Terjemah syiir tauhid Bad'ul Amali - Maturidiyah. Foto: badriologi.com. |
Oleh M Abdullah Badri
MADZHAB Tauhid Maturidiyah menyatakan, umat Islam wajib meyakini tiadanya seorang Nabi yang berjenis kelamin perempuan, berstatus budak, tukang sihir dan tukang bohong. Hal itu dinyatakan tegas dalam Kitab Tauhid Bad'ul Amali pada syi'ir ke-29, yang disampaikan penulis kepada Jama'ah Majelis Ngaji Rutin Mushalla Al-Firdaus, Ngabul, malam Kamis, 25 November 2020.
وَمَا كَـــــــــــــــــــانَتْ نَبِياًّ قَــــطُ أُنْثىٰ ۞ وَلَا عَبْدٌ وَشَخْصٌ ذُو افْتِعَـــــالِ
Artinya:
"Nabi perempuan itu tidak pernah ada sama sekali. Begitu pula (tidak ada) Nabi hamba sahaya dan yang berperangai buruk (sihir dan berbohong)".
Ibnu Jama'ah menyatakan, syarat seorang Nabi itu ada tiga:
- Laki-laki. (Ini berbeda dengan pendapat Imam Asy'ari dan Al-Qurthubi).
- Merdeka. (Tidak ada Nabi yang pernah menjadi bekas budak).
- Jujur. (Tidak satu pun Nabi yang memiliki karakter bohong. Bohong adalah sifat yang menyebabkan semua perkataan tidak bisa dipercaya).
Pendapat Jumhur Ulama
Nabi perempuan tidak pernah ada karena mereka disebut sebagai pemilik akal yang lemah, dan terbatas dalam usahanya menyampaikan wahyu serta tugas-tugas kenabian lainnya. Misalnya, perempuan tidak bisa leluasa untuk keluar rumah menghadiri majelis umum, perkumpulan dan dialog dengan setiap orang, yang sangat dibutuhkan sebagai bagian dari dakwah.
Bagaimana dengan nama perempuan mulia di bawah ini:
- Sayyidah Hawa' (istri Nabi Adam as)
- Sayyidah Saroh (istri Nabi Ibrahim)
- Sayyidah Yuhabadz/Yuhanidz binti Lawi bin Ya'qub (Ibu Nabi Musa as)
- Sayyidah Hajar (Ibu Nabi Isma'il, Istri Nabi Ibrahim)
- Sayyidah Asiyah binti Muzahim (istri Fir'aun), dan
- Sayyidah Maryam (Al-Qurthubi bahkan menyebut shahih atas kenabian Maryam. Imam Nawawi menyebut, Maryam bukan Nabi adalah ijma'. Wallahu a'lam)
Menurut pendapat yang dinisbatkan kepada Imam Al-Asy'ari, nama-nama di atas (Al-Qurthubi menggugurkan nama Hajar dan Saroh) dianggap sebagai bagian dari para Nabi. Alasannya:
- Siapapun yang didatangi malaikat lalu mendapatkan perintah dan larangan atas suatu hukum atau tentang kabar masa depan, maka, dia nabi. Buktinya, dalam Al-Qur'an, mereka menerima banyak macam perintah yang dibawa oleh malaikat. Demikian alasan yang dinisbatkan sebagai pendapat Imam Al-Asy'ari, seperti dikutip Ibnu Hajar dalam Kitab Fathul Bari.
- Nama-nama perempuan shalihah di atas terbukti disebut berbarengan dengan nama para Nabi. Ini dianggap sebagai qarinah (petunjuk kuat) bahwa mereka bagian dari utusan Allah Swt.
Pendapat di atas menyelisihi para ahli hadits dan mayoritas ulama'. Dalilnya:
وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ إِلَّا رِجَالًا نُوحِي إِلَيْهِمْ مِنْ أَهْلِ الْقُرَىٰ
Artinya:
"Kami tidak mengutus sebelum kamu, melainkan orang laki-laki yang Kami berikan wahyu kepadanya diantara penduduk negeri". (QS. Yusuf: 109).
Meski nama-nama di atas dinyatakan pernah menerima wahyu, maka, hal itu tidak serta-merta bisa dibenarkan. Mereka tergolong beriman atas kalam Allah, tapi saat menerimanya, sudah melewati seorang Nabi dan tidak langsung disampaikan Allah ke mereka lewat Jibril.
Tidak serta-merta pula hanya karena nama mereka disebut bersamaan dengan para Rasul, lalu langsung mendapatkan gelar Nabi. Ini adalah cara berdalil yang tidak sah. Adam misalnya, ia adalah Rasul. Bila setelah penyebutan Adam ada nama Hawa', secara logat hal itu tidak bisa dibenarkan bila Hawa' dianggap Nabi. Mengapa Hawa' tidak disebut langsung sebagai Rasul, yang wajib tabligh risalah? Bukankah Rasul itu lebih khusus daripada Nabi?
Ketahuilah, keistimewaan para wanita shalihah yang namanya dekat dengan para Nabi dan Rasul itu adalah bentuk karomah(kemuliaan) yang diberikan Allah kepada mereka. Bentuk karomah lain untuk mereka adalah dijamin masuk surga, sebagaimana disabdakan Rasulullah Saw. dalam banyak keterangan hadits.
Bentuk karomah lain adalah melihat Jibril dalam rupa manusia seperti peristiwa para sahabat saat Nabi ditanya Jibril tentang Iman dan Islam. Sayyidah A'isyah ra. juga pernah melihat malaikat menyerupai Dahyah Al-Kalabi. Demikian pula Maryam, yang ditulis dalam Al-Qur'an pernah melihat malaikat tampak seperti manusia.
فَتَمَثَّلَ لَهَا بَشَرًا سَوِيًّا
Artinya:
"Maka ia menjelma di hadapannya (dalam bentuk) manusia yang sempurna". (QS. Maryam: 17).
Mereka melihat malaikat, sebagaimana para Nabi melihatnya saat menerima wahyu. Tapi tidak ada seorang pun dari nama-nama perempuan shalihah di atas yang bisa disebut Nabi. Artinya, melihat malaikat bukanlah ciri pokok seorang Nabi. Bila ada orang lain selain Nabi melihatnya, itu bagian dari karomah Allah.
Nabi dari Kalangan Jin?
Menurut jumhur ulama', tidak ada satupun Nabi dari bangsa jin. Alasannya, Nabi adalah manusia mulia, maka harus berasal dari makhluk Allah yang paling mulia juga, yakni Bani Adam, manusia, sebagaimana Allah berfirman:
وَلَقَدْ كَرَّمْنَا بَنِي آدَمَ
Artinya:
"Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam". (QS. Al-Isra': 70).
Selain alasan di atas, nash Al-Qur'an juga jelas menyatakan bahwa Nabi itu dari sebagian "kalian" Bani Adam, bukan "kalian" Banul Jin (anak jin). Simak firman Allah Swt. di bawah ini:
أَلَمْ يَأْتِكُمْ رُسُلٌ مِنْكُمْ يَتْلُونَ عَلَيْكُمْ آيَاتِ رَبِّكُمْ وَيُنْذِرُونَكُمْ لِقَاءَ يَوْمِكُمْ هَٰذَا
Artinya:
"Apakah belum pernah datang kepadamu rasul-rasul di antaramu yang membacakan kepadamu ayat-ayat Tuhanmu dan memperingatkan kepadamu akan pertemuan dengan hari ini?" (QS. Az-Zumar: 71).
Selain itu, tidak ada Nabi yang diutus dari bangsa malaikat. Malaikat tidak ditugaskan Allah untuk memberikan peringatan kepada manusia dan jin, laiknya Nabi Muhammmad Saw. Jibril misalnya, ia hanya bertugas menyampaikan pesan Allah Swt. kepada para Nabi dan Rasul. Bukan kepada sesamanya, atau mahkluk lain. Rasulullah Saw. bersabda:
وأرسلت إلى الخلق كافة
Artinya:
"Aku (Muhammad) diutus untuk semua makhluk". (HR. Muslim).
Nabi Hamba Sahaya
Secara umum, laki-laki merdeka (bukan budak) adalah jenis manusia paling utama. Dan paling utamanya laki-laki merdeka adalah golongan muttaqin dan ma'shum (terjaga dari perbuatan dosa kecil dan besar), yakni para Nabi Allah.
Lumrahnya, seorang budak disamakan sebagai orang yang pernah kafir, karena dia kalah perang dan menjadi tawanan umat Islam. Selain itu, budak adalah status negatif yang tidak bisa diikuti oleh banyak orang. Alasannya, budak memiliki kewajiban utama mengabdi kepada tuan-nya.
Lalu, bagaimana dengan kisah Nabi Yusuf yang dibeli, bukankah ia termasuk budak? Tidak. Firman Allah Swt. yang berbunyi وَشَرَوْهُ بِثَمَنٍ بَخْسٍ دَرَاهِمَ مَعْدُودَةٍ (..dan mereka menjual Yusuf dengan harga yang murah, yaitu beberapa dirham saja | QS. Yusuf: 20) merupakan bentuk kekeliruan penjualnya.
Penjual mengira, Nabi Yusuf adalah seorang hamba sahaya. Padahal bukan. Artinya, transaksi jual beli ini tidak sah. Menjual manusia merdeka hukumnya batal secara hukum. [badriologi.com]
Download PDF rujukan artikel:
- Dha'ul Ma'ali (hlm: 21)
- Nukhbatul La'ali (hlm: 86-87)
- Darojul Ma'ali (hlm: 95-99)