Oleh Muhammad Rohani
M ABDULLAH BADRI di rubrik ini (24/4) menulis urgensi kewiraswastaan bagi lulusan perguruan tinggi dalam konteks kehidupan sosial dan perekonomian masyarakat. Kemenyempitan lapangan kerja serta pertambahan angkatan kerja setiap tahun mengakibatkan peningkatan angka pengangguran di Indonesia. Pendidikan dan praktik wiraswasta merupakan keniscayaan untuk mengatasi pengangguran.
Memang benar kita memerlukan banyak wiraswasta sebagai penyedia lapangan kerja bagi sekian puluh juta angkatan kerja yang menganggur. Saat ini, Indonesia hanya memiliki pengusaha kurang dari 1% dari keseluruhan penduduk. Padahal, sebuah negara dapat mencapai kemakmuran bila memiliki pengusaha paling tidak 2,5 % dari jumlah penduduk. Begitu pendapat para praktisi.
Kewiraswastaan bukan hanya akan menyerap tenaga kerja, melainkan juga meningkatkan perekonomian Indonesia. Pada gilirannya kemakmuran material tentu tercapai. Maka tak mengherankan, sekarang banyak pelatihan dan seminar kewiraswastaan diadakan untuk mahasiswa dan masyarakat umum.
Tak ketinggalan pula orang-orang yang peduli pada bidang itu mendirikan lembaga setingkat perguruan tinggi atau lembaga pendidikan dan pelatihan (LPK) yang fokus mendalami kewiraswastaan. Tujuan mereka satu: menciptakan pengusaha muda yang diharapkan jadi tonggak kemajuan perekonomian saat ini dan pada masa datang.
Masuk Kurikulum Spirit seperti itu perlu mendapat sambutan dan perhatian serius. Generasi muda kita memang perlu dibekali pendidikan kewiraswataan sejak dini. Materi kewiraswastaan selayaknya dimasukkan dalam kurikulum pendidikan. Jadi peserta didik mempunyai mental tangguh, tidak mudah menyerah, kreatif, inovatif, dan memiliki tanggung jawab sosial tinggi.
Akan tetapi, selain diberi pendidikan dan pelatihan teknik berwiraswasta, hendaknya mereka juga dibekali filosofi, nilai-nilai moral, serta etika berbisnis. Peserta didik hendaknya diberi pemahaman bahwa kegiatan berwiraswasta hakikatnya bukan hanya untuk kemakmuran diri sendiri, melainkan juga untuk kesejahteraan masyarakat secara umum. Selain itu, nilai-nilai kejujuran, menjaga kepercayaan, dan pemahaman utuh atas nilai kemanusiaan dan lingkungan juga harus diberikan bersama materi teknis kewiraswastaan.
Pemahaman bersifat mendasar itu mutlak agar para calon pengusaha kelak dapat berbisnis secara benar, jujur, dan memberikan kontribusi ke masyarakat secara semestinya. Itu sangat perlu, mengingat selama ini banyak pengusaha hanya pintar secara teknis dalam pengelolaan perusahaan, tetapi sangat memprihatinkan dalam nilai-nilai moral dan etika.
Mereka pandai melakukan hitungan-hitungan bersifat matematis berkait dengan manajemen perusahaan, akan tetapi miskin pemahaman dan empati terhadap lingkungan sosial dan alam sekitar.
Rugikan Negara Pengusaha tipe itulah yang banyak merugikan negara, masyarakat, dan lingkungan alam. Mereka membobol bank dengan L/C fiktif, mengemplang dana dari bank pemerintah, mangkir dari kewajiban membayar pajak, atau menggelembungkan anggaran proyek yang dikerjakan.
Pengusaha macam itu pula yang gemar mempekerjakan karyawan siang-malam, tanpa memedulikan kesejahteraan mereka secara layak. Pebisnis jenis itulah yang sangat rakus mengeksploitasi kekayaan alam, tetapi menutup mata atas keseimbangan dan kelestarian alam.
Kita tentu tak menginginkan pada masa datang itu terjadi lagi. Telah terlalu banyak uang negara yang dibobol pengusaha nakal jenis itu. Sudah tak terhitung pekerja kita yang bertahun-tahun bekerja, tetapi penghidupan mereka jauh dari kelayakan.
Telah jenuh kita mendengar berita tentang bencana alam yang diakibatkan ulah para pengusaha yang tidak bertanggung jawab atas dampak kegiatan usaha mereka.
Maka, sekali lagi, perlu penanaman nilai-nilai moral dan etika berwiraswasta bagi mahasiswa yang menjalani pendidikan dan pelatihan kewiraswastaan, selain kemampuan teknis wiraswasta.
Jadi bisa diharapkan kelak tercipta pengusaha yang tak hanya pandai dalam teknik manajemen, tetapi juga saleh secara moral serta bertanggung jawab atas kehidupan sosial dan kelestarian alam. (53)
- Muhammad Rohani, Sekjen Komunitas Studi Agama, Pemikiran, dan Tradisi (Damar) Semarang
(Dimuat Suara Merdeka, 8 Mei 2010)
M ABDULLAH BADRI di rubrik ini (24/4) menulis urgensi kewiraswastaan bagi lulusan perguruan tinggi dalam konteks kehidupan sosial dan perekonomian masyarakat. Kemenyempitan lapangan kerja serta pertambahan angkatan kerja setiap tahun mengakibatkan peningkatan angka pengangguran di Indonesia. Pendidikan dan praktik wiraswasta merupakan keniscayaan untuk mengatasi pengangguran.
Memang benar kita memerlukan banyak wiraswasta sebagai penyedia lapangan kerja bagi sekian puluh juta angkatan kerja yang menganggur. Saat ini, Indonesia hanya memiliki pengusaha kurang dari 1% dari keseluruhan penduduk. Padahal, sebuah negara dapat mencapai kemakmuran bila memiliki pengusaha paling tidak 2,5 % dari jumlah penduduk. Begitu pendapat para praktisi.
Kewiraswastaan bukan hanya akan menyerap tenaga kerja, melainkan juga meningkatkan perekonomian Indonesia. Pada gilirannya kemakmuran material tentu tercapai. Maka tak mengherankan, sekarang banyak pelatihan dan seminar kewiraswastaan diadakan untuk mahasiswa dan masyarakat umum.
Tak ketinggalan pula orang-orang yang peduli pada bidang itu mendirikan lembaga setingkat perguruan tinggi atau lembaga pendidikan dan pelatihan (LPK) yang fokus mendalami kewiraswastaan. Tujuan mereka satu: menciptakan pengusaha muda yang diharapkan jadi tonggak kemajuan perekonomian saat ini dan pada masa datang.
Masuk Kurikulum Spirit seperti itu perlu mendapat sambutan dan perhatian serius. Generasi muda kita memang perlu dibekali pendidikan kewiraswataan sejak dini. Materi kewiraswastaan selayaknya dimasukkan dalam kurikulum pendidikan. Jadi peserta didik mempunyai mental tangguh, tidak mudah menyerah, kreatif, inovatif, dan memiliki tanggung jawab sosial tinggi.
Akan tetapi, selain diberi pendidikan dan pelatihan teknik berwiraswasta, hendaknya mereka juga dibekali filosofi, nilai-nilai moral, serta etika berbisnis. Peserta didik hendaknya diberi pemahaman bahwa kegiatan berwiraswasta hakikatnya bukan hanya untuk kemakmuran diri sendiri, melainkan juga untuk kesejahteraan masyarakat secara umum. Selain itu, nilai-nilai kejujuran, menjaga kepercayaan, dan pemahaman utuh atas nilai kemanusiaan dan lingkungan juga harus diberikan bersama materi teknis kewiraswastaan.
Pemahaman bersifat mendasar itu mutlak agar para calon pengusaha kelak dapat berbisnis secara benar, jujur, dan memberikan kontribusi ke masyarakat secara semestinya. Itu sangat perlu, mengingat selama ini banyak pengusaha hanya pintar secara teknis dalam pengelolaan perusahaan, tetapi sangat memprihatinkan dalam nilai-nilai moral dan etika.
Mereka pandai melakukan hitungan-hitungan bersifat matematis berkait dengan manajemen perusahaan, akan tetapi miskin pemahaman dan empati terhadap lingkungan sosial dan alam sekitar.
Rugikan Negara Pengusaha tipe itulah yang banyak merugikan negara, masyarakat, dan lingkungan alam. Mereka membobol bank dengan L/C fiktif, mengemplang dana dari bank pemerintah, mangkir dari kewajiban membayar pajak, atau menggelembungkan anggaran proyek yang dikerjakan.
Pengusaha macam itu pula yang gemar mempekerjakan karyawan siang-malam, tanpa memedulikan kesejahteraan mereka secara layak. Pebisnis jenis itulah yang sangat rakus mengeksploitasi kekayaan alam, tetapi menutup mata atas keseimbangan dan kelestarian alam.
Kita tentu tak menginginkan pada masa datang itu terjadi lagi. Telah terlalu banyak uang negara yang dibobol pengusaha nakal jenis itu. Sudah tak terhitung pekerja kita yang bertahun-tahun bekerja, tetapi penghidupan mereka jauh dari kelayakan.
Telah jenuh kita mendengar berita tentang bencana alam yang diakibatkan ulah para pengusaha yang tidak bertanggung jawab atas dampak kegiatan usaha mereka.
Maka, sekali lagi, perlu penanaman nilai-nilai moral dan etika berwiraswasta bagi mahasiswa yang menjalani pendidikan dan pelatihan kewiraswastaan, selain kemampuan teknis wiraswasta.
Jadi bisa diharapkan kelak tercipta pengusaha yang tak hanya pandai dalam teknik manajemen, tetapi juga saleh secara moral serta bertanggung jawab atas kehidupan sosial dan kelestarian alam. (53)
- Muhammad Rohani, Sekjen Komunitas Studi Agama, Pemikiran, dan Tradisi (Damar) Semarang
(Dimuat Suara Merdeka, 8 Mei 2010)