Tantangan Masa Depan Pesantren -->
Cari Judul Esai

Advertisement

Tantangan Masa Depan Pesantren

M Abdullah Badri
Minggu, 04 April 2010
Flashdisk Ebook Islami

Jual Kacamata Minus
Oleh M Abdullah Badri

Sejak dulu, pesantren dianggap sebagai cikal-bakal pendidikan masyarakat pinggiran. Karena biaya yang relatif terjangkau, masyarakat pedesaan banyak yang menitipkan anaknya disana, untuk dididik oleh seorang kyai yang menjadi pengasuhnya. Mereka menaruh harapan banyak pada pesantren, karena disanalah anak-anak mereka akan dikenalkan dengan ragam ilmu pengetahuan, dunia maupun akhirat.

Di pesantren, para santri tidak hanya dididik bagaimana menjalankan ibadah dengan baik, tapi juga bagaimana cara arif dalam bersosialisasi dengan masyarakat. Sentuhan sosial para santri akan kian terasah, karena dalam menempuh kehidupan sehari-hari di pesantren, tidak jarang mereka langsung terjun ke medan.

Ketika para tetangga sekitar pesantren membutuhkan bantuan, santri tidak segan-segan untuk membantu, tanpa pamrih. Tidak jarang sang kyai justru yang mengintruksikan langsung kepada para santri untuk terjun memberikan pertolongan. Ketika ada seseorang yang membutuhkan pasangan jodoh misalnya, sang kyai siap mencarikan, bahkan kadang para santri-santri itu yang ditawarkan, tentu setelah ada kesepakatan terlebih dahulu.

Dalam kenyataannya, pesantren, terutama yang bercorak tradisional, memang dekat dengan masyarakat sekitar. Sehingga masyarakat merasa memilikinya. Bahkan, jika sang kyai wafat, ribuan orang berbondong-bondong ta’ziyah (melawat) mengantarkan kepergiannya, sebagai bentuk penghormatan terakhir. Inilah yang menjadi keunggulan tersendiri dalam sistem pendidikan pesantren, merakyat dan memasyarakat.

Keunggulan lain yang dapat kita temukan dalam pola pendidikan pesantren adalah sistem pengajaran 24 jam. Setiap hari, para santri tidak pernah berhenti belajar. Pagi, siang, malam hingga menjelang pagi berikutnya dan begitu seterusnya, pondok pesantren tak lekang dari dari proses belajar.

Ketika selesai mengaji Al-Qur’an misalnya, kitab-kitab kuning karya ulama’ terdahulu mereka kaji dan kritisi. Dan, pada satu saat lain, ketika selesai mengkaji kurikulum wajib pesantren, mereka mengimplementasikannya dalam kehidupan nyata, ketika bergumul secara sosial kepada masyarakat sekitar.

Sistem pengajaran pesantren yang non stop itu telah terbukti mencerdaskan santri secara utuh. Semua sasaran pendidikan, sebagaimana diungkapkan oleh Benjamin S. Bloom, yaitu kognitif (pikiran atau hafalan), afektif (feeling atau emosi), dan psikomotorik (tindakan) telah digarap dalam sistem pengajaran pesantren yang demikian. (Qodry A. Azizy: 2000).

Sebab, dalam pondok pesantren, pengetahuan para santri diramu dengan pengalaman dan praktek. Bahkan, ketika seorang santri ingin dinyatakan lulus oleh pengasuh/kyai, terlebih dahulu mereka diharuskan khidmah (mengabdi) kepada pesantren dengan praktek mengajar disana, dalam jangka waktu tertentu.

Tantangan Masa Depan
Karena pesantren bukan merupakan pusat pendidikan teknologi, maka pengembangan sumberdaya manusia dalam bidang ini diakui belum memberikan kontribusi besar. Meskipun ada beberapa alumninya yang melek teknologi, tetapi pengetahuan mereka tentang hal itu tidak diperoleh dari pesantren. Padahal, untuk menjadi pilar perubahan sosial, teknologi adalah hal yang penting dikuasasi.

Dulu, jika seseorang ingin menguasai atau merubah sesuatu cukup dengan memobilisasi massa. Dengan mengumpulkan dan memberikan pengarahan serta pengaruh, sebuah misi akan tercapai.

Namun, seiring dengan perkembangan teknologi komunikaksi dan informasi, jika cara semacam itu masih ditempuh sebagai satu-satunya jalan alternatif, tentu akan ketinggalan, termasuk juga dengan sistem pendidikan pesantren. Padahal, selama ini pesantren dianggap sebagai pilar pendidikan yang paling dekat dengan masyarakat.
Kita tentu mengetahui bagaimana sebuah perubahan dalam setiap lini kehidupan ini banyak yang dikendalikan oleh sebuah jaringan berbasis teknologi. Jika dulu pergeseran paradigma dan sosial dimotori oleh pergerakan berbasis massa, people, maka kini disetir oleh dunia ide berbasis jaringan.

Sedemikian dahsyatnya kekuatan jaringan, ketika sebuah tombol di tangan ditekan, akan menimbulkan ledakan besar di belahan dunia lain. Kecepatan pertumbuhan teknologi internet, kini memang telah melipat jarak dan waktu. Untuk berkompetisi dalam dunia jaringan seperti ini, hal yang perlu diperhatikan adalah meningkatkan kualitas.

Benar apa yang dikatakan oleh Plato bahwa pada dasarnya dunia adalah sebuah ide. Telah terukti, pengendalian realitas kini berubah dari yang dulu mengunakan cara konvensional, berbasis massa, kini beralih kepada pengendalian berbasis ide, komunikasi melalui jaringan internet. Inilah yang menjadi tantangan masa depan pesantren.

Menyadari hal itu, kini banyak pesantren yang meningkatkan kompetisi dengan menggunakan internet sebagai medium komunikasi dan informasi. Bahkan, akhir-akhir ini, banyak pesantren yang telah memiliki website atau blog di internet. Paling tidak hal itu akan menjadi alat untuk memobilisasi ide dan gagasan kaum akademisi pesantren ke masyarakat luas, lintas ruang dan waktu.

Jika penguasaan jaringan pesantren telah dimiliki, pesantren akan menjadi pusat pergerakan sosial modern yang akan diperhitungkan. Sebab, pengaruhnya tidak hanya dirasakan oleh kalangan regional-lokal semata, namun juga global, dunia.

Demikian juga, para alumninya akan semakin mendapatkan tempat di tengah kompetisi yang semakin sulit dan kompleks ini. Apalagi ditambah dengan dua keunggulan pesantren yang telah disebutkan diatas, dekat secara emosional dengan masyarakat dan sistem pembelaran 24 jam yang memberikan keutuhan sasaran pendidikan; kognitif, afektif dan psikomotorik, maka semakin siap menyongsong masa depan.

Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan untuk menuju pada penguasaan jaringan pesantren. Pertama, sikap terbuka terhadap perubahan. Keterbukaan sikap akan menjadi modal awal membangun kesadaran mempelajari budaya dan kemajuan yang diraih oleh orang lain.

Kedua, kemerdekaan berfikir santri. Selama ini, santri dicitrakan sebagai kaum bersarung yang penuh dengan kejumudan dan budaya taqlid buta. Pemahaman bahwa mempelajari selain agama tidak akan mendapatkan pahala harus dirubah, diganti dengan pemahaman bahwa membangun kehidupan yang lebih baik di dunia ini dengan penguasaan jaringan internet merupakan bagian dari perintah Allah SWT sebagai Khalifah fil Ardl (manajer Tuhan).

Ketiga, menjalin kerjasama dengan berbagai pihak untuk menyediakan jasa internet bagi para santri. Keempat, mengirim atau, kalau perlu, menginstruksikan kepada para alumni untuk melanjutkan proses belajar mereka tentang teknologi ke perguruan tinggi. Dengan begitu, mereka diharapkan bisa memesantrenkan teknologi, sekaligus menteknologikan pesantren.

(Dimuat Republika, Juma'at, 11 Juli 2008)
Flashdisk Ribuan Kitab PDF

close
Iklan Flashdisk Gus Baha