![]() |
Makam Mbah Sartali di Mantingan. Foto: dok. pribadi. |
Oleh M. Abdullah Badri
MBAH Sartali yang dimakamkan di Jepaten Mantingan adalah seorang pedagang jujur yang ahli sedekah. Dia lahir di Cirebon dari ayah bernama Haji Muthohar dan Ibu Ivan, asli India. Nama kecilnya Viraj, yang dalam bahasa Indonesia berarti kuat pendirian.
Di usia 10 tahun, dia ditinggal wafat sang ayah. Dia kemudian dititipkan kepada Ngarsepen bin Rakka (alias Kabir), yang notabene masih keturunan India dan terhitung masih tunggal buyut.
Jiwa dagangnya diwarisi sejak kecil dari ibunya. Dia tahu angka, aksara, dan ilmu hitung, yang kala itu masih belum banyak dikuasai penduduk Jawa.
Saat pindah ke Semarang, baik Ngarsepen maupun Sartali, keduanya tinggal di rumah seorang kiai bernama Makruf Ali yang berada di bawah Bukit Semar, mungkin sekitar Gunung Pati atau Banyumanik sekarang.
Saat Ngarsepen pindah ke Jepara dan menjadi prajurit Kalinyamat, Sartali menikah dengan putri dari ayah asuhnya itu. Namanya Srigati. Darinya, Sartali memiliki anak Damar, Sungkem, Bekti dan Kromo, yang menurunkan banyak generasi di Mantingan hingga sekarang.
Sartali tidak mengikuti jejak mertuanya sebagai prajurit. Dia memilih menjadi pedagang pakaian saja, dimana dagangannya dikulakkan oleh sang mertua dari Cirebon.
Untuk melariskan dagangan, Sartali naik kuda mendatangi rumah-rumah dan para petani di ladang. Arah yang dituju adalah Manara Kudus, tempat ramai. Saking larisnya, sebelum sampai Kudus, dagangannya selalu habis.
Selain pakaian, Sartali juga menjual abu blarak pembersih gigi dan manisan gula. 80 persen hasil dagangnya dia sedekahkan, dan 20 lainnya dia berikan untuk nafkah istri dan mertua.
Saat murid-murid Datuk Jokosare Ngabul diboyong Mbah Bulus ke Bulungan, Mbah Sartali memberi mereka seperangkat pakaian shalat. Saingan bisnisnya kala itu adalah Kiai Murwat, Bandungrejo.
Kapan wafatnya? Jawaban itu bisa Anda baca di buku saya berjudul "Jejak Kisah Datuk Jokosari" atau "Kisah dan Jejak Wali di Jepara". Wallahu a'lam. [badriologi.com]
