Perangkap Politik Pejabat Negara -->
Cari Judul Esai

Advertisement

Perangkap Politik Pejabat Negara

M Abdullah Badri
Selasa, 20 Juli 2010
Flashdisk Ebook Islami

Jual Kacamata Minus
Oleh M Abdullah Badri

DOSA politik tak pernah hilang dari ingatan publik. Soeharto, misal, meskipun sudah “memajukan” bangsa selama 32 tahun, tapi memori rakyat Indonesia pascalengser tetap menempatkannya sebagai mantan presiden otoriter yang disegani sebagai pemimpin politik pada zamannya. Gelagat politik memanfaatkan keabadian dosa sebagai alat untuk menaklukkan dan menjatuhkan nama para petinggi musuh politik.

Banyak para mantan pejabat negara hingga masa jabatan berakhir, laris manis dipuja publik karena dianggap berhasil mengemban amanat rakyat--bila tidak menyebut amanat jabatan--dengan baik. Namun, setelah lengser keprabon dan taring kuasa tak lagi ada, banyak dosa-dosa terungkap kepada masyarakat. Itulah yang tampaknya dialami mantan Mensesneg Yusril Ihza Mahendra.

Setelah Yusril tidak menjabat menteri, dia kena “damprat” hukum dari Kejaksaan Agung (Kejagung) karena dijadikan tersangka dalam kasus Sisminbakum yang merugikan negara hingga Rp420 miliar. Bersama Hartono Tanoesoedibjo, pada 24 Juni lalu, Yusril ditetapkan sebagai tersangka resmi oleh Kejagung. Merasa disalahkan, Yuzril menanggapi balik atas kasus yang menimpa itu. Namun, bukan dengan “melawan,” Yuzril melakukan pembelaan.

Secara reaktif, ketua Majelis Syuro Partai Bulan Bintang (PBB) ini malah memerkarakan status Hendarman Supandji sebagai Ketua Kejagung yang dianggap ilegal. Yuzril mengatakan, Hendarman tidak memiliki kewenangan apa pun berkaitan langkah hukum karena status sebagai jaksa agung tidak sah. Sebab, belum ada SK Presiden yang memperpanjang masa jabatan habis sejak akhir 2009.

Yuzril mengibaratkan keabsahan dalam jabatan seperti akad dalam pernikahan. Jika nikah tanpa ijab dan kabul, selamanya akan dianggap sebagai zina. (Wawasan, 6/7). Yuzril yang bisa dikatakan mengemban tugas dengan “husnulkhatimah” akhirnya terperangkap juga dengan dugaan penyelewengan kekuasaan semasa dia menjabat.

Konflik Pejabat

Perselisihan antarmantan petinggi atau pejabat negara yang masih aktif bukan kali ini saja terjadi. Lihat kasus-kasus sebelumnya, banyak luapan emosi dan reaksi lebay dari mereka ketika borok laku semasa masih punya posisi sebagai pejabat dikuak luas oleh media massa, dibongkar habis oleh publik.

Semasa berkuasa, pejabat yang melakukan praktik korupsi dan tindakan lain merugikan negara mungkin bisa ditutupi, giliran orang lain menjabat, apalagi berasal dari mantan rival politik, bau busuk perbuatan segera diketahui publik.

Yuzril misal, dia berdalih keberanian Kejagung “mengadili” karena dia tidak lagi menjabat menteri negara dan partai tidak memperoleh kursi di DPR. Seandainya dia masih berkuasa, Hendarman, tidak berani memerkarakan kasus Sisminbakum itu. Pendapat Yuzril jelas menunjukkan arogansi kuasa dan terkesan reaktif. Jika memang berada di pihak benar, dia tidak perlu melakukan tindakan sereaktif itu. Kasus yang dipersoalkan, praktik korupsi Sisminbakum, namun pembelaan yang dilakukan malah memerkarakan legalitas. Seperti ada yang tidak kongruen antara reaksi Yuzril dan aksi Kejagung. Harusnya, Yuzril menunjukkan kejantanan hukum dengan menantang pihak-pihak yang memerkarakan kasus dengan pengumpulan alat bukti yang meyakinkan.

Tiadanya keselarasan sebab dan akibat dalam aksi-reaksi Yuzril adalah indikasi sangat kuat bahwa dia memang sedang berjuang menutupi sangat rapat dosa-dosa masa lalu yang pernah dilakukan. Dia terperangkap hukum oleh tindakan sendiri.

Dosa Kuasa

Bukan hanya Yuzril, banyak nama-nama mantan pejabat negara, baik eksekutif, legislatif maupun yudikatif, terseret ke penjara akibat “kecerobohan” wewenang saat masih berkuasa, dosa kuasa. Di media massa, banyak menemui mantan anggota DPR 2004-2009 yang kasusnya baru terbongkar sekarang.

Jika boleh menyebutkan nama, ada lusinan, bahkan ratusan, mantan pejabat terperangkap dosa masa lalu (dipenjarakan karena bersalah) setelah lengser dari kursi kekuasaan. Contoh paling mencolok mantan Menteri Agama (Menag) Said Agil Munawar. Nama lain mantan anggota DPR Al-Amin Nasution, Mantan Gubernur Aceh Abdullah Puteh, Mantan Mensos Bachtiar Hamzah (baru diduga dan belum ada kelanjutan), dan lainnya.

Konflik kepentingan politik antarelite tidak hanya terjadi ketika sudah tidak menjabat. Saat mereka akan naik peringkat ke tingkatan lebih tinggi dari jabatan yang diemban sekarang. Antarelite juga saling menjatuhkan musuh-musuh politik dengan membeberkan dosa-dosa masa lalu, baik borok dalam keluarga, ideologi, moral, loyalitas kepada negara hingga masalah-masalah lain yang bisa diperkaya dengan lipstik berita media massa.

Dulu, di tengah pencalonan SBY sebagai capres, isu poligami yang konon pernah dilakukan beredar luas di masyarakat. Begitu pula Boediono, anutan ideologi neolib santer dibicarakan dalam masyarakat saat mendampingi SBY sebagai cawapres. Semua bagian dari black campaign dari musuh-musuh politik. Untungnya, SBY dan Boediono bisa meredam isu-isu “borok “ itu karena masih punya kuasa dan wewenang mengambil kebijakan.

Itu juga tampaknya terjadi pada Abu Rizal Bakri ketika kasus penunggakan pajak beberapa perusahaan diungkapkan Mantan Menkeu Sri Mulyani Indrawati kepada publik. Bakri “selamat” karena masih mampu meredam isu pajak, bahkan kuasa “menyingkirkan” Sri Mulyani dari jabatan. Orang banyak menyebut, Sri Mulyani dalam kasus penunggakan pajak adalah korban, meskipun ditunjuk sebagai salah satu direktur di Bank Dunia.

(Dimuat Jurnal Nasional, 20 Juli 2010)
Flashdisk Ribuan Kitab PDF

close
Iklan Flashdisk Gus Baha