Anomali Generasi Jurnalis Milenial -->
Cari Judul Esai

Advertisement

Anomali Generasi Jurnalis Milenial

M Abdullah Badri
Selasa, 19 November 2019
Flashdisk Ebook Islami

Jual Kacamata Minus
contoh foto kegiatan jurnalistik kampus uin walisongo
Workshop Jurnalistik LPM IDEA di Qoryah Thoyyibah, Salatiga, 15-17 November 2019. Foto: dokumen pribadi.

Oleh M Abdullah Badri

SAAT menghadiri Workshop kru baru LPM IDEA Fuhum UIN Walisongo di Salatiga pada Ahad, 17 November 2019 lalu, ada cerita menarik ihwal perkembangan generasi pers kampus yang memang sangat berbeda dari generasi saat saya bergabung di LPM tersebut pada 2006, 13 tahun lalu.

Sejak 2017, anak kampus tidak memiliki ketahanan digembleng secara mental. Padahal, dalam dunia jurnalistik, hal itu sangat-sangat dibutuhkan. Anehnya, mereka ini paling suka tampil di depan layar. Beda dengan generasi saya dulu, yang begitu ditodong kamera ada yang mendadak ceplapluken tak bisa langsung ngomong ini-itu dengan lancar.

Tidak ada anak bengal yang masuk ke pers kampus. Mereka termasuk orang-orang yang taat pada prosedur dan aturan. Anehnya, ketaatan mereka ini seperti kesetiakawanan barisan bebek kemriyek yang selalu ikut induk. Bila ada kegiatan diskusi misalnya, kok ada satu kawan mereka tidak hadir, semuanya ikutan tidak hadir tanpa alasan. Jadi, ketaataan mereka ini tidak disertai kemandirian bergerak dan bahkan tanpa prinsip.

Waham atau ketakutan mereka ini tidak wajar dan kurang rasional. Ketahanan mereka terhadap perbedaan dan kritik akhirnya sangat-sangat labil. Mereka lebih suka menghindari konflik, yang saat saya masih ngampus adalah bagian dari proses pendewasaan. Begitu ada senior mereka yang mengkritik atau tidak setuju, resistensi mereka bukan langsung membantah namun menangis duluan. Mungkin hati mereka lembut, tapi saya tidak meyakininya demikian.

Mengapa? Mereka ini hidup di masa yang bergelimang sandang, pangan dan papan serta mudahnya mengakses semuanya tanpa repot tirakat dan riyadlah sebagai manusia yang sedang mencari jati diri. Hidup mereka banyak yang jauh dari krisis mental, uang, pertemanan dan apalagi sosial.

Bayangkan, ketika saya tanya, lebih suka mana berlama-lama di kos-kosan atau berkumpul dan bersosialisasi, jawaban mereka serentak: lebih suka ndekem di kos. Mereka lebih suka menatap layar datar daripada bersosialisasi bersama kawan di UKM, ekstra kampus atau giat lainnya. Silaturrahim tidak begitu penting ketika WhatsApp lebih memudahkan komunikasi.

Go-Food sekarang memudahkan akses pangan mereka ke kos. Dengan bujukan diskon yang acap datang setiap saat, akses sandang mudah diakses lewat aplikasi marketplace yang juga diantar oleh abang ojol. Kantor LPM juga tidak begitu dirindukan sebagai tempat nongkrong ilmiah karena akses papan mereka lebih berstandar. Kos harga 1 juta sebulan mereka sanggup sewa.

Tidak seperti zaman saya ngampus, yang menjadikan kantor LPM sebagai alternatif kontrakan untuk mandi, nyuci bahkan memasak mie instan. Gelimang barang-barang murah benar-benar memanjakan generasi milenial, di tengah jatah orangtua, yang katanya, perbulan ada 10 jutanya. MasyaAllah. Jadi mahasiswa di musim kemakmuran (tanpa perang) sekarang ini memang enak se-enak-enaknya.

Begitu mendapatkan masalah, generasi milenial mudah mengumpat dan membully nasib. Bahkan Tuhan. Barangkali, masalah bukanlah berkah. Masalah adalah petaka. Beberapa tahun lalu, anak LPM IDEA yang ikut workshop ada yang semaput (pingsan) hanya gara-gara digembleng mental oleh seniornya. Bahkan ada yang lebih parah lagi; mati separo. Mereka kaget. Orangtuanya saja tidak pernah memperlakukan begitu.

Suka "Dibunuh"
Kini, untuk menggarap kader baru pers kampus, senior-senior IDEA haruslah menjadi orangtua ganti. Tiap malam ada seniornya yang menemani hanya untuk menunjukkan bagaimana caranya menulis dengan baik dan benar. Bila hanya diberi PR, mereka akan lari mencari "tempat berteduh" yang lebih romantis.

Untuk menyelesaikan tugas magang (menulis artikel) setahun misalnya, generasi jurnalis milenial kesulitan nyambung bila hanya dikasi tema. Mereka harus disiapkan bahan atau kisi-kisi menulis, seperti pra semesteran di SMA, yang sangat menggoblokkan itu.

Perintah tulislah artikel opini bertema "Pendidikan yang Membodohkan", membuat mereka galau. Sejak judulnya, mereka tidak mengenal istilah "pendidikan kok membodohkan". Padahal, jika saja mau membaca, ada banyak referensi yang bisa dikunyah lezat serta bergizi secara intelektual. Budaya membaca dan menulisnya sangat kenceng. Bukan untuk buku, tapi status medsos.

Akhirnya, sejak beberapa tahun terakhir, beberapa senior LPM IDEA harus membikin sistem pendampingan laiknya anak-anak PAUD, yang hanya untuk mewarnai gambar di kertas, si guru harus memegang tangan anak dan mengarahkan lurus, miring, ngoret-ngoret sampai berbetuk gambar bebek meong (dikiranya bebek adalah kucing). Diarahkan saja masih salah, apalagi tidak. Miskin inisiatif meski kaya kreativitas -bila ada "nabi" yang membawa "risalah wahyu" padanya. Begitu kira-kira gambarannya. Mereka lebih duka "dibunuh" daripada "dihidupkan".

Menghadapi generasi manusia yang lahir pasca tahun 2000an butuh kesabaran tingkat waliyullah, laiknya Walisongo, yang membimbing umat Nabi Muhammad Saw. mulai alif-ba'-ta' sampai wihdatus-syuhud yang benar.

Karena itulah, ketika pulang, saya sempat berpesan kepada senior-senior yang mendampingi anak-anak IDEA kelas milenial baru agar berhasil "merusak" kesalehan mereka. Sekali-kali, jadi anak muda itu membengal standar biar bergumul dengan masalah. Terlalu saleh sejak dini bisa menutup pintu taubat yang hakiki kelak. Sulit mendengar oranglain bila sudah tua tak punya salah dan masalah.

Selain itu, mereka juga saya pesan supaya bisa mendekonstruksi pemikiran agar berpikir tidak hanya hitam dan putih, yang relativis tapi berstandar mendidik sebagai aktivis jurnalis kampus. Tapi apa ya bisa? Saya makin pesimis. Pasalnya, UKT Fakultas Ushuluddin dan Hukum (Fuhum) sekarang konon mencapai 5 juta. Di IDEA gratis tis.

Meski generasi milenial punya kelebihan ber-passion di bidang tertentu yang dia minati (editing video, fotografi, menulis, majamenen redaksi, manajemen marketing medsos, dll), namun bila kampus sudah menjejal mereka dengan kesibukan kuliah full seharga itu sejak daftar, mau pilih mana? Kampus atau mahir jurnalistik? Apa mereka berani memilih tidak lulus seperti saya. Hahaha.

Anomali kan! Ya, hidup memang penuh anomali. Tapi harus memilih. Kecuali Nabi dan waliyullah. Bagi mereka, ikhtiyar memilih adalah tercela (madzmumah). Salam ndableg berkontrol, agar millennial tidak selalu kill everything. [badriologi.com]
Flashdisk Ribuan Kitab PDF

close
Iklan Flashdisk Gus Baha