Hilang Satu, Burung Peliharaan Gus Muwafiq Tumbuh Seribu -->
Cari Judul Esai

Advertisement

Hilang Satu, Burung Peliharaan Gus Muwafiq Tumbuh Seribu

M Abdullah Badri
Minggu, 07 Juli 2019
Flashdisk Ebook Islami

Jual Kacamata Minus
cara merawat burung murai dengan baik dan benar
Burung-burung peliharaan Gus Muwafiq yang dirawat oleh Kang Anton, santri khusus perburungan.
Foto: dokumen pribadi penulis.

Oleh M Abdullah Badri

SELAIN ayam, ndalem Gus Muwafiq yang biasa dijadikan tempat menerima para tamu tiap saat juga terdapat puluhan burung peliharaan. Jumlahnya puluhan. Ada 18 sangkar yang berisi 1-2 ekor burung di dalamnya. Mulai burung Citho, Cucak Hijau, Perkutut, Lovebird, Jalak Bali hingga Murai Batu, dll, tiap pagi saling sahut suara indah masing-masing.

Semua burung tersebut dirawat khusus oleh santri bernama Anton (29), yang sejak kecil memang suka sekali merawat burung-burung -tentu selain burung pribadi khas laki-lakinya. Awal mula ada banyak burung di ndalem Gus Muwafiq ya memang dari Anton, yang sejak nyantri mengaku suka merawat burung hingga Gus Muwafiq membelikan burung untuk dirawat olehnya, dari pasar terdekat di Yogyakarta.

Baca: Bisu Empat Tahun Gara-gara Melihat Kiai Afif Zubaidi Terbang di Atas Panci

Lama-kelamaan, burung-burung di ndalem Gus Muwafiq semakin bertambah karena banyak tamu, yang saat sowan ke Jogja, membawakan oleh-oleh burung. Gus Muwafiq biasanya hanya menyiapkan atau membelikan sangkar untuk burung-burung hadiah dari para tamu tersebut. Ada sangkar yang harganya ratusan ribu hingga jutaan rupiah.

Burungnya juga banyak yang berharga mahal. Murai Batu misalnya, ada yang menyebut harganya di atas 5 juta, dan Gus Muwafiq hanya membolehkan Anton, si santri perawat burung, agar terus dirawat tanpa boleh dibuat mainan dalam lomba perburungan dimanapun.

Suatu kali, ada burung yang pernah dibelikan sangkar oleh Gus Muwafiq tiba-tiba tidak ada. Raib entah kemana.

"Loh, burung yang baru datang kemarin kemana?" Tanya Gus Muwafiq usai pulang dari ngaji beberapa hari.

"Mati kiai," jawab salah satu santri.

"Oh ya wis," Gus Muwafiq enteng menjawab.

Setelah diselidik, burung itu ternyata tidak mati, tapi dibawa pulang oleh salah satu santrinya ke kos. Di kos, yang katanya akan dirawat, ternyata juga tidak dirawat. Sang santri justru menjual burung tersebut ke pembeli, dan laku senilai Rp. 800.000, yang lumayan bisa digunakan untuk memperpanjang usia kos-kosannya.

Baca: Tradisi Takbiran Adat "Laa Ilaha Ilola - Uu Lilo Lel Kam" Desa Sukodono, Jepara

Dia husnudzan bahwa gurunya tidak akan pernah sakit hati atas aksi jual bebas burung tersebut. Gus Muwafiq terlalu remeh jika mengurus hilangnya satu ekor burung. Apalagi untuk keperluan santri darurat dan miskin. Begitu menurutnya.

"Toh burung satu hilang, tumbuhnya bisa berlipat. Hilang satu, burung kiai bisa tambah seribu," seloroh sang santri.

Kenyataanya memang demikian. Bila ada satu burung mati, esoknya sering dapat ganti hingga dua atau tiga ekor, dari tamu maupun lainnya. Dan harganya bisa lebih mahal dari yang kemarin innalillah wa inna ilahi rojiun itu.

Karena sikap asihnya, Gus Muwafiq tidak pernah marah hanya karena satu burung peliharaan beliau hilang, terbang, atau dijual secara ghaib oleh santrinya. [badriologi.com]

Keterangan:
Esai ini ditulis berdasarkan cerita Kang Anton, santri Gus Muwafiq, di Jogja, Selasa, 4 Juni 2019.
Flashdisk Ribuan Kitab PDF

close
Iklan Flashdisk Gus Baha