Oleh M Abdullah Badri
Seperti selilit, ada yang menyumbat jalan tempuh demokrasi Indonesia. Sepuluh tahun lebih reformasi bergulir, perilaku politik para elite di negeri ini belum dianggap memperjuangkan nasib rakyat sebenar-benarnya. Demokrasi masih berputar dalam rutinitas pergantian kekuasaan dan birokrasi administratif, sementara kesejahteraan rakyat tak kunjung masih jauh dari harapan. Kebebasan yang diberikan oleh alam demokrasi belum melahirkan kedewasaan sikap politik dan kebijaksanaan pikir. Politik negeri ini tengah mengalami syndrome autisme.
Autisme berasal dari bahasa Yunani “auto” yang berarti hidup dalam dunianya sendiri. Autis adalah penyakit gangguan sosialisasi, perilaku dan kemampuan bahasa pada anak, sejak lahir maupun di usia balita. Umumnya, anak penderita autisme memiliki pola bermain tunggal. Sering melakukan gerakan yang berulang-ulang. Kalau dia suka berputar, ia akan melakukannya terus tanpa terhitung bilangan. Terlalu asyik dengan dunianya sendiri. Tak mau diganggu oleh orang lain. Akibatnya, kemampuan sosialisasinya lemah. Perkembangan bicaranya juga lamban. Kamampuan kognif anak autis mungkin di atas rata-rata, tetapi daya sensorik dan motoriknya sangat lemah. Boleh jadi dia pandai berhitung matematika, tapi lupa membawa pensil dan buku pelajaran ke kelas. Biasanya autisme diderita anak usia balita, 1-2 tahun. Kalau tidak segera mendapatkan terapi, ia akan menjadi generasi yang hilang (Baron-Cohen,1993).
Dibandingkan Amerika Serikat, kehidupan demokrasi negara kita masih belum mencapai akil-baligh, apalagi dewasa. Barrack Obama adalah presiden ke-44 AS, sementara Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), kepala negara kita sekarang, adalah pemimpin ke-6 sejak merdeka 1945. Umur demokrasi kita masih balita. Wajar belum memiliki kemantapan sebagaimana diungkapkan Anis Baswedan, dalam deklarasi Ormas bernama Nasional Demokrat, 1 Februari 2010 lalu, di Jakarta.
Demokrasi kita yang masih balita tengah terkena syndrome autisme politik. Para politisi sibuk dengan dunianya sendiri. Kendati didapuk sebagai wakil rakyat, tak ada representasi kebijakan yang memihak raja, rakyat yang diwakilinya itu. Lihat bagaimana pendekatan elite politik senayan dalam penyelesaian megaskandal Bank Century. Gengsi politik partai, membuat mereka menyusun strategi-strategi untuk menguak kasus dengan target politik tertentu. Bukan kebenaran yang menjadi ukuran, namun status kuasa dan gengsi partai. Partai pemenang pemilu yang merasa dikhianati dalam kasus itu, tak mau kalah. Mereka menggertak partai koalisi dengan menggulirkan wacana kocok ulang posisi menteri di kabinet Bersatu Jilid II itu. Pertarungan politik super elite itu membuat Indonesian Corruption Watch (ICW) mengingatkan masyarakat agar siap menerima kekecewaan keputusan hasil akhir.
Asyik dengan perebutan kekuasaan politik, elite kita terkesan emosional. Tak ada gaya komunikasi elegan yang enak dibaca, dan memang tak perlu. Ungkapan-ungkapan bernada tudingan, kasar dan sarkastik dalam perilaku politik elite kita begitu mudah terdengar, dan sangat vulgar. Rakyat menjadi risih mendengar ungkapan “bangsat” yang keluar dari mulut wakil mereka. Akibatnya, dalam gegap gempita politik yang menyibukkan para elite tersebut, nasib rakyat terbengkalai.
Mengetok palu untuk kepentingan politik dan pencairan angaran sangat gampang dilakukan. Hal-hal yang berkaitan dengan kesejahteraan pejabat dan penguatan simbol kekuasaan politik sangat mudah dan begitu cerdasnya dicarikan solusi. Giliran untuk rakyat, perdebatan dengan argumen politik menyeruak seru. Sangat autistik. Ironis, ditengah keterpurukan rakyat, mereka dengan rasa tanpa salah membagikan mobil mewah Toyota Crown Royal Saloon kepada para pejabat tinggi dan barisan nama menteri. Rakyat mengelus dada mendengar uang senilai Rp. 20 milyar habis dianggarkan hanya untuk bangunan pagar istana negara. Belum lagi Rp. 700 milyar untuk membeli pesawat kepresidenan. Padahal daerah kelahiran presiden, Pacitan, Jawa Timur, hingga kini masih dalam kategori miskin yang warganya yang sehari-hari masih mangonsumsi nasi aking, karena tak mampu membeli beras akibat kekeringan yang belum mendapatkan bantuan pengairan pemerintah (RCTI, 7/02/2010).
Begitu banyak masalah yang dihadapi, akumulasi kekecewaan rakyat membuncah. Dalam peringatan 100 hari SBY-Budono berkuasa, 28 Januari silam, masyarakat yang tergabung dalam demontrasi “SBY Gagal” itu sempat membawa kerbau berjuluk “SiBuYa” sebagai simbol kekecewaan. Aspirasi yang tersumbat membuat rakyat juga makin berani dalam mengungkapkan pendapat. Sama seperti elite politik negeri, gaya komunikasi politik masyarakat kini juga menembus batas dan terkesan melanggar etika. Wajar bila kemudian SBY merasa tersinggung dengan ekspresi demo yang berlebih itu. Kebebasan tak selamanya terbukti menjadi kontrol etika sosial, jika keblablasan. “Ketika kita mengidentikkan kepala negara sebagai manusia dungu seperti seekor kerbau, sesungguhnya manusia paling dungu adalah diri kita sendiri yang telah menempatkan orang dungu dalam singgasana pemerintahan, “ demikian Janpatar Simatora mengingatkan gaya komunikasi tak elegan itu. Ada gangguan komunikasi dalam kehidupan politik kita. Autis.
Autisme politik semakin kelihatan dalam putaran politik kosong pilkada. Uang rakyat tertelan dalam hebatnya putaran politik, bukan kesejahteraan masyarakat. Demokrasi super mekanis dan birokratis seperti negeri kita adalah yang paling boros di dunia. Berganti penguasa, tak berganti nasib. Seperti anak autis, ia selalu berputar. Hobinya memang melakukan gerakan berulang-ulang, tapi tanpa tujuan.
Syndrome autisme politik yang demikian menggurita dalam dinamika demokrasi yang kerdil, harus disegarkan dengan gerakan restorasi politik, mengisi omong kosong dan janji-janji politik dengan lebih mementingkan nasib rakyat dan menghiasi laku politisi dengan seni komunikasi. Kontrol demokrasi kita masih dipegang pasar. Akan labil dan bahkan hilanglah bangunan demokrasi itu bila tak diterapi segera. Sebagaiman penderita autis dewasa, generasi hilang itu.
(Dimuat Majalah MISSI, Edisi 29, Mei, 2010)
Seperti selilit, ada yang menyumbat jalan tempuh demokrasi Indonesia. Sepuluh tahun lebih reformasi bergulir, perilaku politik para elite di negeri ini belum dianggap memperjuangkan nasib rakyat sebenar-benarnya. Demokrasi masih berputar dalam rutinitas pergantian kekuasaan dan birokrasi administratif, sementara kesejahteraan rakyat tak kunjung masih jauh dari harapan. Kebebasan yang diberikan oleh alam demokrasi belum melahirkan kedewasaan sikap politik dan kebijaksanaan pikir. Politik negeri ini tengah mengalami syndrome autisme.
Autisme berasal dari bahasa Yunani “auto” yang berarti hidup dalam dunianya sendiri. Autis adalah penyakit gangguan sosialisasi, perilaku dan kemampuan bahasa pada anak, sejak lahir maupun di usia balita. Umumnya, anak penderita autisme memiliki pola bermain tunggal. Sering melakukan gerakan yang berulang-ulang. Kalau dia suka berputar, ia akan melakukannya terus tanpa terhitung bilangan. Terlalu asyik dengan dunianya sendiri. Tak mau diganggu oleh orang lain. Akibatnya, kemampuan sosialisasinya lemah. Perkembangan bicaranya juga lamban. Kamampuan kognif anak autis mungkin di atas rata-rata, tetapi daya sensorik dan motoriknya sangat lemah. Boleh jadi dia pandai berhitung matematika, tapi lupa membawa pensil dan buku pelajaran ke kelas. Biasanya autisme diderita anak usia balita, 1-2 tahun. Kalau tidak segera mendapatkan terapi, ia akan menjadi generasi yang hilang (Baron-Cohen,1993).
Dibandingkan Amerika Serikat, kehidupan demokrasi negara kita masih belum mencapai akil-baligh, apalagi dewasa. Barrack Obama adalah presiden ke-44 AS, sementara Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), kepala negara kita sekarang, adalah pemimpin ke-6 sejak merdeka 1945. Umur demokrasi kita masih balita. Wajar belum memiliki kemantapan sebagaimana diungkapkan Anis Baswedan, dalam deklarasi Ormas bernama Nasional Demokrat, 1 Februari 2010 lalu, di Jakarta.
Demokrasi kita yang masih balita tengah terkena syndrome autisme politik. Para politisi sibuk dengan dunianya sendiri. Kendati didapuk sebagai wakil rakyat, tak ada representasi kebijakan yang memihak raja, rakyat yang diwakilinya itu. Lihat bagaimana pendekatan elite politik senayan dalam penyelesaian megaskandal Bank Century. Gengsi politik partai, membuat mereka menyusun strategi-strategi untuk menguak kasus dengan target politik tertentu. Bukan kebenaran yang menjadi ukuran, namun status kuasa dan gengsi partai. Partai pemenang pemilu yang merasa dikhianati dalam kasus itu, tak mau kalah. Mereka menggertak partai koalisi dengan menggulirkan wacana kocok ulang posisi menteri di kabinet Bersatu Jilid II itu. Pertarungan politik super elite itu membuat Indonesian Corruption Watch (ICW) mengingatkan masyarakat agar siap menerima kekecewaan keputusan hasil akhir.
Asyik dengan perebutan kekuasaan politik, elite kita terkesan emosional. Tak ada gaya komunikasi elegan yang enak dibaca, dan memang tak perlu. Ungkapan-ungkapan bernada tudingan, kasar dan sarkastik dalam perilaku politik elite kita begitu mudah terdengar, dan sangat vulgar. Rakyat menjadi risih mendengar ungkapan “bangsat” yang keluar dari mulut wakil mereka. Akibatnya, dalam gegap gempita politik yang menyibukkan para elite tersebut, nasib rakyat terbengkalai.
Mengetok palu untuk kepentingan politik dan pencairan angaran sangat gampang dilakukan. Hal-hal yang berkaitan dengan kesejahteraan pejabat dan penguatan simbol kekuasaan politik sangat mudah dan begitu cerdasnya dicarikan solusi. Giliran untuk rakyat, perdebatan dengan argumen politik menyeruak seru. Sangat autistik. Ironis, ditengah keterpurukan rakyat, mereka dengan rasa tanpa salah membagikan mobil mewah Toyota Crown Royal Saloon kepada para pejabat tinggi dan barisan nama menteri. Rakyat mengelus dada mendengar uang senilai Rp. 20 milyar habis dianggarkan hanya untuk bangunan pagar istana negara. Belum lagi Rp. 700 milyar untuk membeli pesawat kepresidenan. Padahal daerah kelahiran presiden, Pacitan, Jawa Timur, hingga kini masih dalam kategori miskin yang warganya yang sehari-hari masih mangonsumsi nasi aking, karena tak mampu membeli beras akibat kekeringan yang belum mendapatkan bantuan pengairan pemerintah (RCTI, 7/02/2010).
Begitu banyak masalah yang dihadapi, akumulasi kekecewaan rakyat membuncah. Dalam peringatan 100 hari SBY-Budono berkuasa, 28 Januari silam, masyarakat yang tergabung dalam demontrasi “SBY Gagal” itu sempat membawa kerbau berjuluk “SiBuYa” sebagai simbol kekecewaan. Aspirasi yang tersumbat membuat rakyat juga makin berani dalam mengungkapkan pendapat. Sama seperti elite politik negeri, gaya komunikasi politik masyarakat kini juga menembus batas dan terkesan melanggar etika. Wajar bila kemudian SBY merasa tersinggung dengan ekspresi demo yang berlebih itu. Kebebasan tak selamanya terbukti menjadi kontrol etika sosial, jika keblablasan. “Ketika kita mengidentikkan kepala negara sebagai manusia dungu seperti seekor kerbau, sesungguhnya manusia paling dungu adalah diri kita sendiri yang telah menempatkan orang dungu dalam singgasana pemerintahan, “ demikian Janpatar Simatora mengingatkan gaya komunikasi tak elegan itu. Ada gangguan komunikasi dalam kehidupan politik kita. Autis.
Autisme politik semakin kelihatan dalam putaran politik kosong pilkada. Uang rakyat tertelan dalam hebatnya putaran politik, bukan kesejahteraan masyarakat. Demokrasi super mekanis dan birokratis seperti negeri kita adalah yang paling boros di dunia. Berganti penguasa, tak berganti nasib. Seperti anak autis, ia selalu berputar. Hobinya memang melakukan gerakan berulang-ulang, tapi tanpa tujuan.
Syndrome autisme politik yang demikian menggurita dalam dinamika demokrasi yang kerdil, harus disegarkan dengan gerakan restorasi politik, mengisi omong kosong dan janji-janji politik dengan lebih mementingkan nasib rakyat dan menghiasi laku politisi dengan seni komunikasi. Kontrol demokrasi kita masih dipegang pasar. Akan labil dan bahkan hilanglah bangunan demokrasi itu bila tak diterapi segera. Sebagaiman penderita autis dewasa, generasi hilang itu.
(Dimuat Majalah MISSI, Edisi 29, Mei, 2010)