperti sekarang ini bila tidak ada dua jenis manusia tersebut. Mereka tak henti-hentinya berimajinasi, berselancar dengan cakrawala maha abstrak bernama akal (mohon dibedakan antara akal dan otak) untuk menata dunia yang dititipkan Sang Pencipta.
Tipe manusia semacam itulah yang banyak berjasa bagi kehidupan manusia. Wajar manakala mereke memiliki pengaruh yang sangat kuat dalam tatanan masyarakat dunia. Sebut saja misalnya Nabi Muhammad dan Isa Al-Masih dengan jutaan umat yang mengaguminya serta Plato, juga Aritoteles yang tak berhenti penyataannya dikutib dalam setiap wacana perubahan. Mereka bak kreator dunia. Wajar jika dikemudian hari Michael H. Hart dalam bukunya Seratus Orang Tokoh Berpengaruh di Dunia (1985) memasukkan para pemikir itu dalam dereten teratas. Bahkan Muhammad menduduki peringkat pertama.
Apa gerangan yang membuat mereka begitu dikagumi dunia. Tidak lain dan tidak bukan adalah karena tajamnya kritisisme yang mereka miliki dalam memandang realitas. Sosok semacam ini disebut dengan intelektual organik, yakni seorang intelektual yang tak pernah berhenti dalam mewacanakan perubahan dalam setiap ketimpangan sosial.
Mereka tidak pernah menghianati diri sendiri. Selalu peduli dan tanggap serta berani menyuarakan hak-hak kaum tertindas, sehingga mampu mendekonstruksi budaya lama dan direkontruksi dengan budaya baru yang lebih baik. Lihat betapa berhasilnya Muhammad mengganti budaya Jahiliyyah dengan Peradaban Kota Madinah. Dengan jasa Plato, Yunani pernah membangun peradaban yang disegani dunia.
Namun, karena kering dari aktivitas pemikir, Indonesia masih harus berjalan lebih jauh untuk membangun peradaban. Belum lagi ditambah rendahnya sumber daya manusia Indonesia.
Dunia mengakui bahwa Indonesia memiliki potensi tinggi menjadi bangsa yang besar dengan kekayaan alamnya. Namun masih harus terlebih dahulu melahirkan para intelektual organik. Kondisi geografis Indonesia yang ijo royo-royo, semua serba ada, disebut-sebut memiliki pengaruh terhadap pola pikir pragmatis penduduknya. Sehingga kejumudan dan keterbelakangan masih terus melanda. Jiwa kritis tumpul akibat dimanjakan dengan kekayaan alam yang dimiliki. Tinggal mengambil, bukan lagi mencari sebagaimana yang dilakukan negara-negara yang kurang sumber daya alam.
Lahirnya intelektual organik amat dinanti-nanti oleh bangsa. Dan itu bermula dari kampus. Karena disana prosesi pendidikan berpusat.
(Dimua Media Indonesia, 13 Mei 2008)