Ilustrasi khatib Jumat hilang dari mimbar. Foto: istimewa. |
Oleh M Abdullah Badri
MENUNGGU kerabat yang sedang dirawat di salah satu Rumah Sakit (RS) ternama di Semarang, Syukron (bukan nama sebenarnya) melangsungkan shalat Jumat di komplek RS tersebut. Usai wudlu, seperti biasa dia melangsungkan shalat sunnah dua rakaat (tahiyyatal masjid) dan menunggu khutbah Jumat berlangsung.
Lama dia menunggu acara khutbah Jumat dimulai. Tak seperti biasa sebagaimana di desa, yang singkat dan padat. Kali ini, Syukron merasakan tidak beres setelah Bilal/Muadzin mengundang nama khatib hingga 3 kali dan tak kunjung muncul.
Baca: Mengapa Lirik Lagu Syubbanul Wathon Diterjemahkan “Afganistan Bilady”?
Setengah sabar, Bilal bahkan menawarkan kepada jamaah yang hadir untuk menjadi khatib. 15 menit berlangsung tidak ada yang maju sebagai pengganti khatib yang sebetulnya sudah dijadwalkan. Jumatan hampir saja gagal.
Syukron memberanikan diri maju sebagai khatib pengganti. Dan khutbah berjalan secara normatif dan minimalis. Yang penting syarat dan rukunnya terpenuhi, selesai.
Usut punya usut. Si khatib Jumat yang tidak hadir itu disebut-sebut merasa kurang "dihargai" karena honor ceramah khutbah Jumatnya tidak sesuai harapan. Banyak orang menyebut dia ngambek dan absen dari jadwal khutbah tanpa alasan dan tanpa pemberitahuan.
Begitulah cara hidup di kota. Sekelas ceramah di mushalla kampung saja, agar bisa masuk, kita harus menawarkan diri dan percaya diri memiliki ilmu agama. Proposal harus diajukan lengkap dengan jumlah honor yang diminta oleh yang mengajukan proposal.
Cerita di atas bukan fiksi, tapi realitas di Jakarta dan kota-kota besar. Untuk ceramah tujuh menit (kultum) di Bulan Ramadhan, calon penceramah sudah biasa memberi tarif antara 300-400 ribu sekali berkeringat. Akibatnya, bila anggaran masjid atau mushalla tidak ada, ya tidak ada kultum.
Barangkali, harga ikhlash di kota-kota besar memang harus terukur jelas seperti itu. Uang adalah pangkal solusi dan sekaligus masalah, di kota. Wajar bila banyak penceramah yang hijrah ke kota, karena ilmunya sangat "dihargai" di tengah kesibukan warga kota, yang juga haus spritualitas urban. [badriologi.com]
Keterangan:
Cerita ini dituturkan Syukron langsung kepada penulis pada Rabu malam (19 Juni 2019) bersama 5 orang yang mendengarkan ceritanya.