Sempak Bendera Saudi, Dimana Tauhid HTI? -->
Cari Judul Esai

Advertisement

Sempak Bendera Saudi, Dimana Tauhid HTI?

M Abdullah Badri
Rabu, 24 Oktober 2018
Flashdisk Ebook Islami

Jual Kacamata Minus

Oleh M Abdullah Badri

SEBAGAI objek, kalimat tauhid itu dasein (ditemukan dalam kondisi bebas atas dirinya, befindlichkeit). Mendadak kalimat tauhid itu punya beban ketika dimasukkan dalam sejarah barunya sebagai simbol negara atau ormas tertentu. Ia tidak lagi autentik sebagai kalimat tauhid an sich karena sudah terpengaruh/dipengaruhi lingkungan dan situasi kesadaran penafsirnya. Bendera dengan kalimat tauhid itu dikontrol kemudian oleh penafsirnya, HTI wa akhowatuha: Saudi Arabia, ISIS dan Al-Qaida.   

Gambaran mudahnya begini. Sebagai simbol agama Islam, makna kalimat tauhid jelas terkontak langsung dengan eksistensi Yang Sakral, yakni ekspresi bahasa atas pengakuan kita (umat Islam) kepada ke-Esaan Allah Subhanahu wa ta’ala dan kerasulan Nabi Muhammad shallahu alaihi wa sallam.

Selain itu, kalimat tauhid dalam posisinya sebagai objek itu pun sangat netral, berdiri sendiri, bebas atas dirinya sendiri. Niat awalnya adalah untuk mengenalkan umat Islam seluruhnya bahwa dalam galaksi kosmologis ini ada Allah SWT Sang Pencipta, dikenalkan bahasanya oleh Rasululah SAW via Malaikat Jibril alaihis salam dalam hadits tentang iman.

Di simpang peradaban Islam, kalimat tauhid itu bergerak membangun lingkaran hermenutika (metode interpretasi) makna ketika ada subjek yang mencipta sebuah arti politis dan pemahaman atasnya. Terutama ketika kalimat tauhid diupload jadi simbol bendera. Saat inilah mulai “ada pikiran penafsir” yang diarahkan kepada objek kalimat tauhid itu, yang sungguh sangat dimuliakan oleh umat Islam seluruh dunia sampai kiamat.

Nah, saat ditafsir oleh pikiran penafsir inilah kalimat yang disebut thoyyibah tersebut akhirnya bisa dibaca dengan dua makna, yakni makna rohani dan makna historis. Ia tidak lagi bebas dari niatan awal yang sakral, sebagaimana saat dikenalakan pertama oleh Rasulullah, sehingga ia tidak lagi autentik, apalagi bebas motif ketika disentuh sang penafsir, sang pengguna bendera tauhid itu.

Makna rohani kalimat tauhid itu, sebagaimana ahli kalam dan aqidah menyebutkan adalah “la ma’buda bihaqqin illa Allah/tidak ada yang benar-benar berhak disembah kecuali Gusti Allah”. Bila ada yang lain ikut disembah, tidak ada hak kebenaran atasnya. Begitulah maghza dan makna tauhid bagi umat Islam.

Sedangkan makna historisnya sebagai bendera, kita bisa membedakan, se-siapa sajang yang sedang memakai kalimat tersebut? Saudi Arabia-kah? Al-Qaida, ISIS atau HTI? Masing-masing maknanya bisa beda; nasionalisme (Saudi), radikalisme global (Al-Qaida), terorisme (ISIS), dan makar khilafah (HTI), meski harus diakui makna rohani bendera mereka sama: tauhid. Makna historis inilah yang saya sebut “tidak lagi autentik”. Yang autentik adalah makan rohani di atas, menurut umat Islam dan saya.

Kesadaran yang Anarkhis
Beban historis kalimat tauhid muncul kian tebal dan berkabut kala dominasi kesadaran umat Islam dalam memahami teks kalimat thoyyibah itu sebatas makna rohani-nya saja. Lahirlah kekacauan atas kesadaran anarkhis di kalangan umat Islam.

Misalnya, hanya karena mengkritik HTI, muncul anarkhisme bahasa: “loe Islam, hormati bendera ini, bukan yang itu”, “loe kafir jika bakar bendera ini, karena ini bendera Islam”, dan bahasa-bahasa lain yang membentuk kesadaran afirmatif diri, “aku adalah penerima perintah Tuhan, kamu setan, karena kamu membenci kalimat tauhid dan membakarnya”.

Duh Gusti, mengapa kalimat anarkhis itu jadi seperti otoriter? Mengapa di kalimat tauhid yang biasa diucapkan oleh Nahdliyyin saat tahlilan rutin jadi ngeri ketika ada dan ditafsir oleh mereka. Seolah-olah ada penafsir yang berkerja aktif memasarkan tafsir “kamu kafir jika bakar bendera ini”.
Ini mengingatkan saya soal hukum rekonstruksi ala Betti (Reza A.A Wattimena, 2018). Menurutnya, makna bukanlah diambil dari kesimpulan melainkan harus diturunkan oleh penafsirnya (sensus non est inferendus sed efferendus), dan sifatnya instruktif, memerintah, “mari jihad menegakkan khilafah dengan panji-panji bendera ini, jika tidak, kamu memusuhi Islam!”. Apa-apaan ini? Otoriter banget cara main makna anak-anak eks ormas terlarang itu?

Saya sebut otoriter karena para pendukung bendera tauhid sebagai bendera Islam –utamanya dari kalangan santri NU kemin-kemin itu, - sering taqlid buta, tidak paham sejarah didirikannya bangsa Indonesia. Harusnya, mereka aktif membangun kesadaran bahwa ada pesan jahat (baca: makar ideologis) dalam simbol mulia HTI yang berusaha dikampanyekan selama ini. Ada pesan mulia juga dalam simbol bendera merah-putih Republik Indonesia. 

Mereka yang otoriter ini (taqlid picek), dalam kajian Budaya Populer, hanya mengikuti isu pasar yang homogen massal sedang terjadi (nge-trend), tersebar massif (shareable), tapi juga duratif (hanya sementara saja) karena tidak punya misi kesadaran atas nama kesatuan dan keutuhan-kedaulatan NKRI. 

Karena mengikuti arus budaya pop soal bendera tauhid sebagai bendera Islam, mereka mengalami kesulitan “memilih yang terbaik berdasarkan rasio”, yang oleh Khaled M. Abou El-Fadl disebut sebagai “yang otoritatif”, bukan “otoriter”. Otoriter itu dalam tauhid hanya sifat yang dimiliki Allah (Al-Mutakabbir). Dimana tauhid HTI jika mereka sudah otoriter sejak dari benderanya? Sudah mengambil alih sifat Allah?

Marah Karena Bendera?


Dus, ketika kalimat tauhid jadi bendera, ia sudah mengalami gerak sentrifugal (dinamis), yakni gerak yang mengikuti perkembangan pemanfaatan siapa dan punya kehendak atas apa ia memanfaatkannya?

Saudi Arabia misalnya, punya gerak dan kehendak memanfaatkan kalimat thoyyibah jadi bendera. Ya monggo mawon. Namun artinya, di sini makna hadits Nabi “ma huwal iman? An taqula la ila ha illa Allah” jadi tersingkir dan membungkam dirinya sendiri.

Niat awal kalimat tauhid sebagai ekspresi bahasa atas pengakuan yang sakral (bersaksi keberadaan dan ke-Esa-an Allah), terdistorsi jadi sebatas ekspresi kebanggaan-kebangsaan Saudi Arabia, khas dengan background warna hijau dan dua bilah pedangnya.

Inilah yang dalam bahasa hermeneutika-nya Paul Rocouer disebut sebagai “yang terbakukan dalam bahasa” (linguiscally fixed expression). Bahasa tauhid dibekukan jadi sebatas bahasa simbolik kebangsaan. Di sini, makna rohani kalimat tauhid tersungkur pula jadinya.

Makna tauhid dalam mitos simbolik bendera Saudi Arabia kian tersamar dan tidak lagi dipentingkan. Ditaruh pada sempak perempuan pun tidak masalah. Apalagi cuma dijadikan mereka sepatu. Dimana kalimat thoyyibahnya? Ya samar, bahkan hilang. Ia sudah tergantikan dengan bendera sebagai kebanggaan bangsa Saudi Arabia, walau visi misi nasionalisme nya saya yakin terinspirasi dari kalimat tauhid tersebut.  

Jika Anda marah karena fenomena sempak ber-merk bendera Saudi Arabia dipakai perempuan seksi dan ia Anda anggap menghina kemuliaan kalimat tauhid, maka Anda sedang tertipu kesadaran palsu. Cogito marah (kesadaran, aku berada sedang marah) Anda ini akan ditertawakan oleh Sigmund Freud. Filosuf Psikoanalisa itu bisa menuduh Anda sebagai manusia yang sedang mengalami “kesadaran yang keliru”.

Kelirunya karena Anda menganggapnya bukan sebagai bendera, tapi sebagai kalimat thoyyibah. Realitasnya bendera, tapi kesadaran Anda masih pada realitas kalimat tauhid. Anda terjebak dokumen pemahaman di kepala bahwa kalimat itu harus dihormati tanpa melihat atas nama apa kalimat itu dipakai, atas nama Allah atau atas nama nasionalisme negara Arab monarkhi itu?

Dokumen kesadaran Anda tentang realitas kalimat tauhid, dalam psikoanalisa Freudian, baru tersusun dari kesadaran primitif (yang telah lama dan membekas) tentang tauhid saja, bahwa kalimat itu harus dijunjung tinggi karena kemuliaanya. Padahal, realitasnya sudah berubah, kalimat itu sudah masuk ke alam kesadaran lain, kadung jadi bendera Saudi Arabia. Keliru jelas kan kalau kesadaran Anda tidak beranjak ke bendera di bikini?   

Ngaji tah ngaji, kesadaran primitif itu bakal menghasilkan pemahaman semu berbasis mitos yang ilusif (contoh: itu bendera tauhid bung, milik umat Islam, bukan Saudi, Al-Qaida, ISIS apalagi HTI). Padahal bendera bertulis tauhid itu sudah membatasi dirinya sebagai simbol yang bisa ditafsirkan macam-macam oleh pembaca, kita semua, dan mereka, yang membuatnya.

Buktinya, meski sama-sama bertuliskan kalimat tauhid, bendera yang tercipta atas kalimat itu bisa macam-macam jenis hurufnya serta pilihan warna background-nya. Ada yang berwarna hitam, putih, hijau, merah, dan lainnya. Kaligrafi khat nya pun variatif, ISIS pakai khat Kufi lama, Saudi Arabia pakai khat Thulutsi baru ditambah dua pedangnya. Al-Qaida pakai khat Thulutsi yang tidak lebih rapi dari benderanya HTI di Indonesia.

Adanya macam-macam bentuk bendera tauhid itu karena menurut Hussrel, terjadi intensi kesadaran atas masing-masing aktor pencipta bendera yang makin menebal sehingga terakumulasi jadi intensi kehendak, sesuai motif masing-masing, nasionalisme, radikalisme, terorisme atau khilafah dan lainnya.

Dalam Hermenutika Fenomenologi-nya Paul Rocuoeur, fenomena macam-macam bendera yang terakumulasi intensif jadi kehendak kolektif itu karena kalimat bendera tauhid adalah simbol yang bisa diinvasi dengan banyak tafsir, simbol ekuivokal namanya.

Benderanya ekuivocal, tapi kalimat tauhidnya univocal (satu makna), meski kalimat tauhid sendiri bukanlah makna tunggal seturut kerja sistem logika yang matematis. Jika Anda masih menyebut bendera berkalimat tauhid sebagai bendera Islam, sejak kapan hak patennya dipublikasi? Sejak sempak bikini bendera tauhid dijual di Amazon? Haduh-haduh. [badriologi.com]

M Abdullah Badri, founder Komunitas Marka Bangsa
Flashdisk Ribuan Kitab PDF

close
Iklan Flashdisk Gus Baha