Wali Paidi Minta Dibuatkan SIM Merk Rasulullah -->
Cari Judul Esai

Advertisement

Wali Paidi Minta Dibuatkan SIM Merk Rasulullah

M Abdullah Badri
Selasa, 05 November 2019
Flashdisk Ebook Islami

Jual Kacamata Minus
kisah patroli wali paidi m abdullah badri edisi 5
Patroli Wali Paidi ke-5. Sebelumnya, Patroli Wali Paidi ke-4, baca SINI.

Oleh M Abdullah Badri

KALI ini yang datang bukan polisi Densus -seperti ditulis dalam Patroli Wali Paidi (PWP) ke-1, melainkan polisi lalu lintas. Ia datang sendirian ke Kedai Kopi Paidi karena bingung mengatasi jama'ah majelis shalawat yang tidak mau ditilang meski melanggar.

Beberapa jam ia ngopi di situ, menunggu pulang Wali Paidi dari zaiarah Walisongo. Kedai dibuka oleh karyawan tambahan, dengan jam terbatas. Semua karyawan lawas diajak Wali Paidi ziarah. (Baca PWP ke-4).

"Dari mana, ndan?"

"Jakarta, kiai".

"Sudah ngopi belum. Jenengan tamu loh. Bukan pelanggan. Saya buatkan kopi dulu yah".

"Sudah kiai. Tidak perlu buatkan kopi. Kami sudah ngopi".

"Alhamdulillah".

Obrolan hangat berlangsung. Para polisi itu mengaku bingung menghadapi periluku jama'ah shalawatan rutin yang bila ditindak, polisinya bingung berbuat sesuai prosedur.

"Di jalanan, mereka ini biasa tidak bawa helm kiai," ungkap polisi itu.

"Oh, ya bagus dong. Helm mereka kan kopyah, tahan banting," kata Wali Paidi.

Hahahaha.

Semua tertawa.

"Masalahnya, mereka ini merasa aman di jalan tanpa helm. Dan kalau kita tindak, alasannya tidak bisa kita lawan".

"Apa alasannya?"

"Kita ini mau datang ke Majelis Rasulullah Pak. Itu majelis pimpinan cucu Rasulullah loh pak. Masak Bapak mau menghalangi kami bertemu cucu Rasulullah di majelisnya".

"Hahahahaha," Wali Paidi tertawa keras, "karena acaranya milik Rasulullah dan pimpinannya adalah cucu Rasulullah, kamu takut?"

"Iya, Kiai".

"Hahahahahahahah".

"Masalah begini kok dibawa mari. Aduh. Repot. Orang sekarang itu merasa dirinya jumawa kalau langsung membawa nama besar Rasulullah dan cucu-cucunya. Apalagi berkata langsung 'kita sesuai sunnah Rasulullah, merujuk ke Al-Qur'an dan hadits', langsung saja merasa jadi murid Rasulullah. Repot".

Polisi itu diam. Masih mendengarkan. Djisamsu barunya, dibuka sendiri oleh Wali Paidi. Sambil menghisap aromanya, Wali Paidi melanjutkan keterangannya dulu sebelum memberi solusi ke tamunya tersebut.

"Saya tidak tahu mengapa sebuah majelis langsung di atasnamakan Rasulullah. Siapa yang memberinya nama juga tidak tahu. Setahu saya, para khulafa'ur rasyidin yang dijamin surga saja tidak berani menyebut dirinya sebagai khalifah Rasulullah (kecuali Sayyidina Abu Bakar). Umar, Ustman dan Ali menyebut dirinya sebagai khalifatul mu'munin atau amirul mukminin (pemimpin orang-orang mukmin). Sebagai adab tawadlu' kepada Rasulullah,

"Gelar khalifah ada yang langsung ke Allah, bukan ke Rasulullah, juga pernah digunakan di zaman kerajaan-kerajaan Islam Jawa karena saat itu ada kultur politik dimana bila tidak ada gelar sebagai pengganti Allah (khalifatullah) di bumi, legitimasinya akan hilang di masyarakat. Khalifatullah sayyiding panotogomo [khalifah Allah pemimpin yang mengatur agama] digunakan raja-raja Jawa sebagai gelar politik,

"Itu dulu. Rais Aam NU pun tidak pernah bergelar Rais Akbar karena gelar itu hanya untuk Hadratussyaikh KH. Hasyim Asy'ari, pendiri NU. Rais Syuriah NU tidak pernah lagi menggunakan Rais Akbar hingga ini atas alasan tawadlu',

"Sayangnya, di Indonesia ini, yang langsung mengatasnamakan Islam, Rasulullah, Allah, Hadits, justru kelihatan seperti ingin memberontak saja bila melihat sesuatu yang dianggap tidak sesuai dengan jalan Islam. Seolah-olah, hanya mereka tidak bid'ah, tidak boleh ditilang, tidak boleh disweeping, tidak boleh ditangkap, dan kalau ditangkap langsung dianggap kriminalisasi, menentang ajaran Islam. Semunya serba repot memang menghadapi pemegang merk Rasulullah,

"Kalau merasa mewakili Allah, mereka tidak mau menaati aturan sosial. Tidak ada wasit yang menengahinya. Salah tidak apa-apa, yang penting langsung mengikuti sunnah. Ini lebih berbahaya. Allah selalu diajak kampanye politik dan Rasulullah dijadikan stempel sambil mengancam Allah bila tidak memenangkan pilihannya tidak berhak disembah. Cara berpikir ini sangat naudzubillah pak Polisi, dan ini nyata,

"Harusnya, idealnya, mengaku sebagai pengikut ajaran Rasulullah itu kan bisa menggerakkan wilayahnya menjadi sejuk, jama'ahnya diatur agar tidak bughat kepada negara sah seperti Indonesia. Saya sendiri belum melihat hasil efektif pusat shalawatan yang kotanya tidak jadi pusat gaduh politik identitas secara nasional, bahkan ada kota pusat shalawat yang tetap jadi pusat berkembangnya kelompok radikal yang main-main senjata dan ancaman sosial itu. Di mana pimpinan jama'ah shalawatnya? Ya Allah. Ngelus dodo saya ini," terang Wali Paidi panjang lebar. Pak Polisi tadi mau mendengarkan khusyuk.

"Terus solusinya gimana kiai?"

"Sebentar. Saya mau tambahi keterangan. Dulu ya, dulu. Majelis shalawat sudah banyak. Tapi sejak dari namanya itu merendah semua. Ada yang kasi nama Tanbihul Ghafilin (pengingat orang-orang lupa), Dzikrul Maut (pengingat mati), Tanbihul Mughtarrin (pengingat orang-orang tertipu), Al-Hidmah (pengabdian), dan lainnya. Orang-orangnya jadi adem, tidak mudah emosi. Bukan fungsi shalawat itu meredakan emosi hidup seseorang. Kini, seperti yang jenengan hadapi itu," tambah Wali Paidi.

"Solusinya yi, solusi. Saya bedil loh kalau buat saya emosi terus," kata polisi itu, guyon. Hahahaha. Dia ngaku ikut emosi mendengar uraian Wali Paidi yang tak disangkanya.

"Biarkan saja terus jalan Pak, sholawatannya. Itu memberkahi kotanya. Ada shalawatan saja kotanya masih ruwet, apalagi tidak ada. Tapi jama'ahnya dikasi SIM khusus merk Rasulullah kalau jalan ke lokasi acara. Kan aman jenengan. Legal dan berkah. Awas, jangan dikasi bendera tahlil loh yaw. Jenengan yang justru bakal kena tangkap pecinta Rasulullah, loh".

Sang tamu pulang tanpa solusi. Wali Paidi dibedil. Siapa sih dia? Polisi atau bukan sih? Apa salah Paidi? Ya awooh...!!! [badriologi.com]

Keterangan:
Ini adalah serial Patroli Wali Paidi (edisi 5). Rampung ditulis Selasa, 28 Oktober 2019 - 02.54 WIB.

Flashdisk Ribuan Kitab PDF

close
Iklan Flashdisk Gus Baha