Skenario RSNU Jepara. Foto ilustrasi: istimewa. |
Oleh M. Abdullah Badri
RENCANA pendirian Rumah Sakit NU di Jepara bermula dari janji kampanye Ketua NU Jepara saat mencalonkan diri sebagai Ketua Tanfidziyah. Setahun program PCNU tidak berprogres sejak terpilih -sebagaimana diakui sendiri-, rencana pendirian RSNU pun mulai dimunculkan sebagai program unggulan.
Gegap gempita akan memiliki rumah sakit seolah jadi angin segar atas program NU yang vakum. Nahdliyyin di Jepara menyambut gembira. Namun, di awal gagasan RSNU itu menyeruak, Syuriah NU Jepara sendiri tidak begitu bersemangat. Alasannya klasik banget, RSNU bukan gagasan dari unsur Syuriah NU Jepara, melainkan Tanfidziyah.
Seolah akan ada durian runtuh, gagasan RSNU kemudian ditangkap optimis oleh oknum Syuriah. Yang awalnya tidak bersemangat, kini dia tampil seolah jadi lokomotif gerakan wakaf untuk bakal lahan di Troso (setelah berganti-ganti target lahan). Ketua NU Jepara sendiri hingga pernah menyatakan kalau pihaknya, kini, seolah sudah tidak dianggap. "Mboh ijeh dianggep opo ora". Begitu katanya, suatu kali.
Tanpa persiapan matang, dan langsung meloncat ke pembebasan lahan, beberapa pihak ditodong menyetorkan sertifikat tanah miliknya sebagai syarat pencairan dana dari BMT-BMT yang akan menjadi kreditur (dengan bunga 1 persen, seperti yang saya dengar). Bank konvensional enggan terlibat dengan alasan-alasan waras dan rasional.
Setidaknya, ada enam sertifikat milik pengurus PCNU di Jepara yang terpaksa dititipkan ke BMT. Begitu dana kredit telah cair, sertifikat lahan RSNU justru berada di tangan pihak Syuriah NU. Padahal, dia sendiri dikabarkan tidak mau mengorbankan sertifikat miliknya sebagai jaminan ke BMT.
Belum lunas dibayar, pihak panitia dikabarkan sudah membuat skenario menarik dana untuk rencana pembangunan kamar di gedung RSNU. Beberapa orang disrok jutaan rupiah (bahkan ratusan juta) untuk rencana tersebut. Mengapa dana itu tidak untuk pembebasan lahan? Siapa yang mendapatkan keuntungan di awal sebelum gedung dibangun? Bagaimana bentuk gedungnya? Sudah ada kah? Kalau penggalian dana lahan tidak segera selesai, apakah dana itu bisa dimasukkan ke pembebasan lahan? Jawaban pertanyaan ini membawa banyak risiko terhadap marwah NU di Jepara.
Galangan dana pembebasan lahan tidak begitu berhasil sesuai target waktu. Pemilik sertifikat yang dijaminkan ke BMT pun ketar-ketir. Mereka tidak berani berunjuk rasa. Cara yang ditempuh hanya menekan koordinator gerakan wakaf di bawah. Tiap bertemu dengan mereka, pihak Tanfidziyah acap bertanya: "endi ururane, kang?". Nahdliyyin grassroot pun mumet ditekan terus-menerus.
Tekanan ini muncul sebab hukum wakaf yang asalnya sunnah, kemudian jadi wajib akibat dana pembebasan lahannya diambilkan dari hutangan beberapa BMT yang wajib dilunasi. Skenario ini jelas sangat berisiko. BMT tidak mau rugi, dan panitia tidak mau buntung. Sementara itu, ada pihak Syuriah yang berdalih kalau urusan dana BMT adalah tanggungjawab penuh pihak Tanfidziyah. Mereka sempoyongan terkait hal ini.
Hanya ada satu MWC NU Kecamatan yang saya anggap berhasil menjalankan tugas instruksi tidak rasional itu. Pasalnya, pengurus MWC tersebut meminta kepada panitia pembangunan RSNU di PCNU agar diberi jatah pembebasan tanah melebihi target pembagian asal. Hal itu sengaja dilakukan sebagai langkah antisipasi manakala PRNU di ranting-ranting ada yang mogok tidak mau setoran dana target, dengan pelbagai alasannya.
Bila ada satu-dua ranting di MWC tersebut tidak menyetorkan dana wakaf -yang hukumnya tidak wajib, lalu, mereka mengalihkan dana RSNU untuk aset mobil, misalnya-, pihak MWC bakal selamat bisa menyetorkan dana minimal yang ditargetkan dari pihak panitia RSNU. MWC itu terbukti sukses. Mereka berhasil 100 persen "baro'ah dzimmah" mampu menyetorkan dana target minimal ke panitia di NU Cabang.
Sayangnya, tidak semua MWC memiliki strategi lolos dari target wajib panitia RSNU Cabang tersebut. Beberapa pihak mencurigai atas berubahnya "kendali RSNU", dari Tanfidziyah ke Syuriah. Dimana-mana, ketua NU adalah pimpinan pelaksana atas Rumah Sakit yang dibuat. Di Jepara beda, pimpinan RSNU adalah Syuriah dengan masa jabatan lima tahun, sesuai AD/ART yayasan mandiri yang dibuat. Apakah AD/ART tidak akan bisa diubah di tengah jalan? Siapa yang menjamin?
Kabar kalau penyematan nama NU untuk setiap RS di bawah ARSINU beresiko ditarik jatah 10 atau 15 persen (sehingga nama NU di akronim RS dihilangkan), itu dalil tidak berdasar. Semuanya tergantung adanya akad di awal antara PC, PW, dan PB. Bila murni dibangun oleh PCNU, apalagi dibiayai nahdliyyin, ora ono tarikan! Baik dari PB ataupun PW.
Oleh karena itulah, wajar nahdliyyin grassroot banyak yang menyoal berubahnya RSNU ke RSU. Pihak pengontrol terlalu dhohir berpolitik. Bahkan, ada kabar munculnya gagasan bakal njungkelke jajaran Tanfidziyah agar kendali NU Jepara dipegang oleh hanya satu orang saja. Nau'dzubillah, bila ini benar. Bersambung ke judul: Ruang Gelap Konsep Sam'an wa Tho'atan. [badriologi.com]