Foto: hanya ilustrasi. Sumber: Google images. |
Waktu itu, sebutan Kiai Said sebagai Syiah, dan jargon "Syiah Bukan Islam", masih menggema. Tidak seperti sekarang, yang mulai redup karena dana Aliansi Nasional Anti Syiah yang katanya sudah dikurangi big bos hingga 10 persen.
KALI ini juga terkait dengan pecinta FPI. Kalau mencitai saja, it's no problem. Masalahnya, cinta itu kemudian kena kerasukan kerakusan membenci kiai dan NU. Summun (tuli), bukmun (bisu), umyun (buta), betul-betul saya rasakan dari sosok yang saya kasi inisial HB di tulisan ini.
Beberapa tahun lalu sebelum pulang kampung, dia adalah teman satu institute. Dalam satu grup yang dibuat oleh mahasiswa filsafat, saya sering terpaksa adu tanding argumen. Bukan bengkerengan yah pasnya. Karena saya hanya merespon, bukan buat masalah dulu.
Waktu itu, sebutan Kiai Said sebagai Syiah, dan jargon "Syiah Bukan Islam", masih menggema. Tidak seperti sekarang, yang mulai redup karena dana Aliansi Nasional Anti Syiah yang katanya sudah dikurangi big bos hingga 10 persen.
Debat kusir terpaksa saja laksanakan di grup karena dia tidak pernah memberikan argumen yang rasional kecuali sabda-sabda luhur caci-maki yang dianggapnya halal jika diluncurkan ke tokoh NU macam kiai Said.
Karena saya kebetulan pernah dapat tugas makalah "Ma Huwas Syi'ah wa Madzahibiha", saya beranikan diri menantang dia tentang syiah dan radikalisme yang dikagumi olehnya. Teman-teman BEM beberapa saya hubungi, untuk menyelenggarakan debat terbuka, hanya antara saya dan beliaunya.
Maksud saya supaya ada kegiatan di BEM juga, walau masalahnya ecek-ecek juga sih. BEM ada yang siap tapi saya diminta nembusi beliaunya yang konon masih punya marga yang saya hormati.
Kebetulan pas di depan Dekanat, saya bertemu. Bi idznillah, saya bisa salaman. Padahal disebutnya saya kafir murokkab karena tidak sepaham. Hahaha.
Tapi apa yang terjadi, lha kok malah njungkur sungkem kayak saya pas balal (badhan halal bi halal) ke bapak dan ibu waktu lebaran.
"Maaf ustadz saya minta maaf, saya tidak berani. Ilmu ana masih sedikit," katanya berpose tawadlu', taslim murokkab.
Loh, loh, saya kemarin disebut kafir kok sekarang dianggap ustadz ini yang betul pilih mana. "Apa-apaan?" Batin saya. Tapi hanya nyengir, sambil telpon BEM, "ra sido, ndoro ne ra kober jarene/ gak jadi mas, tuan nya tidak sempat katanya," ungkapku, menyelamatkan dirinya.
Sejak itu, saya tidak melayani komentar, debat kusir, atau lainnya, di grup Facebook tersebut. Akun Facebooknya juga sudah tidak bisa saya buka. Keblokir atau diblokir, i don't know.
Lama tak bertemu. Bertahun-tahun tak menyapa. Tapi sejak 2015 mengelola media counter tanding untuk mengatasi orang-orang suka tanding semacam dia, ada kabar dia keciduk Banser karena terus melancarkan serangan penghinaan kepada NU dan kiai.
Kini, katanya, dia mengaku tobat tidak lagi melakukan apa yang pernah dia lakukan secara sepihak. Dan, media saya mendokumentasikan saat dia merengek minta maaf.
Allah yarhamkum pastinya, bib! Salam ta'dzim. Berbeda boleh, tapi saya tetap nyedulur asal tidak kepada yang khianat. Antum ikhwan fillah, bib! [badriologi.com]