Nadham Bad'ul Amali ke-32 beserta artinya Indonesia. Foto: badriologi.com. |
Oleh M Abdullah Badri
NADHAM Bad'ul Amali yang ke-32 membahas pentingnya mempercayai karomah walinya Allah dan siapa saja yang bisa disebut sebagai wali. Berikut ini baris syi'ir yang ditulis oleh pengarang dan dibaca penulis di Majelis Ngaji rutin Al-Firdaus, Ngabul, Jepara, pada malam Kamis, 3 Desember 2020.
كَرَامَــــــــــاتُ الْوَليِّ بِـــــدَارِ دُنْيَـــــــا ۞ لَهَـــــــــــــــــــا كَوْنٌ فَهُمْ أَهْلُ النَّـــــــــوَالِى
Artinya:
"Karomah-karomah wali di dunia ini nyata adanya (bukan hanya di akhirat saja). Para wali Allah (auliya') adalah orang-orang yang mendapatkan anugerah".
Madzhab Ahlussunnah meyakini adanya karomah (kemuliaan) yang diberikan Allah kepada hamba-Nya yang Dia cintai, di dunia ini. Baik di masa ia hidup atau sesudah wafat.
Riwayat dan dalil tentang adanya karomah ini sangat banyak dan mutawatir (sulit disebut sebagai kebohongan), utamanya keramat yang muncul untuk umat akhir Nabi Muhammad Saw. dimana mereka, seperti generasi kita ini, memiliki banyak kelemahan akidah dan syari'ah. Hanya orang-orang buta mata hati lah yang tidak percaya karomah secara mutlak.
Tentang karomah, dalam Al-Qur'an Allah Swt. berfirman:
فَأَلْقِيهِ فِي الْيَمِّ وَلَا تَخَافِي وَلَا تَحْزَنِي
Artinya:
"...maka jatuhkanlah dia ke sungai (Nil). Dan janganlah kamu khawatir dan janganlah (pula) bersedih hati". (QS. Al-Qashash: 7).
قَالَ الَّذِي عِنْدَهُ عِلْمٌ مِنَ الْكِتَابِ أَنَا آتِيكَ بِهِ قَبْلَ أَنْ يَرْتَدَّ إِلَيْكَ طَرْفُكَ
Artinya:
"Berkatalah seorang yang mempunyai ilmu dari Al-Kitab (Ashif Barkhoya): "Aku akan membawa singgasana itu kepadamu sebelum matamu berkedip". (QS. An-Naml: 40).
كُلَّمَا دَخَلَ عَلَيْهَا زَكَرِيَّا الْمِحْرَابَ وَجَدَ عِنْدَهَا رِزْقًا ۖ قَالَ يَا مَرْيَمُ أَنَّىٰ لَكِ هَٰذَا ۖ قَالَتْ هُوَ مِنْ عِنْدِ اللَّهِ
Artinya:
"Setiap Zakariya masuk untuk menemui Maryam di mihrab, ia dapati makanan di sisinya. Zakariya berkata: 'Hai Maryam dari mana kamu memperoleh (makanan) ini?' Maryam menjawab: 'Makanan itu dari sisi Allah'". (QS. Ali Imron: 37).
Ayat pertama ditujukan kepada Ibu Nabi Musa. Ayat kedua membincang Ashif bin Barkhoya, wazir Nabi Sulaiman bin Dawud yang mampu mendatangkan kerajaan Ratu Bilqis dalam sekejab mata. Dan ayat ketiga membicarakan Ibu Maryam binti Imron. Ini belum termasuk cerita Ashabul Kahfi di goa yang sangat populer itu serta keromah Ibu Hajar saat menemukan air zam-zam.
Ketiganya tercatat memiliki keistimewaan khariqul adat. Dan semuanya bukanlah Nabi. Artinya, hal-hal luar biasa di luar jangkauan akal umum pernah terjadi berkali-kali dan ada, serta tertulis dalam Al-Qur'an secara jelas. Mengapa ada yang tidak iman atas adanya keramat wali?
Ibnu Hazm Al-Dhahiri termasuk tokoh yang tidak memercayai adanya karomah kecuali hanya terjadi di zaman Rasulullah Saw. masih hidup saja. Ibnu Hazm sepertinya tidak memberikan ruang kemungkinan bahwa khariqul adat yang pernah terjadi pada umat-umat sebelumnya bisa terjadi pada umat Nabi Muhammad Saw, khaira ummatin (sebaik-baiknya umat).
Golongan yang tidak mengimani adanya keramat wali di dunia secara mutlak adalah Muktazilah, Khawarij, Rafidhah dan Jahmiyah. Mereka bahkan menyatakan bahwa karomah adalah sebentuk kebathilan. Mereka tidak percaya karomah karena kalau benar ada, maka karomah akan menyerupai mukjizat yang hanya bisa dilakukan oleh para Nabi dan Rasul. Bila karomah dibenarkan, kata mereka, mukjizat para Nabi dan Rasul batal semua tanpa guna. Rupanya, Muktazilah tidak membedakan antara Nabi dan Wali.
Bagi Muktazilah, karomah hanya ada di akhirat. Alasannya, akhirat adalah rumah kemuliaan (دار كرامة) untuk setiap orang beriman. Bila besok ada seorang mukmin yang berhasil melewati jembatan sirathal mustaqim secepat kilat, lalu hal itu dianggap keramat, maka, setiap mukmin adalah walinya Allah begitu. Lalu, apa yang istimewa dari karomah kalau logikanya demikian? Pendapat Muktazilah ini sangat melenceng dari makna karomah sesungguhnya.
Karomah muncul karena Allah ingin menambah keyakinan kepada hamba-hambanya yang dekat dengan wali. Dan itu ada di dunia. Bukan di akhirat. Bukankah maklum kalau akhirat adalah rumah penuh keyakinan bagi setiap mukmin?
Sayyidina Ali karramallah wajhah menyatakan,
اليومَ العمل ولا حساب وعدا الحساب ولا عمل
Artinya:
"Hari ini (dunia) adalah hari-hari beramal dan tiada perhitungan. Besok (di akhirat) adalah hari perhitungan dan tiada amal".
Atas argumentasi di atas itulah, mushonnif Bad'ul Amali menyertakan kalimat بِـــــدَارِ دُنْيَـــــــا (di dunia ini) dalam Nadham-nya tentang keimanan terhadap karomah wali. Termasuk bagian dari dunia adalah alam Barzah karena Barzah belum masuk dalam kategori akhirat.
Ketahuilah, karomah yang dimaksud dalam pembahasan ini adalah:
أمر خارق للعادة مقرون بالمعرفة والطاعة خال عن دعوى النبوة
Artinya:
"Sesuatu yang keluar dari adat kebiasaan (luar biasa), yang bersamaan dengan makrifat, ta'at (kepada Allah), jauh dari pengakuan sebagai Nabi".
Maka, bila ada hal-hal yang nampak lazim sesuai adat, ia tidak bisa disebut keramat. Disebut istidraj atau sihir bila ada hal luar biasa tapi munculnya dari seorang yang fasiq (banyak maksiat), apalagi demi menguatkan sebuah kebohongan.
Nabi palsu Musailamah al-Kadzdzab pernah mengundang orang buta untuk disembuhkan. Dan memang sembuh. Tapi hal itu tidak bisa disebut karomah, melainkan ihanah (إهانة), yang artinya kehinaan.
Secara umum, khariqul adat itu ada 6 macam, yakni:
- Mukjizat
- Irhash
- Karomah
- Ma'unah
- Istidraj
- Ihanah
Dua dari pertama khusus untuk para Nabi. Karomah khusus untuk para wali. Ma'unah untuk setiap mukmin. Istidraj dan Ihanah untuk orang fasiq dan ahli maksiat.
Sangat mungkin bila jenis keramat wali Allah mirip ceritanya dengan mukjizat yang dimiliki oleh para wali Allah, sama-sama khariqul adat maksudnya. Hanya saja, dalam keramat, tidak ada pengakuan diri sebagai Nabi, sebagaimana mukjizat yang harus disertai pengakuan sebagai Nabi kepada orang-orang kafir yang tidak beriman. Inilah perbedaan antara karomah dan mukjizat.
Jarang sekali ada seorang wali yang sengaja menunjukkan karomahnya di depan umum. Justru paling banyak adalah rasa malu mendalam bila Allah menampakkan karomah atas dirinya. Seolah-olah, hal itu adalah ujian atau istidraj dari Allah.
Pantang bagi seorang wali Allah memamerkan karomahnya karena hal itu justru menurunkan derajatnya di mata Allah dan seolah-olah tiada rahasia lagi antara dia dan Rabb-nya.
Sekali lagi, tidak ada wali Allah yang mengakui dirinya sebagai Nabi. Justru bila muncul karomah darinya, hal itu adalah bagian dari mukjizat Rasulullah Saw. Mengapa? Karena para wali Allah adalah pengikut Nabi Muhammad Saw.
Wali Allah dan Tanda-tandanya
Dari bahasa Arab الوَلِيُّ, makna kata wali adalah pecinta (المُحِبّ) yang merupakan lawan kata dari العدو/al-aduwwu (musuh). Karena itu, makna wali bukanlah "dekat" (القرابة). Asal kata wali yang bermakna dekat adalah al-walyu (الوَلْيُ), lawan kata al-bu'du (jauh), bukan al-waliyyu, yang ia adalah lawan kata al-aduwwu.
Wali disebut sebagai wali karena hatinya hanya dikuasai oleh Allah. Mereka mengenal Allah sebagai Penguasa Tunggal atas Segalanya. Tiada lain.
Secara umum, wali Allah adalah hambah-hamba yang dicintai-Nya. Jangan percaya langsung bila mendengar ada orang mengaku sebagai walinya Allah. Pasalnya, sangat sering ada orang yang mengaku merasa dekat dengan Allah dan dicintai Allah, padahal Allah tidak mencintainya.
Syarat utama dicintai Allah adalah taat kepada Rasulullah Saw, kekasih Allah Swt, sebagaimana tersurat dalam firman Allah dalam Al-Qur'an:
قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ ۗ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ
Artinya:
"Katakanlah: "Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu". Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang". (QS. Ali Imron: 31),
قُلْ أَطِيعُوا اللَّهَ وَالرَّسُولَ ۖ فَإِنْ تَوَلَّوْا فَإِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْكَافِرِينَ
Artinya:
"Katakanlah: "Taatilah Allah dan Rasul-Nya; jika kamu berpaling, maka sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang kafir". (QS. Ali-Imron: 32)
Tanda-tanda seorang disebut wali adalah taqwa (menjalankan perintah dan menjauhkan diri dari segala larangan). Secara umum, definisi taqwa tertulis dalam Al-Qur'an seperti berikut ini:
أَلَا إِنَّ أَوْلِيَاءَ اللَّهِ لَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ. الَّذِينَ آمَنُوا وَكَانُوا يَتَّقُونَ. لَهُمُ الْبُشْرَىٰ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَفِي الْآخِرَةِ ۚ لَا تَبْدِيلَ لِكَلِمَاتِ اللَّهِ ۚ ذَٰلِكَ هُوَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ
Artinya:
"Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (Yaitu) orang-orang yang beriman dan mereka selalu bertakwa. Bagi mereka berita gembira di dalam kehidupan di dunia dan (dalam kehidupan} di akhirat. Tidak ada perubahan bagi kalimat-kalimat (janji-janji) Allah. Yang demikian itu adalah kemenangan yang besar". (QS. Yunus: 62-64)
Tidak ada orang yang mengetahui hakikat taqwa kecuali Allah Swt. Allah berfirman:
فَلَا تُزَكُّوا أَنْفُسَكُمْ ۖ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنِ اتَّقَىٰ
Artinya:
"...maka janganlah kamu mengatakan dirimu suci. Dialah yang paling mengetahui tentang orang yang bertakwa". (QS. An-Najm: 32).
Saat menafsir ayat di atas, Imam Al-Baghawi menyatakan agar kita tidak mudah memuji orang lain. Mengapa? Ada Allah lebih mengetahui hakikat terdalam isi hatinya. Maka, janganlah mudah menyatakan seseorang sudah terbebas dari dosa, sebagaimana anjuran Imam Hasan Al-Bashri.
Ketika seseorang menyatakan diri tidak akan memuji dirinya, tentu saja ia tidak akan mudah memuji orang lain. Lha wong dirinya saja masih banyak kekurangan kok. Itulah taqwa, dan itulah bagian dari tanda-tanda sebagai walinya Allah.
Bila ada yang menyatakan bahwa setiap orang beriman adalah walinya Allah, maka, hal itu tidak bisa dibenarkan kecuali hanya pengertian secara umum saja, bahwa setiap mukmin memang memiliki potensi taqwa yang menjadikan dia memiliki syarat minimal menjadi wali. Allah berfirman:
اللَّهُ وَلِيُّ الَّذِينَ آمَنُوا يُخْرِجُهُمْ مِنَ الظُّلُمَاتِ إِلَى النُّورِ
Artinya:
"Allah Pelindung orang-orang yang beriman; Dia mengeluarkan mereka dari kegelapan (kekafiran) kepada cahaya (iman)". (QS. Al-Baqarah: 257)
Hanya dengan dasar iman dan taqwa (QS. Yunus: 63), setiap mukmin potensial menjadi kekasih Allah. Tak ada wali Allah yang tidak memiliki sifat dasar iman dan taqwa. Hanya saja, kadang iman setiap mukmin itu berbeda-beda. Kadang berkurang, kadang bertambah. Satu sisi dia taat, sisi lain dia maksiat. Yang imannya sempurna saja lah yang layak tergolong sebagai al-muttaqin.
Meski sebiji gandum sekalipun, jika kita memiliki iman, maka, Allah akan memberikan kasihnya kelak di akhirat (jaminan surga) walau harus dimasukkan ke neraka dulu sebagai bentuk keadilan Allah atas maksiat atau kedurhakaan yang kita lakukan di dunia. Setiap ahli kiblat, ia dijanjikan surga oleh Allah. Inilah maksud umum dari Surat Al-Baqarah ayat 257 di atas.
Kerena kesempurnaan kualitas taqwa seseorang berbeda-beda, maka, derajat kewalian hamba di mata Allah juga berbeda-beda. Ada yang disebut wali kutub, wali ghauts, wali abdal, wali autad, rijalul ghaib atau lainnya.
Namun, secara khusus, pengertian wali Allah adalah al-arif billah (yang mengenal Allah) dengan sebaik-baiknya cara ia mengenal Allah, baik dzat-Nya maupun sifat-Nya, senantiasa taat, menjauh dari segala keburukan, tidak terjerembab dalam kenikmatan (duniawi) dan syahwat, menjauh dari dunia dan langgeng mengingat Al-Maula (Dzat yang dia cintai, Allah Swt.).
Empat Syarat Wali Allah
Tidak mudah untuk mendeteksi seseorang sebagai wali Allah. Paling tidak ada empat syarat yang harus dipenuhi. Pertama, dia harus memahami pokok-pokok ilmu agama (ushuluddin). Sehingga, dengan ilmu tersebut, wali bisa membedakan mana yang makhluk dan mana yang Khaliq (Allah Swt). Dengan ilmu tersebut, ia bisa membedakan mana yang Nabi dan mana yang mutanabbi (mengaku sebagai Nabi).
Kedua, ia alim syariat, baik pemahaman maupun teks-konteksnya. Sehingga, cara dia taqlid sangat proporsional. Andai para ahli syariat di dunia ini wafat, dia bisa dijadikan rujukan untuk mendirikan tiang-tiang syariat. Di sinilah para wali Allah disebut sebagai penolong agama Allah (ألناصر لدين الله تعالى). Syarat kedua ini cukup berat. Hanya Rasulullah Saw. yang memiliki derajat sempurnah untuk tugas ini. Tapi, setidaknya, wali Allah pasti paham hukum syariat.
Ketiga, ia senantiasa berakhlak yang baik (mahmudah) yang bisa dibenarkan secara syariat maupun akal. Menjauhkan diri dari hal-hal yang haram adalah salah satu dalil dia mengikuti syariat.
Contoh selalu berakhlak terpuji secara akal (tauhid) adalah tiadanya dia bergantung dan berharap lebih atas dunia karena ia tahu bahwa selain Allah tidak ada yang bisa memberikan pengaruh. Ia tahu bahwa dirinya, sepenuhnya dalam genggaman kuasa Allah Swt. Ia juga paham bahwa semua ketentuan (takdir) sudah lama dipastikan oleh Allah. Maka ia tidak pernah khawatir dan tidak mau berharap atas semua hal yang bukan dikehendaki oleh Allah Swt.
Keempat, hatinya tidak pernah merasa aman dari murka Allah. Ia tidak kuatir atas nasibnya di dunia, tapi hatinya selalu khawatir bila dia tergolong sebagai kelompok yang dimurka oleh Allah. Ia tidak pernah merasa menjadi bagian orang yang beruntung, dan oleh karenanya ia selalu mencari jalan selamat menuju Allah Swt. Sifat inilah yang membuat para wali Allah memiliki sifat wira'i atau berhati-hati. [badriologi.com]
Download sumber PDF artikel:
- Dha'ul Ma'ali (hlm: 23)
- Jami'ul La'ali (hlm: 161-168)
- Darojul Ma'ali (hlm: 110-114)
- Nukhbatul La'ali (hlm: 96-99)
- Taqrirot Bad'ul Amali (hlm: 23)