Andai Saja Pak Budi Sampang Adalah Guru di Madrasah TBS Kudus -->
Cari Judul Esai

Advertisement

Andai Saja Pak Budi Sampang Adalah Guru di Madrasah TBS Kudus

M Abdullah Badri
Jumat, 09 Februari 2018
Flashdisk Ebook Islami

Jual Kacamata Minus
Saat ujian di TBS, siswa pernah ditutup mukanya hanya karena ingin menjaga tanggungjawab moral menjawab soal.
Waktu saya masih di MTs TBS, kelas dihadapkan semua arahnya ke kiblat. Ini mengikuti adab mencari ilmu dalam kitab Ta'lim Muta'allim (kitab wajib di TBS). Posisi guru selalu menghadap ke murid yang ada di sebelah Timur. Guru menghadap Timur, murid sedeku-khusyuk menghadap guru yang ada di Barat, kiblat.

Oleh M Abdullah Badri

PAK Budi yang meninggal setelah dipukul siswanya di Sampang itu, membuat saya ingat waktu masih ngaji di madrasah TBS Kudus. Walau semua anak didik madrasah TBS laki-laki semua, jotosan antara guru dan siswa, sulit terjadi.

Mengapa? Semua guru di TBS dipanggil kiai oleh siswanya. Guru Matematika, Bahasa Inggris, Fisika, Kimia, Biologi, dipanggil "yi" oleh siswanya. Ketemu di sekolah, ya tetap cium tangan.

Apalagi guru yang mengajar Tauhid, Tasawuf, Fiqih, Tafsir, Hadits, Usul Fiqih, Nahwu, Shorof, Badi', Ma'ani, Bayan, Mantiq, Musthalah Hadits, Arudl, Falak, Qira'ah Sab'ah, Imla', I'lal, Fashalatan, Aswaja, dan lainnya, habis ngajar di kelas, siswa pada gantian salim cium tangan usai ngajar, sebelum keluar kelas.

Bayangkan, waktu salim kadang sampai 10 menitan karena per kelas (ketika saya masih ngaji di sana 1997-2005), jumlah muridnya mencapai 40-an.

Ini tradisi, tidak ada yang memerintah dan tidak pula jadi poin ukuran keberhasilan anak belajar di TBS. Tidak juga ada aturan wajibnya murid cium tangan guru usai ngajar. Semuanya alami.

Saking sudah jadi tradisi, ada guru yang menolak dikasi sun tangan oleh anak-anak TBS. Habis wallahu a'lam ngasahi kitab kuning di kelas atau ngajar matematika, ada guru yang langsung plencing wassalamu'alaikum, keluar kelas, menghindari ta'dzimnya murid cium tangan secara berantai, bergantian.

Kadang ada murid yang "nakal" meloncat untuk kejar guru yang sudah di luar kelas. Masih direbut barokahnya. Ya terpaksa harus dibiarkan. Namanya murid cari berkah tidak perlu dihalangi. Cium tangan dianggap nyembah oleh golongan sebelah itu bagi saya adalah sontoloyo. Lha wong tidak ada perintah nyembah kok.

Waktu saya masih di MTs TBS, kelas dihadapkan semua arahnya ke kiblat. Ini mengikuti adab mencari ilmu dalam kitab Ta'lim Muta'allim (kitab wajib di TBS). Posisi guru selalu menghadap ke murid yang ada di sebelah Timur. Guru menghadap Timur, murid sedeku-khusyuk menghadap guru yang ada di Barat, kiblat.

Kalau pintu masuk kelas ada di Barat, guru bisa langsung keluar usai ngajar. Masalahnya, jika pintu kelas ada di Timur, usai ngajar, guru harus melewati bangku-bangku murid. Saat inilah, guru dan kiai yang ngajar di TBS Kudus tidak bisa mengelak dari rebutan ciuman tangan santri-santri TBS.

Begitu melewati deretan meja belajar santri, tangan-tangan santri akan nyerobot sun tangan kiai yang usai ngajar. Kecuali kiai yang ngajar itu sudah dawuh, "jangan salim," semua akan tenang, membiarkan kiai berlalu, pindah mengajar ke kelas lain.

Saat ujian tiba pun, kesan guru-guru pengawas dari sekolah lain sungguh terasa wow. Banyak guru sekolah lain mendadak dapat gelar "yi" dari semua murid TBS yang ikut ujian. Dicium tangannya pula. Kebetulan tidak ada guru pengawas perempuan yang dijatahkan ke TBS. Repot kalau diciumin.

Jika kultur ini ditiru sekolah lain, semua dipanggil dengan "kiai", dan dicium tangan habis ngajar, insyaallah tidak ada mahkluk berposisi murid yang "membunuh" gurunya.

Kaligrafi bagian terpenting olah seni di Madrasah TBS Kudus
Ta'dzim Alumni
Dan, uniknya, banyak teman-teman saya yang alumni TBS masih merasakan dirinya bagian dari TBS.

"Elek-eleko ngene aku tahu ngaji ning TBS," ujar alumnus yang pernah jadi ketua preman di Kota Semarang, yang dulu ketika di kelas sering minta duit 100 rupiah hampir tiap hari, untuk ngudud (merokok di warung sebelah).

Ada yang jadi bos judi, tapi pas diminta sumbang untuk acara alumni, ngomongnya begini:

"Ini untuk acara yang tidak akan dikasikan ke masyayikh TBS kan? Ini duit panas, jangan untuk dikasi ke kiai, saya alumni TBS ngerti hukum," jawaban itu membuat saya ngakak sekaligus terharu.

Senakal-nakalnya alumni TBS, mereka masih peduli alamamater dan tahu adab. Sejauh-jauhnya mereka keluar dari arena santri, mereka masih ingat petuah kiainya di madrasah.

Mereka malu bertemu, mungkin iya. Tapi itu bagian daripada iman. Al haya' minal iman (malu bagian daripada iman). Malu tidak mengikuti dawuh masyayikh TBS, suatu saat, mereka insyaallah kembali. Karena mereka pernah memanggilnya dengan sebutan "yi" dan sering cium tangan.

Itu kontrol. Dan banyak alumni, sebab ada ikatan alumni, mereka kembali. Paling tidak sumbangsih materi dan pikirannya.

Teman saya yang jadi masinis kereta api, sering pula menanyakan kabar IKSAB (Ikatan Siswa Abiturien Madrasah TBS).

Alfatihah ila hadrati Kiai Iskandar Dinata (guru Fisika saya di MA TBS)! Ila ruhi Pak Kiai Budi, Sampang (korban kekerasan siswa), al Fatihah! [badriologi.com]

Sumber: Abdalla Badri
Flashdisk Ribuan Kitab PDF

close
Iklan Flashdisk Gus Baha