Oleh Junaidi Abdul Munif
TULISAN M Abdullah Badri, “Kampus dan Traktat Demokrasi Tanpa Nurani” (Suara Merdeka, 13/11), menarik dari beberapa sudut pandang, tetapi menyesatkan dari sudut pandang lain. Dalam prolog tulisan, Badri menyebut ada diskusi bertema pendidikan. Namun berikutnya justru berkutat pada “kegeraman” terhadap sistem politik, demokrasi, dan demonstrasi.
Saya mengembalikan khittah dan berupaya menangkap tujuan utama tulisan itu. Titik pijak yang saya lihat dari tulisan Badri adalah seberapa jauh sistem politik dan demokrasi berpengaruh terhadap ranah kehidupan yang lain, termasuk pendidikan. Bukan rahasia lagi jika pendidikan masih jadi anak tiri kebijakan nasional. Anggaran yang belum sepenuhnya 20% dan ganti-ganti kurikulum jadi lahan basah para politikus. Jadi, apakah pendidikan melahirkan demokrasi amburadul atau demokrasi yang melahirkan kebijakan pendidikan yang ngawur?
Demokrasi di negeri ini lebih berkutat pada seremoni pergantian pemimpin. Masih berada di tataran demokrasi prosedural, yakni pemilihan umum. Demokrasi seperti itulah yang menelan banyak energi, material, dan keretakan simpul sosial. Aristoteles sebenarnya skeptis dengan demokrasi; sistem itu buruk, tetapi paling mungkin dilakukan. Sistem itu buruk karena didasari suara terbanyak. Asal mendapat banyak suara berarti telah sesuai dengan proses demokrasi.
Pendapat asal banyak belum tentu baik. Apalagi sekarang untuk mencapai asal banyak yang lebih berperan adalah bagaimana membangun pencitraan publik dan janji-janji gombal peserta demokrasi (pemilihan umum). Demokrasi berbasis pencitraan itulah yang membangun gurita kekuasaan dan kartel politik-pengusaha-media yang merampok aset negara dan mengkhianati amanat rakyat.
Badri secara eksplisit “menyalahkan” institusi kampus, yang mesti bertanggung jawab secara tak langsung atas hilangnya demokrasi berhati nurani. Kampus dihuni mahasiswa yang jahil murakkab society. Tentu saja jahil murakkab society tak lahir begitu saja, tetapi berjalin-berkelindan dengan lingkup sosial-politik-ekonomi-budaya yang mengitari kehidupan mahasiswa. Bukan kampus an sich yang memunculkan jahil murakkab society.
Jangan-jangan, dari jahil murakkab society-lah para politikus yang kini mengisi ruang politik dan pemerintahan lahir dan berkembang. Para politikus adalah mantan mahasiswa, mantan aktivis kampus yang tahu seluk-beluk intrik politik sejak jadi aktivis mahasiswa. Sering kita dengar, dalam “belajar demokrasi”, para politikus sebetulnya sudah melenyapkan nurani sejak mahasiswa. Demi menjadi ketua organisasi mahasiswa, cara-cara anarkis lazim mereka lakukan. Artinya, demokrasi membawa dosa bawaan amburadul sejak dari kampus.
Demokrasi dan Demonstrasi Dalam tulisan Badri, yang merupakan “resume” hasil diskusi dia dan kawan-kawannya, menyoroti bagaimana demokrasi hari ini hanya menciptakan “pelacur kekuasaan”. Aktor-aktor demokrasi dilahirkan dari rahim sejarah yang konsumtif, berpikir untung-rugi (materi), apatis terhadap nasib rakyat, paranoid dengan kritik, serta politikus loncat pagar.
Jika mengandaikan aktor demokrasi adalah pemimpin, berarti kita kehilangan figur pemimpin yang berkarakter, visioner, dan konfrontatif. Krisis kepemimpinan jadi kata kunci dalam silang-sengkarut demokrasi yang chaos ini.
Badri menyodorkan dua kata kunci: “revolusi politik” dan “kudeta kekuasaan”, meski hanya “alibi” karena pendapat itu adalah ide sang teman. Revolusi politik, kudeta kekuasaan, demo yang anarkis hanya cara untuk melakukan dan menuntut perubahan. Mau pakai revolusi, kudeta, demonstrasi masif-anarkis, jika hanya menghasilkan peralihan kepemimpinan, sama saja omong kosong. Sejarah akan tetap sama, aktornya saja yang berbeda. Itu yang terjadi sampai hari ini.
Jangan sampai seperti Soe Hok Gie, yang memilih hidup dalam keterasingan daripada menyerah pada kemunafikan. Terma “menyerah” bisa dicurigai hanya apologi, karena suksesi kepemimpinan dari Angkatan 66 sebetulnya tak memiliki figur berkarakter yang layak tampil jadi pemimpin. Sama dengan Angkatan 98 yang bisa menggulingkan Soeharto, tetapi belum siap dengan calon pemimpin yang lebih baik.
Dosa Pendidikan Dari dua contoh suksesi demonstrasi masif-anarkis Angkatan 66 dan 98 yang belum berhasil mengangkat pemimpin berkarakter, berarti sumbu dari silang-sengkarut politik-demokrasi-pendidikan yang amburadul itu adalah absennya misi melahirkan pemimpin berkarakter. Artinya, pendidikan jadi penanggung jawab utama trilogi krisis itu.
Sejak awal pendidikan kita tak pernah menyiapkan pemimpin berkarakter. Sejak SD sampai mahasiswa, sistem pendidikan dibuat untuk menciptakan alienasi subjektif, memisahkan potensi diri, berubah jadi robot yang dibentuk sistem. Anak-anak dikondisikan sebagai objek pendidikan dan kelinci percobaan sistem pendidikan yang terus berganti.
Anak-anak ditempatkan dalam kotak bernama lembaga pendidikan serta karung kurikulum yang membatasi ruang gerak kreatif-imajinatif peserta didik. Pada saat itu, anak yang menonjolkan subjektivitas (potensi diri) akan dianggap “siswa haram”, yang tak patuh pada kurikulum dan sistem klasikal.
Di sinilah sesungguhnya benih karakter itu dikebiri. Keberanian siswa ditumpulkan. Itu terbawa terus sampai ke bangku kuliah, tempat yang (sebetulnya) paling mungkin membawa manusia keluar dari zaman kegelapan ke zaman pencerahan. Para aktor politik berkedok demokrasi adalah generasi yang dilahirkan dari rezim pendidikan seperti itu.
Lantas, di mana peran kampus dalam menumbuhkan demokrasi yang berhati nurani? Kampus dan lembaga pendidikan lain adalah perumus, pelaku, dan aktor perubahan yang mengembalikan pendidikan ke roh yang asli, yakni institusi pendidikan yang merawat kemanusiaan agar lebih beradab. Pendidikan yang membebaskan dan menguatkan karakter kepemimpinan. Mahasiswa yang sadar atas kebobrokan itu tetapi tak berubah adalah mahasiswa yang lemah iman. (51)
Junaidi Abdul Munif, peneliti el-Wahid Center, Universitas Wahid Hasyim Semarang
(Dimuat Suara Merdeka, 27 November 2010)
TULISAN M Abdullah Badri, “Kampus dan Traktat Demokrasi Tanpa Nurani” (Suara Merdeka, 13/11), menarik dari beberapa sudut pandang, tetapi menyesatkan dari sudut pandang lain. Dalam prolog tulisan, Badri menyebut ada diskusi bertema pendidikan. Namun berikutnya justru berkutat pada “kegeraman” terhadap sistem politik, demokrasi, dan demonstrasi.
Saya mengembalikan khittah dan berupaya menangkap tujuan utama tulisan itu. Titik pijak yang saya lihat dari tulisan Badri adalah seberapa jauh sistem politik dan demokrasi berpengaruh terhadap ranah kehidupan yang lain, termasuk pendidikan. Bukan rahasia lagi jika pendidikan masih jadi anak tiri kebijakan nasional. Anggaran yang belum sepenuhnya 20% dan ganti-ganti kurikulum jadi lahan basah para politikus. Jadi, apakah pendidikan melahirkan demokrasi amburadul atau demokrasi yang melahirkan kebijakan pendidikan yang ngawur?
Demokrasi di negeri ini lebih berkutat pada seremoni pergantian pemimpin. Masih berada di tataran demokrasi prosedural, yakni pemilihan umum. Demokrasi seperti itulah yang menelan banyak energi, material, dan keretakan simpul sosial. Aristoteles sebenarnya skeptis dengan demokrasi; sistem itu buruk, tetapi paling mungkin dilakukan. Sistem itu buruk karena didasari suara terbanyak. Asal mendapat banyak suara berarti telah sesuai dengan proses demokrasi.
Pendapat asal banyak belum tentu baik. Apalagi sekarang untuk mencapai asal banyak yang lebih berperan adalah bagaimana membangun pencitraan publik dan janji-janji gombal peserta demokrasi (pemilihan umum). Demokrasi berbasis pencitraan itulah yang membangun gurita kekuasaan dan kartel politik-pengusaha-media yang merampok aset negara dan mengkhianati amanat rakyat.
Badri secara eksplisit “menyalahkan” institusi kampus, yang mesti bertanggung jawab secara tak langsung atas hilangnya demokrasi berhati nurani. Kampus dihuni mahasiswa yang jahil murakkab society. Tentu saja jahil murakkab society tak lahir begitu saja, tetapi berjalin-berkelindan dengan lingkup sosial-politik-ekonomi-budaya yang mengitari kehidupan mahasiswa. Bukan kampus an sich yang memunculkan jahil murakkab society.
Jangan-jangan, dari jahil murakkab society-lah para politikus yang kini mengisi ruang politik dan pemerintahan lahir dan berkembang. Para politikus adalah mantan mahasiswa, mantan aktivis kampus yang tahu seluk-beluk intrik politik sejak jadi aktivis mahasiswa. Sering kita dengar, dalam “belajar demokrasi”, para politikus sebetulnya sudah melenyapkan nurani sejak mahasiswa. Demi menjadi ketua organisasi mahasiswa, cara-cara anarkis lazim mereka lakukan. Artinya, demokrasi membawa dosa bawaan amburadul sejak dari kampus.
Demokrasi dan Demonstrasi Dalam tulisan Badri, yang merupakan “resume” hasil diskusi dia dan kawan-kawannya, menyoroti bagaimana demokrasi hari ini hanya menciptakan “pelacur kekuasaan”. Aktor-aktor demokrasi dilahirkan dari rahim sejarah yang konsumtif, berpikir untung-rugi (materi), apatis terhadap nasib rakyat, paranoid dengan kritik, serta politikus loncat pagar.
Jika mengandaikan aktor demokrasi adalah pemimpin, berarti kita kehilangan figur pemimpin yang berkarakter, visioner, dan konfrontatif. Krisis kepemimpinan jadi kata kunci dalam silang-sengkarut demokrasi yang chaos ini.
Badri menyodorkan dua kata kunci: “revolusi politik” dan “kudeta kekuasaan”, meski hanya “alibi” karena pendapat itu adalah ide sang teman. Revolusi politik, kudeta kekuasaan, demo yang anarkis hanya cara untuk melakukan dan menuntut perubahan. Mau pakai revolusi, kudeta, demonstrasi masif-anarkis, jika hanya menghasilkan peralihan kepemimpinan, sama saja omong kosong. Sejarah akan tetap sama, aktornya saja yang berbeda. Itu yang terjadi sampai hari ini.
Jangan sampai seperti Soe Hok Gie, yang memilih hidup dalam keterasingan daripada menyerah pada kemunafikan. Terma “menyerah” bisa dicurigai hanya apologi, karena suksesi kepemimpinan dari Angkatan 66 sebetulnya tak memiliki figur berkarakter yang layak tampil jadi pemimpin. Sama dengan Angkatan 98 yang bisa menggulingkan Soeharto, tetapi belum siap dengan calon pemimpin yang lebih baik.
Dosa Pendidikan Dari dua contoh suksesi demonstrasi masif-anarkis Angkatan 66 dan 98 yang belum berhasil mengangkat pemimpin berkarakter, berarti sumbu dari silang-sengkarut politik-demokrasi-pendidikan yang amburadul itu adalah absennya misi melahirkan pemimpin berkarakter. Artinya, pendidikan jadi penanggung jawab utama trilogi krisis itu.
Sejak awal pendidikan kita tak pernah menyiapkan pemimpin berkarakter. Sejak SD sampai mahasiswa, sistem pendidikan dibuat untuk menciptakan alienasi subjektif, memisahkan potensi diri, berubah jadi robot yang dibentuk sistem. Anak-anak dikondisikan sebagai objek pendidikan dan kelinci percobaan sistem pendidikan yang terus berganti.
Anak-anak ditempatkan dalam kotak bernama lembaga pendidikan serta karung kurikulum yang membatasi ruang gerak kreatif-imajinatif peserta didik. Pada saat itu, anak yang menonjolkan subjektivitas (potensi diri) akan dianggap “siswa haram”, yang tak patuh pada kurikulum dan sistem klasikal.
Di sinilah sesungguhnya benih karakter itu dikebiri. Keberanian siswa ditumpulkan. Itu terbawa terus sampai ke bangku kuliah, tempat yang (sebetulnya) paling mungkin membawa manusia keluar dari zaman kegelapan ke zaman pencerahan. Para aktor politik berkedok demokrasi adalah generasi yang dilahirkan dari rezim pendidikan seperti itu.
Lantas, di mana peran kampus dalam menumbuhkan demokrasi yang berhati nurani? Kampus dan lembaga pendidikan lain adalah perumus, pelaku, dan aktor perubahan yang mengembalikan pendidikan ke roh yang asli, yakni institusi pendidikan yang merawat kemanusiaan agar lebih beradab. Pendidikan yang membebaskan dan menguatkan karakter kepemimpinan. Mahasiswa yang sadar atas kebobrokan itu tetapi tak berubah adalah mahasiswa yang lemah iman. (51)
Junaidi Abdul Munif, peneliti el-Wahid Center, Universitas Wahid Hasyim Semarang
(Dimuat Suara Merdeka, 27 November 2010)