Suasana Sahur Bersama Santri Mlandang, di Pecangaan Jepara (17/05/2019) |
BANYAK yang merasakan keresahan, tapi banyak pula yang kurang bisa memunculkan keresahan itu dalam deksripsi masalah dan solusi yang konkrit (tashawwurul mas'alah wal ajwibah). Itulah yang saya rasakan dalam pertemuan bersama puluhan anggota Santri Mlandang dengan tajuk "Sahur Bersama" pada Jum'at malam (17 Mei 2019).
Dalam acara yang digelar di rumah Gus Adib bin Asmawi, Pecangaan, Jepara tersebut, saya melihat kepedulian mendalam para santri senior NU kultural di Jepara ihwal bagaimana cara menghidupkan gerakan-gerakan dakwah an-nahdliyyah dalam berbagai aspek.
Tapi karena santri tidak pernah dididik dalam bibit selalu mencari masalah, malam itu, forum hanya berlalu pada fokus tashawwur atas tashawwur masalah-masalah yang sebetulnya tidak akan bermasalah bila tidak dibuatkan masalah dalam forum bersama. Saya menyebutnya majelis keluh kesah bersama.
Baca: Meluruskan 3 Cara Berpikir yang Keliru tentang Dakwah Gerakan NU
Banyangkan, pertanyaan "kita mau ngapain setelah Pilpres berakhir", "bagaimana cara agar kita bisa ngapain bisa terlaksana dengan baik" muncul dari beberapa peserta yang memang secara latar belakang, sangat berbeda-beda.
Mencari titik temu gerakan bersama memang cukup rumit dirumuskan mengingat tiadanya visi-misi bersama (meski ideologinya sama) dalam platform dan tupoksi khusus "mau ngapain".
Seolah-olah, ketika vakum pasca Pilpres, mlandangnya para santri tidak kaaffah. Santri Mlandang memang awalnya dibentuk agar bisa ikut membantu kiai yang sedang mantu menjadi salah satu pemimpin di negeri ini. Istilah Jawanya: mlandang.
Tantangan Santri di Era Post-Truth
Bagi saya, kalau kiai sudah rampung mantunya, ya selesai sudah. Santri kembali ke bilik masing-masing, ngaji kembali untuk tetap lebih berdaya. Adalah saru, tidak sopan, bila usai mlandang, santri ikut cawe-cawe (campur tangan langsung) ke ndalem kiai, tanya terus soal efek bermlandang-ria beberapa waktu sebelumnya.Tapi karena mlandang di sini hanya istilah dalam komunitas, saya secara pribadi lebih sreg menafsirkannya sebagai khidmah/santri ngabdi/santri berkhidmah. Kalau khidmah, maka tiada waktu untuk terus nderek kiai kemanapun beliau tindha'an dan berfatwa, tanpa harus menyalahkan posisi kiai maupun ormas yang dimpimpinnya, misalnya.
Baca: Dari Rumah Dibawa ke NU, Jangan Sebaliknya!
Untuk berkhidmah itulah, majelis keluh-kesah Santri Mlandang menemukan beberapa masalah di era post-truth (kebenaran diukur bukan dari objek tapi emosi massal), yang meski malam itu tidak langsung dieksekusi, setidaknya sudah ada rencana mencapai ke sana. Ini rumusan masalahnya, sebagaimana ditulis oleh notulen, Gus Sabiq:
- Merumuskan gerak santri dalam dakwah milenial
- Merumuskan posisi santri dalam kaitannya dengan civil society
- Perebutan ruang pendidikan
- Ideologi aswaja vis a vis ideologi trans-nasional
- Merumuskan gerakan ekonomi santri
- Problem industrialisasi di Jepara
- Mengawal gerakan politik lokal maupun nasional
- Perebutan ruang publik di dunia maya
- Munculnya kelompok milenial yang membutuhkan kehadiran santri
- Profiling kelompok santri untuk perebutan dakwah milenial plus urban
- Memperkuat Santri Mlandang dalam model komunitas
Malam itu, anggota banyak yang mengusulkan agar pembahasan lebih lanjut diobrolkan saja dalam grup WhatsApp. Tapi tanpa motif di luar profit, saya kok curiga kelak menemui beberapa kesulitan manajemen konsistensi dan ghirrah ijtimiyyah.
Keresahan Santri Mlandang di Jepara |
Tapi yakin, untuk berkembang, harus ada gemblengan ketegangan dan konflik yang terurai. Begitu saja catatan saya. [badriologi.com]