Majalah Soeara TBS 1938 dan Buku yang Menuduh TBS Kompromi Belanda |
KETIKA mendapati naskah kuno Soeara TBS, Madjallah
Kwartalan (empat bulanan) terbitan Madrasah Tasywiquth Thullab Salafiyah (TBS) edisi
II tahun 1938 (Djoemadil Achir 1357 H/Augustus 1938 M), saya tertarik
membacanya sejak dari tagline, konten, iklan dan korespondensi redaksi dengan
pegiat pers lain.
Meski hanya
24 halaman, isinya sangat kaya. Jika ada buku sejarah tentang madrasah di Kudus
yang menyebut bahwa nama lama Madrasah TBS sekarang adalah Tasywiquth Thullab
Balai Tengahan School, maka, via majalah yang di-Hoofd Redacteuren-i oleh Tamjiz Choedlory Toeraican itu, saya
bisa mengoreksi. Di halaman 17 Soeara TBS edisi itu, jelas tertulis diterbitkan
oleh Tasjwiqoetthoellab
School (pakai ejaan lama dari van Ophuysen), bukan Tasywiquth Thullab Balai Tengahan School
(ejaan ala EYD yang baru berlaku tahun 1972).
Oleh salah
satu penulis buku Satu Abad Qudsiyyah: Jejak Kiprah Santri Menara,
sematan nama School dianggap kompromi dengan Belanda. Padahal, banyak kelompok pergerakan
apapun ketika itu, -silakan baca buku Zaman Bergerak (Takashi Siraishi),- yang menggunakan nama
dengan bahasa Belanda. PBNU sendiri ketika itu menggunakan kepanjangan Hoofdbestuur
Nahdlatoel Oelama (Manajemen Pusat Nahdlatul Ulama). Apakah bisa lagsung
disebut kompromi dengan Belanda? Lalu, dimana sejarah Resolusi Jihad-nya KH
Hasyim Asy’ari kalau NU disebut kompromi hanya karena pakai istilah Belanda?
Dengan
fakta itu saja, tuduhan bahwa TBS adalah institusi yang kompromi dengan Belanda
hanya karena ada sematan kata “School”-nya, terbantahkan sendiri. Apalagi di
Soeara TBS itu saya membaca lekat ada kedekatan masyayikh TBS dengan NU
struktural, karena di sana ada
artikel Qurban Nahdlatoel
Oelama di serta iklan Almanak (kalender) Nahdlatoel Oelama dari H. A. Djalil yang dijual
dengan harga 22,5 Ct, dan disubsidi hingga 20 persen jika akan dijual lagi (agen).
Konten
majalah itu pun secara berani dan tegas memuat artikel dari kontributor penulis
berinisial S. N. Smg, yang terang menyebut tanah Hindia sebagai Indonesia.
Judul tulisannya Bhoedisme dan Islamisme Indonesia (hlm. 21). Sangat
inklusif sekali bukan judul itu? Penasaran?
Ah, soal
konten majalah, saya bahas lain judul saja. Dalam artikel ini, saya fokus
membahas tagline majalahnya dulu, yang sangat menarik diulas menurut saya.
Tagline yang Kritis
Tidak seperti
tagline situs online Santrimenara.com yang deskriptif; Aswaja Pagar Nusantara. Tagline Soeara
TBS saya sebut bernafas kontemplatif dan berdaya kritis. Majalah yang Mede Redacteur (Co-editor)-nya
adalah H. A. Djalil tersebut, mengambil tagline dari surat Al-Baqarah ayat 269:
وَمَا يَذَّكَّرُ إِلَّا أُولُو الْأَلْبَابِ
Artinya:
“Dan hanya orang-orang yang ber-akal-lah yang dapat
mengambil pelajaran (dari firman Allah)” (QS. Al-Baqarah:
269).
Tagline itu,
setelah ditambahi satu kata, tulisan lengkapnya jadi begini:
وَمَا يَذَّكَّرُ إِلَّا أُولُو الْأَلْبَابِ تَبْصِرَةً
Tagline menggabungkan konsep tabshirah (dari QS. Qof: 8), dengan
konsep tadzkirah/tadzakkur (dari QS. Al-Baqarah: 269, Ali-Imron: 8, QS.
Al-Ghofir: 13, dan Ar-Ra'd: 19), yang dalam tafsir Al-Dlo’ul Munir sangat
berkaitan erat cara kerja intelektualnya dengan konsep tafakkur.
Tadzakkur itu posisinya di atas tafakkur. Karena tafakkur
sifatnya thalab (pencarian), sementara tadzakkur itu wujud (ada). Maksudnya, tadzakkur merupakan proses penemuan
setelah proses tafakur (berpikir) sudah dilalui. Mengapa? Karena hasil
berpikir yang sudah pernah kita lalui di masa lalu akan hilang jika diterpa
lupa, dan melalui tadzakkur lah, ingatan itu akan mudah dikembalikan,
ditemukan dan kemudian bisa diperoleh lagi sebagai properti intelektual kita, sang
pencari.
Karena
itulah, tadzakkur (dalam arti memanggil ingatan terlupa) adalah kebalikan dari melawan lupa (an-nisyan). Kita yang
berhasil memanggil ingatan terlupa akan merasakan gambaran objek yang sedang
kita ingat dan lalu dengan
mudahnya kita bisa memasukkannya
ke dalam memori
untuk diendapkan jadi properti intelektual.
Begitulah
kerja tadzakkur di tengah kerasnya kita ketika sedang ber-tafakkur. (hlm. 244). Seyikh
Ibnul Qayyim, penulis tafsir
tersebut menyimpulkan
bahwa tadzakkur yang dilakukan pasca tafakkur itu adalah
aktivitas intelektual dalam rangka menemukan sesuatu yang dicari setelah adanya taftisy (investigasi
detail). Ingat, taftisy. (hlm. 245).
Makna Tabshirah dan Tadzkirah
Jika tabshirah
adalah alatul bashar (alat
melihat), maka tadzkirah merupakan alatudz dzikri (sarana untuk mengingat). Bagi orang yang mendalami hakikat kebenaran
ilmu pengetahuan atau yang
hati-hati ketika menerima informasi, dua hal itu, -antara tabshirah dan tadzkirah,- akan
dilakukan secara berbarengan.
Ibnul Qoyyim menyebut orang ini sebagai ahlul inabah (yang selalu
kembali “tobat” kepada
Allah). Ahli inabah, yang kembali kepada Allah, selalu diberi anugerah
bisa melihat kebesaran, pesan dan kesan atas kekuasaan Allah subhanahu wa ta'ala, baik
yang tersirat maupun tersurat. Bagi
ahli inabah ini, tadzkirah tidak akan lengkap tanpa tabshirah.
Dengan tabshirah,
ahli inabah
pasti kembali menemukan format jelas apa yang ia cari setelah melalui
episode lupa dan melalui pengendapan ulang, akhirnya bisa tertanam ke dalam hatinya, memorinya. Dengan tabshirah, yang ia adalah tahapan ketiga setelah tadzakkur dan tafakkur, kebenaran akan mudah didapatkan secara hakiki. Paling tidak, dengan tabshirah,
kebenaran lebih dekat dengan hakikat kenyataannya sesungguhnya.
Dari
sinilah saya mulai paham mengapa tagline Soeara TBS itu mengambil dari
Al-Qur'an, menggabungkan konsep bashirah dan tadzkirah
pasca tafakkur. Masyayikh
TBS zaman itu benar-benar melek banget (bashirah) atas posisi sebuah
informasi yang dipublikasi dan diterima. Dalam konsep bashirah, ada
daya. Dalam tagline tersebut, daya itu saya sebut sebagai daya kontemplatif
(pendalaman), kritis (karena ada nafas mencari kebenaran kabar), mengingatkan (tanbih)
dan juga memberi nasihat (yanshah) kepada pembuat informasi agar terus berhati-hati.
Dan, tagline dahsyat itu juga memberi kabar sekaligus
perintah kepada para pembaca, bahwa sebuah informasi itu harus dilihat dengan
mata batin dan hati yang jernih (tabshirah-tadzkirah) mengingat sifat
kabar atau informasi sejak dari sononya (meski dimuat media) sudah mengandung
dua kemungkinan; benar dan salah. Bahasa Ilmu Manthiq menyebutnya sebagai
"yahtamilus shiqqa wal kadzib".
Orang yang memakai bashirah dalam menyerap informasi tak
akan jatuh terkutuk dalam kecerobohan. Akalnya akan digunakan untuk menggali
kebenaran informasi. Hatinya digunakan untuk melihat fakta secara natural
(bebas motif) dan menuangkan opini dengan jernih (tanpa tendensi). Itulah yang
dalam bunyi ayat selanjutnya disebut sebagai “Ulul Albab” (yang punya
akal).
Adanya tuduhan TBS tempoe doeloe kompromi kepada Belanda,
dalam tulisan berbasis sejarah madrasah tapi tidak menyejarah itu (karena tiada
klarifikasi), bagi saya, sudah terjatuh dalam kecerobohan. Bashirahnya perlu
dipertanyakan. Sejarah itu bukan kesepakatan. Sejarah (tarikh) adalah hasil
galian fakta masa lalu. Bersepakat adalah aktivitas musyawarah, sementara tarikh
punya ghoyah mem-bashirahkan fakta.
Oke. Cukup sini dulu yah. Besok-besok lanjut bahas konten
heroik Madjallah Soeara TBS, iklannya, lalu korespondensi redaksinya. Saya
harus masuk ke Zaman gejolak Sumpah Pemuda Arab 1936 dulu, karena Madjallah
yang diterbitkan oleh Pergoeroean TBS Koedoes (dulu belum disebut madrasah) berdekatan
dengan masa itu.
Lokasi Sumpah Pemuda dari Wulaiti (keturunan-peranakan) Arab-Indo
Hadrami itu juga lumayan dekat, Semarang. Saya membayangkan ada yang kirim saya
edisi Soeara TBS tahun-tahun sebelumnya, seperti majalah Oetoesan Nahdlatoel
Ulama yang terbit perdana 1926. Barangkali malah jadi seru kalau ada penemuan korespondensi
kedua majalah jadul tersebut. [badriologi.com]