Oleh M ABDULLAH BADRI
Seorang kawan bercita-cita memiliki kediaman di sebuah perumahan ekslusif di kota. Pasalnya, ia ingin hidup tenang, jauh dari gunjingan tetangga, tak seperti yang dialaminya di desa; adanya kontrol sosial antar warga. Namun di sisi lain, kawan saya yang hidup di kota, justru merindukan sesuatu yang margin seperti di desa dulu. Ia ingin membajak sawah, bercengkerama dengan tetangga tiap sore, main bola beramai-ramai, hidup rukun-damai bersama warga dan kerinduan akan ketenangan lain yang tidak ditemui di kota. Saya yang hidup sementara di Kota Semarang, belum menetap, bingung menyimpulkan apa yang menjadi keinginan kedua kawan saya tersebut.
Satu hal yang pasti untuk mewakili kondisi psikologis kedua-nya: hasrat kedamaian hidup. Bercita-cita menjalani hidup tenang adalah keinginan wajar setiap orang. Namun jika pilihan tempat untuk menjalani hasrat hidup semacam itu berbeda, yang satu memilih di kota, yang lain menginginkan suasana desa, tentu menarik diperbincangkan.
Terjadinya urbanisasi dimulai dari banyaknya masyarakat desa yang melancong ke kota, untuk kepentingan ekonomi maupun politik, mengadu nasib. Karakter desa yang tidak memberikan lapangan pekerjaan memadai, ditambah keterbatasan akses informasi, membuat masyarakat desa hijrah ke kota. Harapannya, mereka akan mendapat jaminan hidup yang layak.
Dalam imaji, kota barangkali adalah “surga” kehidupan yang dipenuhi kebun-kebun impian hidup dan status sosial yang tinggi. Ruang pengembangan diri yang cenderung homogen di desa, membuat masyarakat desa bosan, hingga ingin mencari kehidupan lain yang lebih cair dan variatif seperti di kota. Terutama kaum muda. Kalau mereka hidup di desa selamanya, jelas tidak akan meraih harapan yang tinggi, padahal jalan sejarah mereka masih panjang. Ia ingin membentuk nasib dari kota. Akan menjadi kebanggaan seluruh warga desa manakala ia terbukti berhasil memperebutkan kesuksesan di kota.
Kalau orang desa melakukan safari ke kota didasari progresifitas hidup, mencari penghidupan yang lebih layak daripada di desa, maka orang kota yang menginginkan suasana seperti di desa adalah cerminan dari kepenatan menghadapi rutinitas kehidupan yang monoton. Karakter masyarakat kota yang rasional, hemat, efisien dan tepat waktu membuat hubungan berjalan secara profesional semata (Soerjono Soekanto: 2003). Hubungan secara pribadi kurang terjalin secara intens. Itu karena pembagian kerja di kota memang terpisah secara tegas. Pergaulan hanya terjadi dalam lingkungan yang terbatas berbasis kepentingan bersama, hobi dan kesamaan visi, small group. Para guru lebih banyak bergaul dalam komunitas guru. Demikian pula mahasiswa, arsitek, model, wartawan, pebisnis, pegawai, pecinta motor gede (moge), karyawan serta profesi lainnya yang menghabiskan sebagian besar waktu.
Hampir tidak ada waktu bagi masyarakat kota untuk melakukan sosialisasi dengan tetangga sebelah rumah. Pergi pagi, pulang malam. Kesibukan setiap hari membuat mereka tidak dapat menggantungkan hidup kepada orang lain. Ibaratnya, mereka seperti kepompong yang hanya ingin menghidupi diri sendiri, melajang, merasakan kesepian. Bukan masalah tidak mengenal akrab tetangga atau terlambat menikah, asal sukses dalam pekerjaan. Karena tidak saling mengenal, maka tidak terjadi kontak, apalagi pergunjingan. Cuek.
Sebagai Lembah dan Limbah
Ketika kondisi tersebut berlangsung selama bertahun-tahun, tentu yang kemudian terjadi adalah terjangkitnya virus fragmentasi hidup. Meski masyarakat kota secara materi bisa dikatakan mapan, namun lama-kelamaan mereka tercerabut dari ketersambungan akar keluarga dan sosial. Terlalu sibuk, urusan keluarga terbaikan, bahkan untuk mengurusi anak, didatangkan baby sister. Dan untuk mendapatkan tambahan pengetahuan anak, dihadirkan guru les. Karena tidak memiliki teman bermain di rumah, sang anak berkawan dengan benda mati yang tidak bisa memberikan pengalaman bersosialisasi, menonton tv dan bermain game.
Individualisme adalah akibat selanjutnya. Komunikasi antar keluarga saja kurang, apalagi dengan masyarakat. Tampak kemudian tiga karakter yang membahayakan, yakni hurried (gegas), humourless (gersang) dan hostile (ganas). Makanya, meskipun di kota tersedia segala fasilitas, mudah mengakses sumber kehidupan, namun angka perceraian, pemerkosaan, pembunuhan, aborsi, bunuh diri dan kriminalitas lainnya meningkat tajam.
Betul, kota kemudian menjadi lembah pertarungan nasib orang desa sekaligus menjadi limbah manusia-manusia yang membutuhkan cinta. Dikala masyarakat desa ingin mencari kesembuhan nasib hidup, pada waktu bersamaan, masyarakat kota dalam pencarian jati diri sebagai makhluk sosial, yang sedang dilanda kehancuran struktur persaudaraan. Penyakit yang diderita bukan lagi penyakit jantung, stroke dan paru-paru, namun depresi, kecemasan akut, sinisme serta kekerasan yang terus mendera, mendiaspora.
Prinsipnya, hidup di kota maupun di desa tidak jauh berbeda. Hanya sikap kita saja yang membuatnya tidak sama. Bolehlah berkeinginan memiliki harta banyak, tahta yang tinggi dan wanita yang mulia. Itu memang ukuran kesuksesan. Namun jangan sampai hasrat tersebut membuat kita terbuang dari hakikat kemanusiaan. Kedamaian dan ketenangan hidup tidak akan ditemukan di luar diri, namun di dalam jiwa, hati.
(Dimuat Radar Surabaya, 16 Januari 2011)
Seorang kawan bercita-cita memiliki kediaman di sebuah perumahan ekslusif di kota. Pasalnya, ia ingin hidup tenang, jauh dari gunjingan tetangga, tak seperti yang dialaminya di desa; adanya kontrol sosial antar warga. Namun di sisi lain, kawan saya yang hidup di kota, justru merindukan sesuatu yang margin seperti di desa dulu. Ia ingin membajak sawah, bercengkerama dengan tetangga tiap sore, main bola beramai-ramai, hidup rukun-damai bersama warga dan kerinduan akan ketenangan lain yang tidak ditemui di kota. Saya yang hidup sementara di Kota Semarang, belum menetap, bingung menyimpulkan apa yang menjadi keinginan kedua kawan saya tersebut.
Satu hal yang pasti untuk mewakili kondisi psikologis kedua-nya: hasrat kedamaian hidup. Bercita-cita menjalani hidup tenang adalah keinginan wajar setiap orang. Namun jika pilihan tempat untuk menjalani hasrat hidup semacam itu berbeda, yang satu memilih di kota, yang lain menginginkan suasana desa, tentu menarik diperbincangkan.
Terjadinya urbanisasi dimulai dari banyaknya masyarakat desa yang melancong ke kota, untuk kepentingan ekonomi maupun politik, mengadu nasib. Karakter desa yang tidak memberikan lapangan pekerjaan memadai, ditambah keterbatasan akses informasi, membuat masyarakat desa hijrah ke kota. Harapannya, mereka akan mendapat jaminan hidup yang layak.
Dalam imaji, kota barangkali adalah “surga” kehidupan yang dipenuhi kebun-kebun impian hidup dan status sosial yang tinggi. Ruang pengembangan diri yang cenderung homogen di desa, membuat masyarakat desa bosan, hingga ingin mencari kehidupan lain yang lebih cair dan variatif seperti di kota. Terutama kaum muda. Kalau mereka hidup di desa selamanya, jelas tidak akan meraih harapan yang tinggi, padahal jalan sejarah mereka masih panjang. Ia ingin membentuk nasib dari kota. Akan menjadi kebanggaan seluruh warga desa manakala ia terbukti berhasil memperebutkan kesuksesan di kota.
Kalau orang desa melakukan safari ke kota didasari progresifitas hidup, mencari penghidupan yang lebih layak daripada di desa, maka orang kota yang menginginkan suasana seperti di desa adalah cerminan dari kepenatan menghadapi rutinitas kehidupan yang monoton. Karakter masyarakat kota yang rasional, hemat, efisien dan tepat waktu membuat hubungan berjalan secara profesional semata (Soerjono Soekanto: 2003). Hubungan secara pribadi kurang terjalin secara intens. Itu karena pembagian kerja di kota memang terpisah secara tegas. Pergaulan hanya terjadi dalam lingkungan yang terbatas berbasis kepentingan bersama, hobi dan kesamaan visi, small group. Para guru lebih banyak bergaul dalam komunitas guru. Demikian pula mahasiswa, arsitek, model, wartawan, pebisnis, pegawai, pecinta motor gede (moge), karyawan serta profesi lainnya yang menghabiskan sebagian besar waktu.
Hampir tidak ada waktu bagi masyarakat kota untuk melakukan sosialisasi dengan tetangga sebelah rumah. Pergi pagi, pulang malam. Kesibukan setiap hari membuat mereka tidak dapat menggantungkan hidup kepada orang lain. Ibaratnya, mereka seperti kepompong yang hanya ingin menghidupi diri sendiri, melajang, merasakan kesepian. Bukan masalah tidak mengenal akrab tetangga atau terlambat menikah, asal sukses dalam pekerjaan. Karena tidak saling mengenal, maka tidak terjadi kontak, apalagi pergunjingan. Cuek.
Sebagai Lembah dan Limbah
Ketika kondisi tersebut berlangsung selama bertahun-tahun, tentu yang kemudian terjadi adalah terjangkitnya virus fragmentasi hidup. Meski masyarakat kota secara materi bisa dikatakan mapan, namun lama-kelamaan mereka tercerabut dari ketersambungan akar keluarga dan sosial. Terlalu sibuk, urusan keluarga terbaikan, bahkan untuk mengurusi anak, didatangkan baby sister. Dan untuk mendapatkan tambahan pengetahuan anak, dihadirkan guru les. Karena tidak memiliki teman bermain di rumah, sang anak berkawan dengan benda mati yang tidak bisa memberikan pengalaman bersosialisasi, menonton tv dan bermain game.
Individualisme adalah akibat selanjutnya. Komunikasi antar keluarga saja kurang, apalagi dengan masyarakat. Tampak kemudian tiga karakter yang membahayakan, yakni hurried (gegas), humourless (gersang) dan hostile (ganas). Makanya, meskipun di kota tersedia segala fasilitas, mudah mengakses sumber kehidupan, namun angka perceraian, pemerkosaan, pembunuhan, aborsi, bunuh diri dan kriminalitas lainnya meningkat tajam.
Betul, kota kemudian menjadi lembah pertarungan nasib orang desa sekaligus menjadi limbah manusia-manusia yang membutuhkan cinta. Dikala masyarakat desa ingin mencari kesembuhan nasib hidup, pada waktu bersamaan, masyarakat kota dalam pencarian jati diri sebagai makhluk sosial, yang sedang dilanda kehancuran struktur persaudaraan. Penyakit yang diderita bukan lagi penyakit jantung, stroke dan paru-paru, namun depresi, kecemasan akut, sinisme serta kekerasan yang terus mendera, mendiaspora.
Prinsipnya, hidup di kota maupun di desa tidak jauh berbeda. Hanya sikap kita saja yang membuatnya tidak sama. Bolehlah berkeinginan memiliki harta banyak, tahta yang tinggi dan wanita yang mulia. Itu memang ukuran kesuksesan. Namun jangan sampai hasrat tersebut membuat kita terbuang dari hakikat kemanusiaan. Kedamaian dan ketenangan hidup tidak akan ditemukan di luar diri, namun di dalam jiwa, hati.
(Dimuat Radar Surabaya, 16 Januari 2011)