Arti syi'ir Kitab Tauhid Bad'ul Amali ke-33 Bahasa Indonesia. Foto: badriologi.com. |
Oleh M Abdullah Badri
NADHAM ke-33 Bad'ul Amali menjelaskan tentang kemustahilan seorang wali menjadi Nabi. Dan selamanya, tidak ada wali yang bisa melebihi derajat Nabi, menyamainya saja tidak. Berikut ini teks syiirnya, yang dibaca penulis di Mushalla Al-Firdaus Ngabul Tahunan Jepara pada Desember 2020.
وَلَمْ يَفْضُــــــــــلْ وَلِيٌّ قَــــــــــــــــــــطُّ دَهْراً ۞ نَبِياًّ أوْ رَسُــــــــــــوْلاً فيِ انْتِحَــــــــــالِ
Artinya:
"Tidak seorangpun wali yang (sampai ke derajat) mengungguli Nabi selamanya. Dalam pengakuan dirinya maupun pengakuan orang lain".
Nadham di atas disusun sebagai bentuk ketidaksetujuan muallif kepada golongan Karomiyah yang menyatakan kemungkinan wali mengungguli Nabi dan Rasul. Innalillah. Ini adalah pendapat menyimpang, sesat dan kafir.
Sebanyak apapun keramat dan tingginya maqam yang dimiliki wali, ia tidak akan pernah bisa menyamai derajat seorang Nabi dan Rasul. Maqam seorang Nabi adalah anugerah, dan tidak bisa dicapai dengan memperbanyak ketaaatan. Nabi adalah orang-orang terpilih.
Allah Swt. telah berfirman dalam Al-Qur'an:
وَإِنَّهُمْ عِنْدَنَا لَمِنَ الْمُصْطَفَيْنَ الْأَخْيَارِ
Artinya:
"Dan sesungguhnya mereka pada sisi Kami benar-benar termasuk orang-orang pilihan yang paling baik". (QS. Shof: 47).
Baik di masa lalu maupun di masa yang akan datang, mustahil ada wali mengungguli Nabi dalam segala bidang, walau hal itu diakui oleh orang lain. Logikanya sederhana:
- Wali adalah orang yang mengikuti Nabi. Orang yang diikuti jelas lebih utama daripada yang mengikuti.
- Semua Nabi adalah ma'shum (terjaga dari dosa), sementara wali tidak. Para wali wajib khawatir tidak husnul khatimah.
- Wali memiliki potensi untuk dicabut statusnya. Sementara Nabi dan Rasul, sama sekali tidak. Mereka adalah ma'munul aqibah (yang dijamin akhir hayatnya pasti baik).
- Para Nabi memiliki keistimewaan wahyu dari Allah dan melihat mala'ikat. Rasul lebih dari itu, mereka mendapatkan perintah menyampaikan hukum-hukum Allah kepada umatnya sebagai petunjuk. Semua itu mereka dapatkan setelah mencapai tahap kesempurnaan minimal seperti sifat-sifat para wali.
Jadi jelas, untuk mencapai derajat sama dengan Nabi saja, seorang wali tidak akan bisa. Apalagi mengunggulinya. Diriwayatkan dari Abdu ibnu Humaid (dalam Kitab Hilyatul Auliya'), Rasulullah Saw. bersabda:
ما طلعت الشمس ولا غرُبت على أحد أفضل او أخير من أبي بكر الصديق إلا أن يكون نبيٌّ
Artinya:
"Selama matahari masih terbit dan terbenam, tidak ada yang lebih mulia atau lebih baik daripada Abu Bakar, kecuali dia Nabi".
Lihatlah, Sayyidina Abu Bakar ra. saja yang disebut manusia paling utama di antara sahabat tidak bisa mengungguli para Nabi, apalagi para wali.
Sabda Rasulullah Saw. di atas sekaligus menunjukkan bahwa para auliya' dari umat Nabi Muhammad Saw. tentunya lebih baik dari para wali di masa Nabi-Nabi sebelumnya, karena umat sekarang adalah khaira ummatin (sebaik-baiknya umat).
Dalam Kitab Al-Umdah, An-Nasafi menyatakan, satu orang Nabi lebih mulia dari semua wali yang pernah lahir di dunia ini.
Hanya saja ada sebagian kalangan Sufi yang melenceng dan menyatakan bahwa wali yang memiliki sifat الكامل من الكمال/al-kamil minal kamal (yang sempurna di antara sifat kesempurnaan) lebih unggul daripada seorang Nabi. Ini adalah pendapat kafir zindiq.
Wali Tanpa Ibadah
Anggapan bahwa orang yang telah mencapai derajat wali lalu gugur darinya segala ketentuan dan hukum syariat, maka, jangan mudah percaya. Jauhilah agar tidak tertipu. Alasanya, para Nabi yang sudah dipilih Allah Swt. saja masih terus melaksanakan kewajiban serta ibadah seperti shalat, zakat, puasa, haji dan lainnya. Bagaimana bisa ada wali yang memiliki hal meninggalkan semua itu?
Di Mesir, ada kelompok yang bertawassul kepada Tuhan dengan cara meninggalkan syariat Islam dan membuka aurat untuk memenuhi syahwat. Oleh orang-orang bodoh, mereka disebut memiliki makam wali. Na'udzubillah.
Di tanah Rumania, ada kelompok Dajjalun (anak buah Dajjal) yang mengaku memilik ilmu kassyaf dan ilmu gaib. Dengan ilmu tersebut, para penguasa banyak yang percaya mereka adalah wali, dan membenarkan semua ramalan mereka tentang masa depan. Ini adalah bentuk kebodohan. Mereka ini dukun. Bukan wali.
Rasulullah Saw. bersabda:
من أتى كاهنا فصدقه فيما يقول فقد كفر بما أنزل على محمد
Artinya:
"Siapa saja yang mendatangi dukun, dan dia membenarkan apa yang diucapkan, maka dia sudah kafir dengan apa yang telah diturunkan (Allah) kepada Muhammad".
Diriwayatkan, saat Sayyidina Ali kw. hendak menemui golongan Khawarij, seorang ahli Nujum (perbintangan) bernama Mufasir bin Auf menasehati begini:
"Ya Amir Mukminin, jangan berangkat sekarang. Berangkatlah besok. Pilih tiga waktu di siang hari. Bila engkau berangkat sekarang, Anda dan rombongan akan mengalami musibah dan kesulitan. Bila Anda berangkat sesuai dengan waktu yang saya tunjukkan, maka Anda akan berhasil mencapai tujuan".
"Semua itu tidak pernah diajarkan oleh Nabi Muhammad Saw. Aku tidak mempercai orang yang mengimani omongamu. Aku hanya berdoa اللهم لا طير إلا طيرك ولا خير إلا خيرك ولا إله إلا غيرك (tidak ada burung petaka kecuali burung-Mu, tidak ada kebaikan kecuali kebaikan-Mu, dan tidak ada Tuhan selain Engkau)," balas Sayyidina Ali, tak bergeming.
"Aku tidak percaya kepadamu, dan aku menyelisihi pendapatmu. Kami tetap berangkat sekarang," tambah Sayyidina Ali kw., tegas.
Kepada banyak orang yang hadir, Sayyidina Ali kw. kemudian mengeluarkan maklumat:
"Ingatlah, ahli Nujum itu seperti penyihir. Penyihir itu seperti orang kafir. Dan orang kafir bertempat di neraka. Demi Allah, bila aku mendengar kamu melihat ramalan bintang dan kamu mempercainya, aku penjarakan engkau selamanya, selama aku masih hidup dan engkau masih hidup. Selama aku menjadi Sultan, engkau haram menerima hadiah".
Sayyidina Ali kw. dan balatentaranya pun akhirnya tetap berangkat tanpa menggubris omongan Musafir bin Auf. Nyatanya, musuh terkalahkan. Ramalan ahli Nujum tak terbukti. Ini terjadi dalam peristiwa Perang Nahrawan yang maha dahsyat itu. La haula wa la quwwata illa billah. [badriologi.com]
Download PDF sumber artikel:
- Dha'ul Ma'ali (hlm: 23-24)
- Nukhbatul La'ali (hlm: 99-101)
- Darojul Ma'ali (hlm: 115)