Oleh M Abdullah Badri
BEBERAPA waktu lalu, saya mengamati sebuah gambar iklan yang lucu, serius, tetapi menarik. Sekelompok orang berwajah lugu duduk di bawah sebuah pohon besar dengan fokus pandangan mata mengarah ke satu titik. Seorang lelaki (mungkin tetua suku) duduk bersila dengan tangan bak mengetik di kibor. Di belakangnya, ada mata-mata lain mengamati serius aktivitas leaki itu.
Ya, barang yang mereka lihat adalah laptop bermerek. Yang menarik, pakaian kaum lelaki di gambar itu hanya menutupi alat vital dan para perempuan tak berpenutup dada. Namun mereka seperti paham dan bisa menggunakan produk teknologi tersebut. Itu adalah bagian dari provokasi citra teknologi yang semua orang tak bisa menampik manfaat besarnya untuk memperlancar mobilisasi hidup dan peningkatan kesejahteraan, sebagaimana kaum pedalaman pada iklan itu.
Atas nama pembangunan dan mengatasi ketertinggalan, tahun ini pemerintah menargetkan semua desa di Indonesia terhubung dengan infrastruktur informatika, telepon, dan internet. Komitmen itu sejalan dengan visi World Summit on Information Society yang memandatkan ke semua negara bahwa sebelum tahun 2015 separuh penduduk dunia harus memiliki akses langsung ke internet.
Tak tanggung-tanggung, untuk mewujudkan niat itu, pemerintah mengalokasikan dana persiapan Rp 1,4 triliun. Dana itu untuk menciptakan desa “berdering” dan desa “pintar” dengan kelengkapan jaringan telekomunikasi seluler dan internet. Sebanyak 5.700 kecamatan dan 31.000 desa di seluruh Indonesia akan dijadikan lahan garap agar dari jendela rumah, orang-orang desa bisa melihat taman pekarangan rumah orang lain di belahan dunia yang belum pernah mereka lihat dengan mata dan tak terimajinasi dalam benak.
Netralitas
Sifat netral menjadi keabsahan praksis untuk melakukan ekspansi produk teknologi hingga ke seluruh daerah pedalaman terjauh; di gunung, hutan, dan pesisir lautan. Melihat perkembangan dunia pada era informasi seperti sekarang, mengabaikan produk teknologi adalah sia-sia. Membuang produk teknologi dengan pesimisme apriori bahwa ia memorak-porandakan kultur lokal dan mengacaukan sistem social tidak akan menyisakan apa pun, kecuali keterbelakangan.
Karena itulah, pada setiap kesempatan Menkominfo Tifatul Sembiring selalu mengingatkan bahwa yang dibutuhkan seseorang agar produk teknologi memiliki domain ekses positif terhadap pemberdayaan masyarakat adalah self filter, penyaringan nilai secara individu atau pengendalian diri. Secara aksiologis diakui, perubahan sistem sosial akibat perkembangan produk teknologi informasi komunikasi — dari silaturahim ke chatting, dari kirim surat ke email, dan dari transaksi uang ke e-banking dan mobile banking — telah membawa berkah. Namun pada waktu yang sama, laknat teknologi juga bisa mengancam sewaktu-waktu, seperti cyber crime, cyber sex, penipuan maya, perampokan dengan modus internet. Di sinilah, manajeman personal mutlak dibutuhkan. Dua sisi dampak tak terbantahkan itu terang menjelaskan bahwa yang mengarahkan nilai guna produk teknologi adalah manusia.
Teknologi Terapan
Bagaimana dengan orang desa? Barangkali jika niat baik “memperadabkan” manusia diterapkan di pusat-pusat pembelajaran akan melahirkan pengayaan pengetahuan, seperti di kampus atau sekolah. Lebih efektif dan efisien bila sistem belajar mereka ditunjang sarana memadai untuk menelusuri sumber pengetahuan luas laiknya di berbagai situs web di internet. Sarana pendidikan yang ditunjang alat teknologi akan menjadikannya sebagai tempat pembelajaran (Seels dan Richey, 1994).
Beda efek kala produk teknologi seperti internet masuk ke desa. Taraf pendidikan dan pemahaman orang desa yang kurang memadai sulit beradaptasi dengan teknis teknologi yang rumit, meski sebetulnya tak terlalu rumit. Faktanya, jasa warung internet (warnet) yang kini merebak di desa hanya dimanfaatkan oleh orang-orang yang telah mengenyam pendidikan memadai di kota. Warnet di desa, tetapi untuk orang kota yang pulang ke desa atau yang pernah belajar di kota.
Intinya, kehadiran teknologi internet di desa belum memberikan suasana kultural yang membangun. Terkadang justru dianggap mengganggu sitem sosial desa. Sejak warnet hadir, banyak anak menghabiskan waktu untuk main game online di internet, bahkan mengakses situs-situs yang kurang layak. Fanomena itu membuktikan teknologi internet, meski baik, belum mampu memberdayakan masyarakat desa dan membantu kesejahteraan ekonomi mereka. Sebab, orang desa memang tak begitu membutuhkan pelayanan komunikasi-informasi berbasis internet.
Inovasi teknologi yang bermanfaat bagi masyarakat desa adalah yang mampu membantu mereka memberdayakan sumber penghasilan setiap hari, yakni teknologi dengan desain produk yang bisa dimanafatkan secara langsung oleh mereka (sort utilization technology), yang rata-rata berprofesi sebagai petani, peternak, nelayan, dan buruh. Misalnya, petani butuh teknologi pengolahan pupuk, pembuatan benih, dan inovasi agroteknologi lain.
Nelayan butuh teknologi penjaringan untuk meningkatkan hasil tangkapan ikan. Peternak juga tak butuh internet untuk mengembangkan hewan ternak agar cepat berkembang. Yang mereka butuhkan adalah cara mengembangbiakkan ternak sehingga bisa melipatgandakan penghasilan.
Internet dimanfaatkan oleh insinyur dan sarjana yang hidup di desa atau mendampingi proyek pengembangan desa “berdering” atau desa “pintar”.
Orang desa lebih melirik apa yang dikatakan televisi untuk memenuhi hasrat pengetahuan mereka. Tanpa perlu klik dan baca situs yang memusingkan kepala.
Iklan laptop merek terkenal berlatar belakang orang pedalaman adalah rayuan gombal konsumtivisme yang tak tepat sasaran. Teknologi yang tepat masuk desa adalah teknologi terapan, bukan resapan yang membutuhkan permenungan intelektual tinggi. Iklan itu membujuk untuk membeli, bukan memanfaatkan. Akhirnya, banyak orang desa yang kaya membeli laptop. Namun, laptop itu dianggurkan termakan karat. Tidak digunakan.
(Dimuat Suara Merdeka, 26 Juli 2010)
BEBERAPA waktu lalu, saya mengamati sebuah gambar iklan yang lucu, serius, tetapi menarik. Sekelompok orang berwajah lugu duduk di bawah sebuah pohon besar dengan fokus pandangan mata mengarah ke satu titik. Seorang lelaki (mungkin tetua suku) duduk bersila dengan tangan bak mengetik di kibor. Di belakangnya, ada mata-mata lain mengamati serius aktivitas leaki itu.
Ya, barang yang mereka lihat adalah laptop bermerek. Yang menarik, pakaian kaum lelaki di gambar itu hanya menutupi alat vital dan para perempuan tak berpenutup dada. Namun mereka seperti paham dan bisa menggunakan produk teknologi tersebut. Itu adalah bagian dari provokasi citra teknologi yang semua orang tak bisa menampik manfaat besarnya untuk memperlancar mobilisasi hidup dan peningkatan kesejahteraan, sebagaimana kaum pedalaman pada iklan itu.
Atas nama pembangunan dan mengatasi ketertinggalan, tahun ini pemerintah menargetkan semua desa di Indonesia terhubung dengan infrastruktur informatika, telepon, dan internet. Komitmen itu sejalan dengan visi World Summit on Information Society yang memandatkan ke semua negara bahwa sebelum tahun 2015 separuh penduduk dunia harus memiliki akses langsung ke internet.
Tak tanggung-tanggung, untuk mewujudkan niat itu, pemerintah mengalokasikan dana persiapan Rp 1,4 triliun. Dana itu untuk menciptakan desa “berdering” dan desa “pintar” dengan kelengkapan jaringan telekomunikasi seluler dan internet. Sebanyak 5.700 kecamatan dan 31.000 desa di seluruh Indonesia akan dijadikan lahan garap agar dari jendela rumah, orang-orang desa bisa melihat taman pekarangan rumah orang lain di belahan dunia yang belum pernah mereka lihat dengan mata dan tak terimajinasi dalam benak.
Netralitas
Sifat netral menjadi keabsahan praksis untuk melakukan ekspansi produk teknologi hingga ke seluruh daerah pedalaman terjauh; di gunung, hutan, dan pesisir lautan. Melihat perkembangan dunia pada era informasi seperti sekarang, mengabaikan produk teknologi adalah sia-sia. Membuang produk teknologi dengan pesimisme apriori bahwa ia memorak-porandakan kultur lokal dan mengacaukan sistem social tidak akan menyisakan apa pun, kecuali keterbelakangan.
Karena itulah, pada setiap kesempatan Menkominfo Tifatul Sembiring selalu mengingatkan bahwa yang dibutuhkan seseorang agar produk teknologi memiliki domain ekses positif terhadap pemberdayaan masyarakat adalah self filter, penyaringan nilai secara individu atau pengendalian diri. Secara aksiologis diakui, perubahan sistem sosial akibat perkembangan produk teknologi informasi komunikasi — dari silaturahim ke chatting, dari kirim surat ke email, dan dari transaksi uang ke e-banking dan mobile banking — telah membawa berkah. Namun pada waktu yang sama, laknat teknologi juga bisa mengancam sewaktu-waktu, seperti cyber crime, cyber sex, penipuan maya, perampokan dengan modus internet. Di sinilah, manajeman personal mutlak dibutuhkan. Dua sisi dampak tak terbantahkan itu terang menjelaskan bahwa yang mengarahkan nilai guna produk teknologi adalah manusia.
Teknologi Terapan
Bagaimana dengan orang desa? Barangkali jika niat baik “memperadabkan” manusia diterapkan di pusat-pusat pembelajaran akan melahirkan pengayaan pengetahuan, seperti di kampus atau sekolah. Lebih efektif dan efisien bila sistem belajar mereka ditunjang sarana memadai untuk menelusuri sumber pengetahuan luas laiknya di berbagai situs web di internet. Sarana pendidikan yang ditunjang alat teknologi akan menjadikannya sebagai tempat pembelajaran (Seels dan Richey, 1994).
Beda efek kala produk teknologi seperti internet masuk ke desa. Taraf pendidikan dan pemahaman orang desa yang kurang memadai sulit beradaptasi dengan teknis teknologi yang rumit, meski sebetulnya tak terlalu rumit. Faktanya, jasa warung internet (warnet) yang kini merebak di desa hanya dimanfaatkan oleh orang-orang yang telah mengenyam pendidikan memadai di kota. Warnet di desa, tetapi untuk orang kota yang pulang ke desa atau yang pernah belajar di kota.
Intinya, kehadiran teknologi internet di desa belum memberikan suasana kultural yang membangun. Terkadang justru dianggap mengganggu sitem sosial desa. Sejak warnet hadir, banyak anak menghabiskan waktu untuk main game online di internet, bahkan mengakses situs-situs yang kurang layak. Fanomena itu membuktikan teknologi internet, meski baik, belum mampu memberdayakan masyarakat desa dan membantu kesejahteraan ekonomi mereka. Sebab, orang desa memang tak begitu membutuhkan pelayanan komunikasi-informasi berbasis internet.
Inovasi teknologi yang bermanfaat bagi masyarakat desa adalah yang mampu membantu mereka memberdayakan sumber penghasilan setiap hari, yakni teknologi dengan desain produk yang bisa dimanafatkan secara langsung oleh mereka (sort utilization technology), yang rata-rata berprofesi sebagai petani, peternak, nelayan, dan buruh. Misalnya, petani butuh teknologi pengolahan pupuk, pembuatan benih, dan inovasi agroteknologi lain.
Nelayan butuh teknologi penjaringan untuk meningkatkan hasil tangkapan ikan. Peternak juga tak butuh internet untuk mengembangkan hewan ternak agar cepat berkembang. Yang mereka butuhkan adalah cara mengembangbiakkan ternak sehingga bisa melipatgandakan penghasilan.
Internet dimanfaatkan oleh insinyur dan sarjana yang hidup di desa atau mendampingi proyek pengembangan desa “berdering” atau desa “pintar”.
Orang desa lebih melirik apa yang dikatakan televisi untuk memenuhi hasrat pengetahuan mereka. Tanpa perlu klik dan baca situs yang memusingkan kepala.
Iklan laptop merek terkenal berlatar belakang orang pedalaman adalah rayuan gombal konsumtivisme yang tak tepat sasaran. Teknologi yang tepat masuk desa adalah teknologi terapan, bukan resapan yang membutuhkan permenungan intelektual tinggi. Iklan itu membujuk untuk membeli, bukan memanfaatkan. Akhirnya, banyak orang desa yang kaya membeli laptop. Namun, laptop itu dianggurkan termakan karat. Tidak digunakan.
(Dimuat Suara Merdeka, 26 Juli 2010)