NU dan Generasi yang Diburu Informasi -->
Cari Judul Esai

Advertisement

NU dan Generasi yang Diburu Informasi

M Abdullah Badri
Minggu, 23 September 2018
Flashdisk Ebook Islami

Jual Kacamata Minus
Saat diskusi Ngahad Legi di Gedung MWC Kedung, Bugel, Jepara, Sabtu (22/09/2018) malam.
Oleh M Abdullah Badri

AWALNYA tema ngopi dan diskusi yang dimulai pukul 20.35 WIB tadi malam (Sabtu, 22/09/2018) adalah “Ilusi Negara Islam”. Namun makin larut dan makin senyap suara motor, pembahasan kelompok ngopi kader-kader muda NU MWC Kedung itu kian dalam membincang ihwal tantangan NU terhadap generasi milenial.

Saking massifnya pembahasan di luar tema utama, informasi adanya kiai sepuh pengurus MWC di Jepara yang terang-terangan kampanye khilafah di forum resmi NU pun akhirnya tertutup kabut. 10 orang yang terlibat diskusi, termasuk Kang Makmun dan Lek Sabiq pun, alpa tak memburu nama oknum tersebut ke saya hingga pulang sekitar jam 00.10 WIB. Dhadha! Hahaha.

Saya menyebut mereka yang terlibat dalam diskusi rutin tiap Ahad Legi itu sebagai pemburu ngaji, yang haus informasi terkini soal harakah an-nahdliyyah. Meskipun sepuh-sepuh, saya bisa mengategorikan semangat mereka dalam spirit generasi Instagram, yang dikenal kurang akrab dengan Facebook, Twitter, tapi punya harapan kuat meluapkan ekspresi menjadi “Youtuber” (dari kata You to Be/engkau mau jadi apa).

Itulah yang akhirnya jadi bahasan utama di luar tema “Ilusi Negara Tuhan”. Ya, mereka ternyata lebih tertarik mengurai, antara lain tentang;

  1. Bagaimana agar NU bisa dekat dengan generasi milenial yang rata-rata tujuh jam hidupnya ada di layar datar smartphone tiap hari?
  2. Apa langkah untuk menghadapi generasi yang punya logika pikir di luar rezim old (tua) sehingga mereka punya profesi yang belum diakui oleh NPWP, laiknya Youtuber, Webmaster, Blogger, Selebgram, Selebtwet, BO Owner, Trader dan lainnya?  
  3. Bagaimana pula merajut generasi A (Alfa; lahir sudah masuk abad 21) yang sejak lahir sudah kadung menghirup informasi hoax dan provokasi soal ke-NU-an dan ke-Aswaja-an serta tafsir Al-Qur’an yang diselewengkan seperti tertulis dalam Buku Struktur Negara Khilafah terbitan HTI?

Generasi Z (lahir pertengahan 1990-an hingga pertengahan 2000-an), yang merupakan  anak dari Generasi Milenial atau Gen Y (paling tua sekarang berumur 37 tahun, termuda usianya 23 tahun) adalah kelompok generasi manusia yang hidup dalam style pop culture dimana perang ideologi seperti teriakan “takbir” dan “shollu alan nabi” di pengadilan negeri saat sidang, tidak begitu menarik perhatian mereka.

Generasi ini sudah akrab dengan teknologi sehingga pernah memesan makanan, jasa antar-jemput, jasa pijat, jasa bersih-bersih rumah, tiket nonton di bioskop, bahkan mengisi pulsa, cuma sejauh satu klik saja (Data dari tirto.id).

Cara beragama Generasi Z lebih banyak ditentukan oleh apa yang mereka baca dan mereka tonton di dunia maya, yang kata Lek Sabiq, bisa lebih terasa nyata daripada dunia nyata sesungguhnya.

Mereka ini diburu informasi via gadget, tapi filterisasi ideologisnya belum rampung. Ya karena memang mereka tidak hidup di zaman perang ideologi sebagaimana era Nazi di Jerman saat gelut gagasan dan kekuasaan dengan Komunisme Uni Soviet, yang juga tengkar dengan Ideologi Kapitalisme, yang berperang pula dengan Pas Islamisme zaman masih ada bom-boman perang dunia I dan II (Disebut Generasi Baby Boomers; lahir 1946-1964).

Mereka juga tidak bakal ngerti kalau di dunia ini ada varian sistem kekuasaan berbentuk republik, federal, monarkhi, kekaisaran, persemakmuran, kesultanan, dan wilayatul faqih, yang semua itu tidak dipedulikan oleh kapitalisme ekonomi global. Asal untung, sistem kerajaan pun dibiarkan. Jika rugi, pakai sistem demokrasi pun akan diperangi laiknya tragedi perang ngawur di Irak, Afganistan dan Syuriah.

Tantangan Generasi Z


Generasi Z juga banyak yang tidak paham faktor dimunculkannya negara illegal berlabel kalimat tauhid (dengan khat kufi tidak rapi), yang di Timur Tengah sana dibuat untuk menyulut konflik dengan benturan murah berbasis contra ideologi agama, misalnya sunni divesuskan syiah, kafir dilawankan mukmin, yahudi diadudomba dengan muslim, bid’ah dibenturkan dengan sunnah, dan lain-lain.

Karena terputusnya informasi sejarah oleh generasi yang sudah kadung diburu informasi itulah, Kang Makmun menyebut Generasi Z dan juga Generasi Alfa ini sebagai kelompok yang nge-jumping dikala menyerap banjir informasi yang datang tak terbendung. Mereka lebih percaya apa yang mereka baca daripada apa yang mereka rasa.

Iklim diskusi di kalangan mereka pun justru tidak kondusif, dengan wujud ungkapan umpatan, caci maki dan bahasa kasar, mengingat pengaruh usia yang labil, kaget dapat barang baru, tidak suka berumit ria menggunakan logika jernih berpikir, dan masa bodoh dengan pihak lain yang tidak bisa memberikan informasi bernuansa hipnosis wow keren alamaaa’, laiknya ustadz-ustadz yang menggunakan jargon “Anda Islam?” begitu.

Untuk membuat wow keren mereka inilah, NU dimanapun sepertinya kelihatan repot. NU bagi generasi Instagram ini terlihat usang dan kurang menantang karena melulu disuguhi heroisme “ya lal wathon” daripada syiar ubudiyah harian ala ustadz anyaran yang suka derap lagu “hidup mulia atau mati syahid”. Akhirnya, NU dianggap mereka sok menjaga NKRI.

Padahal mereka lebih tertarik dengan nuansa “amar ma’ruf nahi mungkar” dengan praktik yang sempurna tanpa cela sejak dari pemakaian sempurna yang nyunnah ala jenggot, celana cingkrang dan penggilan akhi-ukhti (ideologis), yang secara hipnosis lebih terlihat islami dan kekinian oleh muslim "terdidik" urban kota.      

Dibanding HTI, NU bagi mereka dianggap tidak punya tujuan. Bagi saya, NU memang didirikan tanpa tujuan duniawi. Sejak lahir precet, generasi bayi di NU tidak diajari bermusuhan dengan misalnya, mengharamkan baca doa di telinga anak yang baru lahir, mitoni, mapati, puputan, tahlilan dan lain sebagainya.

Beda dengan itu, generasi ormas berideologi sebelah yang suka teriak kopar-kapir itu sejak lahir orang tuanya sudah menganggap bid’ah doa anak baru lahir, apalagi soal mauludan, tahlilan, manaqiban, ziarah, tawassul, dkk. Semua itu dimusuhi sejak lahir precet jadi manusia. Makanya mereka pintar memainkan drama perang ideologi “loe kafir, gua muslim”.

Ngajak gelut orang NU memerangi kelompok sithik-sithik bid’ah dan sunnah tapi sithik-sithik itu sulitnya di sini. Sejak lahir Generasi Y, X, Z hingga A, dididik rukun dengan alam yang bahkan kala belum lahir sudah dikenalkan lewat tradisi menyambut kelahiran bayi.

Makanya, ngajak pengurus NU untuk gelut dengan mereka yang sejak dari gen lahirnya punya jiwa rusuh, susahnya minta ampun kuadrat. Bisa-bisa ditinggal udud dan ngopi di warung sebelah.  

Padahal, generasi gadget jelas aneh. Meski mereka tidak suka berpikir logis ihwal gerakan ideologi, dan nyaman dengan gaya hidup sesuai trending topic (pop culture), mereka ini tak sungkan misuh jika ada hal berbau NU dikampanyekan, walau sebatas di dunia maya, yang baginya bisa dianggap lebih nyata dari krupuk jengkol di hadapan mata. Ingat kan contoh penghina Gus Mus dengan sebutan “Ndasmu” dulu? Ya begitu contoh nir-adabnya.  

Karena itulah, pada diskusi malam itu muncul usulan membentuk tokoh iconic generasi gadget NU hingga pelatihan-pelatihan bertajuk alay (anak lebay) macam “hijrah” (walau mereka salah tafsir), “jilboob” (meski minhum ngawur karena tak tahu konteks), dan ekonomi kreatif (akhirnya keluar produk-produk kapitalis yang dibalut dengan “juang agama”, contoh label 212).

Hal itu memang sangat dibutuhkan generasi yang diburu informasi itu lebih tertarik agenda instan walau miskin konteks, tak bervisi, cenderung merusak adab, menggerus tradisi dan kultur peradaban Islam Nusantara. Mereka tidak mudah diajak diskusi ke belakang soal sejarah, misalnya:

  1. Tahun 60-an HT pernah terlibat pemberontakan di Jordania.
  2. Tahun 70-an HT pernah terlibat pemberontakan di Tunisia.
  3. HT juga pernah terlibat pemberontakan di Mesir.

Gara-gara noda sejarah tersebut, HT dilarang di negara-negara Timur Tengah sampai saat ini. Solusinya, HT menyembunyikan diri di banyak negara dengan sistem taqiyah, mengembangkan diri dengan sistem sel, yang tiba-tiba bergerak, tiba-tiba ada, tiba-tiba besar dan tiba-tiba saja memberontak tanpa terdeteksi.

Bahasa Mbah Kiai Ubaidillah Noor Umar (Syuriah PCNU Jepara), taqiyah itu artinya ngumpet pas masih kecil, merunduk-runduk agar bisa diterima, tapi begitu besar, dia ngethaki (njitak) kepada yang sudah memberinya ruang, NU misalnya. Dan taqiyah ini tidak hanya ada di Syiah, tapi juga di wahabi tahriri dan wahabi jihadis.

Menjelaskan sejarah di atas kepada Generasi Y, Z dan A, yang hidup di zaman tanpa perang ideologi jelas sulitnya minta ampun. Sejarah reformasi 1998 saja buta dan tuli, apalagi sejarah tentang adanya Agama Kapitayan di Jawa Tempoe Doeloe dan Tarekat Malmatiyah serta Akmaliyah, yang sejak dari lakunya sengaja melepaskan atribut keislaman semisal sorban dan shalat di hadapan manusia lain.

Ini belum lagi menjelaskan gerakan trans-nasional Islam yang sudah ada sel gerakannya di Indonesia, semisal Hizbut Tahrir, Ikhwanul Muslimin, Wahabisme Global dan juga (saya tambah), Jamaah Tabligh, dengan corak dan bentuk gerakan yang berbeda di masing-masing negara. Semua gerakan trans-nasional ini pernah mendapat label sebagai penghianat dan pemberontak pemerintahan yang sah.

Lha kok ada Kiai NU tingkat MWC di Jepara yang mengampanyekan gerakan tersebut di forum resmi ke-NU-an, dan atas nama pengurus NU, kan ya kepiye yaw? Diajak ngopi forum Ngahad Leginan ra sopan. Dijelaske, kuatir dianggap su’ul adab. Ya nunggu diburu informasi saja beliaunya. Biar bisa memfilter sendiri.

Kan beliau Generasi Boomers, yang menangi -ini bahasa Indonesianya apa, sih?- zaman perang ideologi tanpa diburu informasi seperti saat ini. [badriologi.com]
Flashdisk Ribuan Kitab PDF

close
Iklan Flashdisk Gus Baha