Oleh M Abdullah Badri
BEBERAPA waktu lalu geger di media massa soal adanya dua sekolah swasta berbasis agama di Karanganyar yang sebagian pihaknya tak mau menghormat kepada bendera merah putih karena dianggap syirik dalam labirin keyakinan agama mereka. Dua lembaga pendidikan yang dimaksud belakangan ini adalah SD IST Al Bani di Kecamatan Metesih dan AMP Al-Irsyad di Kecamatan Tawangmangun. Jika ditelisik, dua nama sekolah itu agaknya memang berasal dari komunitas Islamis yang fundamental dan ekslusif. Islam jadi kurikulum yang lebih utama daripada paham persatuan berbasis kebangsaan.
Walaupun pihak sekolah menyatakan tragedi "tiada hormat" kepada sang saka merah putih itu bukan aturan lembaga, melainkan hanya melibatkan individu yang memiliki keyakinan ekslusif, namun bagi khalayak, hal itu cukup dikata merisaukan. Bagaimana mungkin sekolah yang berdiri di wilayah NKRI justru gurunya menanamkan bibit-bibit pemahaman kepada anak didiknya agar tidak lagi menghormati lambang negara. Wajarlah bila hal itu memicu pihak pemerintah setempat berkehendak menutup izin operasi pendidikannya.
Bendera merah putih hanyalah lambang negara. Dia bukan bagian dari kemusyrikan kalau saja setiap kita sebagai warga negara menghormatinya. Pengertian musyrik secara ideologis dilarang karena aktivitasnya, dalam epistemologi agama, cenderung menyekutukan keberadaan Tuhan. Karena itulah, seorang muslim dianggap musyrik kalau dia, misalnya, menyembah kepada benda-benda yang dianggap memiliki daya pengaruh hidupnya sehingga menganggap keberadaan Tuhan seakan tidak ada.
Dari sini, kita harus membedakan antara menyembah (ya’budu) dengan menghormati (yahrumu). Menyembah adalah aktivitas ketundukan manusia utuh kepada sesuatu, benda atau Tuhan. Sehingga, ada ritual khusus yang digunakan untuk menunjukkan bahwa seseorang itu menyatakan diri sebagai budaknya, yaitu beribadah. Dalam menyembah, di dalamnya, mengandung unsur ibadah dan ketundukan secara personal. (Al-Munawir, 2002: 887)
Sementara, menghormati semata sebuah kegiatan yang menjadikan kita memiliki batas-batas personal untuk tidak melakukan sesuatu yang dilarang. Menghormati, yang dalam bahasa Arab berasal dari kata kerja haruma, makna asalnya adalah "menghalangi", yakni menghalau seseorang agar tidak melakukan perbuatan yang merugikan. Sebagai tamsil, kita diwajibkan menghormati orang tua, guru, Nabi, dan orang-orang yang berjasa terhadap kehidupan kita, itu bukan dalam rangka menyembahnya, namun dalam kerangka agar kita tidak berbuat seenaknya kepada mereka, yang kita hormati. (Ibid, 257).
Orang yang tidak hormat diidentifikasi sebagai yang tidak punya sopan santun, semau gue, sa-udele dewe. Karena itulah, ketika kata hormatilah gurumu, bapakmu, ibumu, itu lebih dekat kepada normalitas daripada anarkhi dan radikalisme posesif. Pengertian ini memang bersifat etis karena dalam hidup etikalah yang membuat seseorang bermartabat dan bermoral. Dengan begitu, sampai di sini saja dapat disebut bahwa menghormati bendera merah putih, bukan musyrik, malah justru sebuah etiket baik menunjukkan rasa hormat kepada negara, tempat dimana kita tinggal dengan segala aturan, hak dan kewajiban.
Menyoal Keyakinan
Faktor keyakinan yang menjadi landasan dasar penolakan penghormatan bendera Indonesia dari dua sekolah di Karanganyar itu semakin tidak menemukan relevansinya kalau mereka sepakat bahwa mencintai negara adalah bagian daripada iman. Nabi Muhammad SAW dalam sebuah hadits menyatakan hubbul wathan minal iman (cinta kepada negara adalah bagian dari iman). Salah satu cara tekstual warga negara dalam menunjukkan kecintaannya kepada negara adalah dengan menghormat kepada lambangnya, benderanya, merah putih.
Meski bukan merupakan aturan internal sekolah, aktivitas "membangkang" tersebut tetap meresahkan. Sebab, peserta didik yang setiap hari diajak berinteraksi, bukan tidak mungkin akan dicekoki dengan pemikiran-pemikiran personal yang tidak bertanggungjawab itu. Sifat keyakinan selalu ekspansif dan maunya dimenangkan. Justru ketika kegiatan anti hormat kepada bendera merah putih tidak dimasukkan dalam peraturan lembaga, akan berjalan secara kultural, masuk ke alam sadar peserta didik yang masih labil.
Saya sering mendengar kegelisahan para penceramah agama di podium-podium kecil di masyarakat ihwal adanya beberapa sekolah yang mengatasnamakan Islam untuk merekrut generasi tanpa kesadaran berbangsa dan bernegara. Padahal sejak sebelum berdirinya negara kesatuan Repulik Indonesia, merah putih adalah perlambang yang digunakan untuk menggerakkan massa menuju kemerdekaan.
Demi atas nama persatuan, sembilan kata dalam Piagam Jakarta dihapuskan. Umat Islam yang ketika itu diwakili Wahid Hasyim sepakat menghapus Piagam Jakarta karena itu merupakan solusi terbaik untuk kemaslahatan bersama bernama persatuan. Wahid Hasyim memilih lebih mencintai negara daripada agama, karena hal itu bukan perkara musyrik. Mengapa? Mencintai negara dan menghormati lambangnya adalah bagian daripada iman. [badriologi.com]
(Dimuat Harian Analisa Medan, Sabtu, 2 Juli 2011)