Di ruang tunggu, sahabat Ansor Jepara siap beraudiensi dengan Kapolres Jepara, Selasa (22/08/2018) |
Oleh M Abdullah Badri
DALAM acara bertajuk audiensi antara Ansor dan Al-Husna yang rencananya mengundang Ustadz Abdul Somad (selanjutnya disebut UAS saja) pada 1 September 2018 di Mayong, Jepara, saya yang kebetulan diminta ikut hadir oleh Ketua PC Ansor Jepara Sahabat Syamsul Anwar ke Mako Polres Jepara, bersama 8 sahabat Ansor lainnya pada Selasa siang (21/08/2018), sempat mengutarakan soal besarnya pengaruh "idu geni" sosok populer UAS yang dalam kajian Culture Studies disebut "idol" (Jawa: braholo).
DALAM acara bertajuk audiensi antara Ansor dan Al-Husna yang rencananya mengundang Ustadz Abdul Somad (selanjutnya disebut UAS saja) pada 1 September 2018 di Mayong, Jepara, saya yang kebetulan diminta ikut hadir oleh Ketua PC Ansor Jepara Sahabat Syamsul Anwar ke Mako Polres Jepara, bersama 8 sahabat Ansor lainnya pada Selasa siang (21/08/2018), sempat mengutarakan soal besarnya pengaruh "idu geni" sosok populer UAS yang dalam kajian Culture Studies disebut "idol" (Jawa: braholo).
Hal itu saya utarakan setelah Sahabat Syamsul membacakan
secara langsung pernyataan tertulis sikap Ansor Jepara terkait kedatangan UAS.
Saya diberi giliran
mengutarakan pendapat setelah Sahabat Zainuddin mengutarakan pendapatnya terlebih dahulu.
Selanjutnya, saya ulas pendapat saya saja karena kuatir salah tafsir atas
pendapat sahabat Ansor lainnya.
Di depan yang terhormat Kapolres Jepara AKBP Yudianto Adhi
Nugroho, pertama-tama saya menekankan pentingnya audiensi pada siang hari itu
mengingat UAS adalah sosok yang jadi "idol" sebagai ustadz,
yang saat itu saya maknai sebagai "yang menuntun" dari kata kosa kata
Arab is-ta-da (penuntun ‘jalan’), meskipun saya tahu, kata itu adalah serapan
dari Bahasa Persia bermakna: pengajar, yang di pondok pesantren hanya diganti
dengan panggilan "kang" atau "pak guru".
Nah, sebagai sosok ustadz, UAS saya sebut bukan seorang
intelektual yang membawa ide-ide baru yang mencerahkan. Sebagaimana ustadz pada
umumnya, UAS menurut saya bukan ulama yang memiliki kapasitas istinbath hukum. Dia pandai mengutarakan pendapat
dengan gaya penceramah pop, memang iya, tapi acapkali mengucapkan kalimat atau
hal-hal lain yang bahkan bertentangan dengan ajaran ahlussunnah waljamaah
atau bahkan bertentangan dengan ideologi kebangsaan (wathaniyah) yang wasthiyah
(moderat), sebagaimana yang diperjuangkan oleh Nahdlatul Ulama (NU).
Sahabat Kusdiyanto, Sekjend PC GP Ansor Jepara sempat
menyebutkan terma PBNU di forum tersebut, yang diberi kepanjangan olehnya dengan (P)ancasila,
(B)hinneka Tunggal Ika, (N)KRI dan (U)UD 1945.
Dalam terma PBNU itulah, UAS dianggap banyak pihak bermasalah.
Bahkan lebih jauh, UAS terbukti naik level hingga dianggap sebagai penceramah
provokatif ketika ngece sosok personal yang dia ungkapkan dalam agenda publik; ceramah.
Sebagai "idol", apa yang keluar dari kalimat UAS jelas potensial sekali diserap
sebagai sebuah kebenaran.
Ini yang saya tekankan dalam forum audiensi Ansor Jepara di ruang Kapolres
tersebut.
Saya sempat menyebut track record UAS dalam beberapa ceramahnya. Sudah
saya siapkan dalam file Google Drive tapi tidak jadi dipakai karena
suasana tidak mengarah kepada klarifikasi konten ceramah. Beberapa catatan UAS yang saya utarakan di depan
Kapolres Jepara dan Kasatintel Jepara, yang kemudian direkam video oleh pihak Humas Polres, antara lain:
- Pernah menggunjing PBNU bahwa rujukan NU yang menurutnya benar adalah Luthfi Bashori, Buya Yahya dan Idrus Romli (tokoh NU Garis Lurus). Dia tidak menyebut agar warga NU merujuk Ketum KH Said Aqil Siraj, Habib Luthfi, Mbah Moen atau KH Ma'ruf Amin. Padahal, NU Garis Lurus hanyalah wadah digital pengumpul provokasi terhadap PBNU dan banyak terbukti hoax-nya. Dan, sekarang situsnya sudah tumbang. Page Facebooknya juga runtuh.
- Pernah menfitnah salah satu Syuriah PBNU, KH Ishomuddin (Lampung), sebagai orang yang ngaku-ngaku bergelar doktor dan dihina oleh UAS pula dengan sebutan "haji ola ulun". Komentar UAS sempat viral dan akhirnya terbukti bahwa Kiai Ishomuddin tidak pernah mengaku sebagai doktor karena memang belum bergelar doktor. Artinya, ucapan UAS soal Kiai Ishomuddin adalah hoax dan provokasi. Minim informasi tapi berani mengeluarkan statement.
- Karakter mudah mengeluarkan statement walau minim informasi juga pernah membuat UAS harus berurusan dengan mahasiswa alumni Syiria ketika ia menyebut konflik di negeri Bahsar Al-Ashad, -yang disebut UAS manusia terlaknat itu,- sebagai konflik Sunni-Syiah. UAS yang diminta klarifikasi oleh alumni Syiria pun bungkam.
- Yang paling fenomenal adalah tuduhan UAS kepada Kanjeng Nabi Muhammad yang dianggapnya tidak bisa mewujudkan Islam rahmatan lil alamin sebelum diutus menjadi Nabi. Dan akhirnya dia menyimpulkan, tanpa khilafah, Kanjeng Nabi tidak bisa menjadi utusan yang rahmatan lil alamin.
- Untuk soal khilafah, UAS adalah tokoh kontroversial di luar struktur kepengurusan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) yang berani mengajak kepada masyarakat luas dalam sebuah ceramah di Riau tahun 2013 agar anak-anak muda berbaiat kepada khilafah. Yang tidak baiat mati jahiliyyah.
- Saya juga sempat mengutarakan kontroversi UAS soal halal-nya bom bunuh diri dengan mengutip dawuh Syeikh Al-Albani (tokoh terkemuka wahabi Saudi). Namun dibantah oleh Ali Musri, dosen STDI Jember. Tidak sempat saya sebut nama Ali Musri di forum itu. Lupa. Dalam bantahan tersebut (ada videonya di file drive), UAS terbukti sangat minim pengetahuan dan asal comot.
- Mengharamkan Peringatan Hari Ibu hanya dengan dalil tasyabbuh, yang jelas-jelas tidak sesuai dengan tafsir dan fakta di lapangan. Pasalnya, Hari Ibu disebut UAS adalah tradisi kafir Barat.
Saya tidak sampai membahas detail kontroversi UAS lainnya di
forum, misalnya cara dia menggunakan sosok artis sebagai bahan bercandaan yang
kelewat sekali kalimat ejekannya:
Rina Rose. Lalu soal pendapat
UAS tentang terorisme yang menurutnya hanya untuk mencitrakan buruk umat Islam.
Saya juga belum mengungkapkan pula bagaimana penerimaan warga Nahdliyyin dan
elite serta tokoh NU yang selama ini merasa dirugikan akibat "idu geni"
sosok "idol" alumni Cairo Mesir dan Maroko tersebut.
Ironisnya,
UAS selalu tidak merasa terdhalimi jika karena track record-nya itu ditolak di
beberapa daerah. UAS pun tidak pernah mencabut semua ucapan kontroversialnya.
Dia merasa benar dan pandai bedalih. Misal, soal khilafah, dia tidak mau
disalahkan karena apa yang dia ucapkan tidak diprotes oleh pejabat atau polisi
yang hadir di forum dia ceramah.
Sebagai ASN
dosen, UAS juga terlibat kampanye politik praktis bersama Jenderal Gatot. Dan
anehnya, ia tetap aman. Mengutuk “setan bisu” kepada polisi dan hakim
pengadilan (dalam kasus Ahok) saja dia aman. Why?
Menyatukan
Tapi Riskan Pecah Belah
Bukti-bukti ceramah kontroversial itulah yang melahirkan
pendapat saya pribadi kalau UAS adalah tokoh yang potensial bisa memecah belah
tapi tidak punya strategi untuk menyatukan mengingat dia tidak di-backup
oleh ormas besar semacam NU atau Muhammadiyah. Sejak 2017, UAS adalah Ketua
Ormas Jamiyyatul Washliyyah Provinsi Riau, yang menjabat hingga 2022.
"Idu geni" sebagai "idol" tanpa ide-ide
sebagai intelektual itulah yang agaknya menjadikan beberapa orang mengundang
UAS, hanya karena dia populer sejak dari Youtube hingga dijuluki ustadz sejuta viewers.
Ustadz Mudhofar yang disebut anggota Polres di ruangan itu sebagai Ketua Jamaah Tabligh (JT)
Provinsi Jawa Tengah pun ikut memanfaatkan
popularitas "sang idol" demi menarik perhatian warga dan umat Islam di Jepara.
Saya pribadi mengutarakan keberatan atas kedatangan UAS
karena selain unsur pemecah belah di atas, saya meyakini (tentu atas dasar
fakta-fakta sebelumnya) bahwa UAS adalah tokoh berpaham Aswaja (minus an-Nahdliyyah)
yang tidak pernah tegas menarik garis demarkasi dengan kelompok Islam yang
selama ini terbukti meresahkan masyarakat dan polisi, semisal Front Pembela
Islam (FPI) dan HTI.
Ini mengingatkan saya pada sejarah JT, yang pernah
dimanfaatkan oposisi Pakistan tahun 1995 untuk melakukan pemberontakan
horizontal menentang pemerintahan yang sah (silakan cari artikel Mantan Wakil
Ketua BIN, As'ad Ali). Meskipun orang lain menyebut JT sebagai jamaah
sufi-aswaja transnasional yang lahir dari India, dan sifatnya apolitis, tapi
karena mereka tidak tegas menarik garis dengan kalangan radikal Islam, akhirnya
terpapar pula oleh paham dan gerakan politik kudeta.
Sama halnya dengan UAS. Niat baiknya untuk ceramah yang
tanpa balutan misi ideologis, apalagi harakah jam'iyyah laiknya NU dan
Muhammadiyah, ia pun akhirnya mudah dimanfaatkan oleh oknum dan kelompok
tertentu untuk kepentingan pribadi maupun politik gerakan.
Karena itulah UAS terlihat seperti "idol" di semua
golongan. Diundang HTI, dia ngomong dukung khilafah islamiyah. Diundang NU, ia
bicara amaliyah aswaja. Diundang JT, dengan mudahnya dia menyetujui
gerakannya. Diundang hadir kelompok "hijrah" bicaranya ya
harus tampak nyunnah, dan
tak mungkin bicara amaliyah aswaja. Diundang Pemuda Pancasila (PP),
ngomongnya tentang Soekarnoisme.
Tidak
berlebihan jika saya menyebut UAS itu artis, laiknya Nissa Sabyan Gambus. Dalam
studi kultural dan kapitalisme, artis diciptakan untuk membantu siapa saja yang
butuh dikenalkan produknya karena artis adalah pesohor yang memiliki
“kebenaran” dan “keindahan” sendiri. Keindahan (art –jadi artis) tidak
membutuhkan energi intelektual berlebih. Asal popular, semua bisa memakai.
Inginnya menyatukan, tapi karena minim informasi,
pengetahuan dan jaringan, ditambah nol prutul misi ideologis, misalnya seperti
Gus Muwafiq, -yang punya misi besar merefresh kenusantaraan dan keaswajaan,-,
UAS pun mudah ditunggangi kelompok Islam radikal yang terbukti sering
merepotkan polisi dan TNI di Indonesia.
Saya menjelaskan, orang-orang yang selama ini berafiliasi
dengan gerakan nyunnah, 212 serta wahabi jihadis maupun wahabi
salafi di Jepara bukan tidak mungkin akan merapat jika UAS punya "panggung
besar" di Mayong dan mereka minta "idu geni"-nya agar makin
optimis dan besar di bumi
Kartini.
Kepada Kapolres dan semua yang hadir di forum audiensi
tersebut, saya menyebut keresahan PC Ansor Jepara atas rencana kehadiran UAS
itu sebagai tindakan "dar'ul mafasid" (mencegah kerusakan),
yang dalam tradisi harakah nahdliyyah harus "muqoddamun ala
jalbil mashalih" (lebih diutamakan dari potensi kemaslahatan).
Namun, oleh Kasatintel Jepara, dalil keresahan dan akhirnya
harus dicegah itu disebutnya dengan "itu kan asumsi". Padahal
setahu saya, polisi adalah
pihak yang paling awal menerapkan "dar'ul mafasid muqoddamun ala jalbil
masholih" jika ada pontensi pecah belah. Polisi jugalah yang setahu
saya, sekali lagi setahu saya, paling awal mencegah terjadinya asumsi-asumsi di
masyarakat.
Dalam kasus rencana kedatangan UAS di Al-Husna Mayong itu,
Kasatintel nampak lebih mengikuti madzhab Polda yang disebutnya sebagai "yang
lebih peka daripada Polres". Cuma, ketika sahabat Ansor meminta
tanggapan bagaimana cara menjamin UAS kalau dia ujug-ujug ceramah provokatif
atau ceramah ideologis mengajak ber-khilafah atau mengajak nahi mungkar bil
munkar ala FPI, ia menyarakan sahabat Ansor ikut ngaji saja, mencatat
omongan UAS atau bahkan merekam video ceramah UAS. Padahal, setahu saya sejak aktif di Ansor, Badan Otonom (Banom) di NU tersebut
bukanlah organisasi kumpulan pemuda notulen ceramah.
Bukti video UAS yang sudah siap tayang kapanpun hanya
ditanggapi: "video kan tidak sepenuhnya seperti realitas". Adapun soal bukti penolakan
UAS oleh beberapa kelompok di daerah lain pun disebut Kasatintel sebagai "cara
yang justru memperlama popularitas UAS". Dia hanya menunjukkan segepok
dokumen syarat-syarat perijinan pihak Al-Husna di tangan, yang menurutnya "sah
dan legal jadi alasan mengeluarkan ijin". Ia mengaku sudah konsultasi
dengan pihak Polda.
Kapolres tidak banyak komentar. Ia hanya menengahi dan
berpesan agar jangan membesarkan
isu penolakan UAS. Itu justru menguntungkan mereka menurutnya. Dia mengutip petinggi Polri. yang seingat saya
menyatakan, "jangan sampai ada acara persekusi, penolakan dll, yang
digoreng oleh pihak mereka di media sosial". Setelah cerita soal penolakan UAS di Bali dan
Batam, Kapolres pergi keluar ruangan, dan forum diserahkan kepada
Kasatintel untuk tanggapan detail selanjutnya dengan sahabat Ansor.
Pernyataan tertulis Ansor yang meminta supaya di majelis
ngaji UAS nanti ada lagu "Indonesia Raya" yang dinyanyikan bersama, konon
akan disampaikan Kasatintel kepada pihak Al-Husna, yang tidak tahu kenapa, pada
siang hari audiensi itu berlangsung, mereka tidak hadir. Padahal, kata Ketua
Ansor Jepara, dalam forum
itu Polres akan mempertemukan Ansor dengan pihak Al-Husna.
Sebelum masuk ruangan Kapolres, seorang ibu-ibu berpakaian Polwan
yang menerima tamu sempat bertanya begini: "Ini ada pihak Muhammadiyah
yang sudah datang?".
Sahabat Ansor yang ada di ruang tunggu jelas mlongo.
Bukannya audiensi yang dijadwalkan mulai jam 9 pagi itu hanya dengan pihak
panitia pengajian UAS dari Al-Husna? Kok pihak MD yang ditanyakan?
Di tengah audiensi berlangsung pun Kapolres juga tidak
menyinggung alasan ketidakhadiran Al-Husna atau pihak lain selain Mudhofar. Sahabat Syamsul juga
sempat klarifikasi via telpon kepada pihak Pengurus Daerah Muhammadiyah
(PDM) Jepara. Dijawab olehnya;
tidak ada undangan.
Atas
kronologis tersebut, saya sah dan tidak berlebihan jika berasumsi bahwa pihak Polres terkesan
mengondisikan ketidakhadiran pihak Al-Husna.
Kedatangan Ansor pun justru terkesan menguntungkan Al-Husna
dan lebih mempercepat pihak Polres Jepara untuk memproses ijin acara Al-Husna
dengan UAS. Pasalnya, sebagaimana
pengakuan Kasatintel, "Polda lebih peka daripada Polres" soal
ijin kehadiran UAS. Audiensi Ansor an sich justru jadi data tambahan
bahwa Polres Jepara "sudah koordinasi dengan beberapa pihak".
Hahaha.
Siapa sih
yang lolos Ujian Allah Subhanahu Wata’ala (UAS)? [badriologi.com]
Sahabat Ansor Jepara yang turut hadir di ruangan Polres adalah Syamsul Anwar (Ketua), Kusdianto (Sekjend), Zainuddin, Saiful Khalim, Jauharuddin, dan seorang Hasan (Banser).