Hadits Rasulullah tentang menyayangi anak dan menghormati orang tua. Foto: badriologi.com. |
Oleh M. Abdullah Badri
BANYAKNYA anak durhaka kepada orangtua, bisa jadi dimulai dari sikap orangtua yang tidak menyayangi anak. Akhirnya, anak tidak merasa berkewajiban menghargai jasa orangtua. Bila anak disumpahi tidak baik oleh orangtuanya, maka, orangtua sebetulnya sedang menjauhkan anak dari rahmat Allah Swt. Dia menjadi anak yang durhaka.
Dalam hadits shahih, Rasulullah Saw. sudah memperingatkan. Beliau bersabda (dengan mendahulukan menyanyangi anak daripada menghormati orang dewasa):
َْููุณَ ู َِّูุง ู َْู َูู ْ َูุฑْุญَู ْ ุตَุบِْูุฑََูุง ََُِّููููุฑْ َูุจِْูุฑََูุง
Terjemah:
"Bukanlah termasuk golongan kami, orang yang tidak menyayangi anak kecil dan tidak menghormati orang yang dituakan diantara kami" (HR. Tirmidzi, no.5445).
Karena itulah, sikap orangtua ketika anak lahir adalah bersyukur. Di zaman dulu, seorang ibu beranak tujuh, ketika dia dikabari dokter atau dukun bayi bahwa dia masih berkesempatan memiliki anak, dia tetap bersyukur. Bagi orangtua di zaman kuno, lahirnya seorang anak adalah anugerah, bukan petaka.
Oleh sebab itulah, hidup anak-anak di zaman kuno dipenuh dengan berkah, karena sejak lahir, sikap orangtua kepadanya adalah menerima kehadiran dengan penuh cinta. Buktinya, meski kekurangan sandang dan pangan, anak-anak di masa lalu sangat hormat dan merasa sangat ta'dzhim berterimakasih kepada orangtuanya.
Sehingga, hormatnya anak kepada orangtua bisa disebut sebagai balasan Allah Swt. rasa syukur orangtua atas hadirnya anak. Semakin bersyukur, nikmat kian bertambah. Allah Swt. berfirman:
َูุฆِู ุดََูุฑْุชُู ْ َูุฃَุฒِูุฏََُّููู ْ ۖ ََููุฆِู ََููุฑْุชُู ْ ุฅَِّู ุนَุฐَุงุจِู َูุดَุฏِูุฏٌ
Terjemah:
"Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih" (QS. Ibrahim: 7).
Di zaman akhir, banyak ibu yang tidak bersyukur setelah divonis positif mengandung anak. Seolah-olah, bertambahnya anak bukanlah nikmat, tapi beban. Bahkan, suami bisa menyalahkan istri karena terlanjur positif hamil. Akhirnya, mereka merawat anak dengan terpaksa.
Dalam bahasa Jawa, orangtua sekarang banyak yang "ngempet" seolah tidak ridla memberikan nafkahnya kepada anak. Padahal, rezeki orangtua dan anak pastilah berbeda. Buktinya, orangtua kaya yang setelah meninggal, hartanya habis dijual anak. Sebaliknya, banyak orangtua miskin anaknya tumbuh menjadi manusia yang berkecukupan.
Contoh syukur kepada anak adalah dengan mengucapkan hamdalah kala melihat anak bisa mengucapkan basmalah. Sudah bisa menulis huruf "alif ba' ta'" tapi belum bisa menulis huruf "kaf" atau "qof" misalnya, tetaplah harus disyukuri. Mengapa? Karena hal inilah yang membuat anak makin tumbuh terus ilmunya.
Mensyukuri hal yang kecil ibaratnya seperti api di dapur, yang bila ingin memasak pasti dipantik pertama dengan api kecil duluan hingga membesar. Syukur, dalam hal ini tidak hanya kepada Allah Swt., tetapi juga kepada manusia, gurunya anak-anak, dan yang mendukungnya tumbuh berkembang sebagai pribadi yang baik.
Rasulullah Saw. berpesan:
ู َْู ูู ْ ูุดُْูุฑ ุงَّููุงุณَ َูู ْ ูุดُْูุฑ ุงููู
Terjemah:
"Orang yang tidak berterimakasih kepada orang (lain) berarti ia tidak bersyukur kepada Allah" (HR. Tirmidzi).
Banyak orangtua yang tidak sadar bahwa anak, pada hakikatnya adalah titipan dari Allah. Orangtua sebetulnya tidak bisa merawat anak, kecuali dikehendaki oleh Allah. Lha wong mengurus diri mereka sendiri kerepotan kok. Mereka tidak begitu yakin bahwa anak sudah disiapkan rezekinya oleh Allah Swt.
Melihat orangtua yang keberatan merawat anak, bisa jadi, hati anak akan kian terpuruk. "Ya Allah, orangtua saya saja keberatan merawatku, lalu siapa yang sudi merawatku". Anak menjadi sosok yang mudah berkecil hati melihat orangtuanya yang seolah terpaksa "ngempet" membesarkan anak-anak mereka. "Ngerumat" tapi "ngempet".
Bila orangtua sudah tidak berbangga diri bisa membesarkan anak mereka, maka, wajar bila kelak anak yang tidak berbangga merawat orangtuanya kelak, di usia senja. Anak yang demikian bisa durhaka mendoakan orangtuanya cepat meninggal akibat sakit yang tidak lekas sembuh. Bila sudah banyak terjadi anak tidak sayang lagi kepada orangtua, tidak bangga memiliki orangtuanya, maka, saat inilah banyak keturunan manusia yang memiliki hati jelek.
Akibat Banyak Keinginan
Orangtua bisa merasa terbebani merawat anak sebab keinginan yang muncul akibat banyaknya hal yang didengar dan dilihat dari orang lain. Keinginan pribadi biasanya muncul setelah nyawang (melihat) sesuatu di luar dirinya. Dunia kapitalisme memang menawarkan banyak hal yang menggiurkan. Duduk di rumah sambil berselancar dengan hanphone pun, sales online marketing Toko Online sudah banyak menawarkan banyak barang yang mudah dibeli dengan hutang atau sistem COD. Hati pun jadi panas.
Jika aktivitas nyawang yang membuat hati panas terus dilanjutkan, harga manusia bisa menjadi lebih murah daripada satu barang. Membeli barang tidak harus bertemu pedagangnya. Cukup satu klik, barang pesanan sampai, transaksi selesai. Di kasus lain, suami atau istri rela ditinggal bertahun-tahun asal uangnya ditransfer. Kini, semua hal itu tidak masalah, dan jadi fenomena lazim bagi manusia yang hidup sekarang. Rasulullah Saw. sudah mengisyaratkan fenomena ini dalam sebuah hadits:
ูุฃุชู ุนูู ุงููุงุณ ุฒู ุงู ูููู ุงูู ุคู ู ููู ุฃุฐู ู ู ุดุงุชู
Terjemah:
"Akan datang zaman dimana seorang mukmin pada masa itu lebih hina (lebih murah) daripada kambingnya". (HR. Thabrani)
Fenomena yang terjadi, orang lebih suka merawat kambing daripada merawat anaknya. Menemukan kambing hilang lebih disukai daripada menemukan anak manusia yang hilang. Inilah fenomena lucu di akhir zaman.
ูุง ุงุจู ู ุณุนูุฏ! ุฅู ู ู ุฃุนูุงู ุงูุณุงุนุฉ ูุฃุดุฑุงุทูุง ุฃู ูููู ุงูู ุคู ู ูู ุงููุจููุฉ ุฃุฐู ู ู ุงูููุฏ
Terjemah:
"Hai Ibnu Mas'ud, sesungguhkan salah satu alamat dan tanda kiamat adalah dikala seorang mukmin dalam satu bangsa lebih rendah (harganya) daripada harta benda" (HR. Thabrani).
Zaman sudah terbalik. Harusnya, barang untuk kepentingan manusia, tapi sekarang, manusia bisa ditukarkan untuk suatu barang. Contoh minimal adalah kala musim Pemilu datang. Rakyat lebih suka memilih amplop tebal. Rakyat lebih memilih nilai tukar uang daripada nilai kejujuran.
Untuk mewujudkan keinginan yang kenemenen (kebangetan), orangtua banyak yang menyibukkan diri dengan pekerjaan. Setelah itu, mereka capek, pegel, dan saat inilah, ucapan-ucapannya tidak enak didengar oleh anak. Begitu pula tindakannya, tidak enak dilihat. Anak jemu melihat orangtuanya yang pikirannya tersandera keinginan.
Akibatnya, waktu habis. Ayah tidak lagi sempat mendongengkan anak jelang tidur. Memeluk mereka sebelum tidur pun tidak sempat. Dulu, anak sering melihat orangtua mereka ngobrol bareng, pijet-pijetan, dll, karena keinginan dan aktivitas orangtua mereka tidak terlalu banyak. Dulu, suami masih bisa merasakan bedak tengik istri karena waktu mereka banyak. Sekarang, bedak istri berasa hambar (Jawa: sepo) karena suami tidak memiliki waktu banyak untuk bercengkerama.
Sungguh bahagialah bagi suami yang tersenyum saat melihat istri dan anaknya. Orang inilah yang mendapatkan pahala perang di siang hari, dan mendapatkan pahala haji di malam hari. Dalam sebuah hadits, Rasulullah Saw. bersabda:
ุทูุจَู ูู ู ุจุงุชَ ุญุงุฌًّุง، ูุฃุตุจุญَ ุบุงุฒًูุง ุฑุฌٌู ู َุณุชูุฑٌ ุฐู ุนูุงٍู ู ุชุนٌِّูู ูุงูุนٌ ุจุงَููุณูุฑِ ู َู ุงูุฏُّููุง ูุฏุฎُู ุนูููู ุถุงุญًِูุง ููุฎุฑุฌُ ุนููู ุถุงุญًِูุง ููุงَّูุฐู ููุณู ุจูุฏِِู ุฃَّููู ูู ุงูุญุงุฌَُّูู، ุงูุบุงุฒَูู ูู ุณุจِูู ุงَِّููู ุนุฒَّ ูุฌَّู
Artinya:
"Beruntunglah bagi orang yang tidur sebagai orang yang haji, dan bangun pagi sebagai orang yang berjihad, yakni: seorang lelaki yang tidak dikenali, miskin, banyak tanggungan namun merasa cukup dengan sedikitnya dunia. Dia datang kepada mereka (keluarga) tersenyum dan keluar tersenyum (bahagia). Demi jiwaku yang berada di tangan-Nya! Mereka adalah orang yang melakukan haji dan berperang di jalan Allah (yang mendapat kemuliaan dan pahala keduanya)". (HR. Dailami - Hadits Dho'if yang dimuat dalam Kitab Jami'us Shoghir juga)
Anehnya, di zaman akhir, suami bisa tertawa lepas saat bergaul dengan temannya. Tapi, begitu melihat istrinnya lewat, langsung mingkem. Sebaliknya, istri juga kadang bisa tertawa lepas dengan tetangga, tapi begitu melihat suami pulang dari kerja justru dianggap sebagai tanda penyakit bakal datang. Innalillah.
Fenomena anak yang lebih menaaati perintah juragan daripada orangtua, juga terjadi. Alasannya, dibanding juragan, orangtua si anak dianggap tidak bisa membantu mewujudkan keinginan memiliki barang atau harapan. Sama-sama sakit misalnya, anak pun ada yang lebih memilih menunggui dan merawat juragan daripada orangtuanya.
Memuliakan Anak dengan Ilmu
Maka, untuk mendidik anak sejak dini, ada baiknya menyimak firman Allah Swt. di bawah ini:
ุฎُุฐِ ูฑْูุนََْูู َูุฃْู ُุฑْ ุจِูฑْูุนُุฑِْู َูุฃَุนْุฑِุถْ ุนَِู ูฑْูุฌََِِٰูููู
Terjemah:
"Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang ma'ruf, serta berpalinglah dari pada orang-orang yang bodoh". (Al-A'raf: 199).
Ayat di atas menyiratkan kepada kita agar menjadi manusia pemaaf. Terutama kepada anak sendiri. Maaf adalah bentuk dari kasih sayang. Bila kesalahan apapun dari anak tidak mudah dimaaf atau orangtua masih menyimpan kecewa di hati sebab ulah anak, maka, anak tidak mendapatkan rahmat dari Allah Swt. Akhirnya, dia tumbuh sebagai pribadi yang sulit mendapatkan nur Allah Swt. Mereka sulit diberi nasihat, apalagi perintah baik.
Rasulullah Saw. bersabda:
ุฃَْูุฑِู ُูุง ุฃََْููุงุฏَُูู ْ َูุฃَุญْุณُِููุง ุฃَุฏَุจَُูู ْ
Terjemah:
"Muliakanlah anak-anak kalian dan perbaikilah tingkah laku mereka" (HR. Ibnu Majah - No. 3661).
Hadits di atas cukup unik, mengingat kita, sebagai anak, perintah yang datang biasanya adalah "muliakanlah orangtuamu". Di hadits ini, Rasulullah Saw. berpesan agar orangtua memuliakan anak-anaknya dan mendidik mereka menjadi pribadi yang berbudi baik.
Cara termudah memuliakan anak ialah dengan memberi mereka asupan ilmu agama yang baik. Semakin anak berilmu, derajatnya makin ditinggikan oleh Allah Swt., sebagaimana firman-Nya:
َูุฑَْูุนِ ุงَُّููู ุงَّูุฐَِูู ุขู َُููุง ู ُِْููู ْ َูุงَّูุฐَِูู ุฃُูุชُูุง ุงْูุนِْูู َ ุฏَุฑَุฌَุงุชٍ
Terjemah:
"Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat" (QS. Al-Mujadilah: 11).
Orang berilmu, jika dia sudah naik derajat, siapapun sulit menurunkan derajatnya walaupun dibenci oleh banyak orang dan dari keturunan orang miskin. Ibarat uang 100 ribu, meski kertasnya terkena kotoran sekalipun, nilai tukarnya tidak akan turun menjadi 10 ribu. Beda dengan orang bodoh dan jahil, walaupun dia anak kiai atau orang kaya, derajatnya tetap di bawah. Ibarat uang 10 ribu, meski diberi minyak wangi satu drum, nilainya tidak akan naik menjadi 100 ribu.
Gaya hidup orang berilmu itu mudah mencari solusi. Baginya, dengan ilmu, pintu kesulitan mudah dibuka. Sulitnya segala sesuatu sebab tertutup oleh bodohnya mencari solusi. Karena itulah, di dunia ini, tidak ada sesuatu yang sulit sekaligus tidak ada yang mudah. Sulit sebab tidak mampu. Mudah sebab ada ilmu.
Sungguh indah sabda Rasulullah Saw.:
ู َْู ุฃَุฑَุงุฏَ ุงูุฏَُّْููุง َูุนََِْููู ุจِุงْูุนِْูู ِ, َูู َْู ุฃَุฑَุงุฏَ ุงูุฃَุฎِุฑَุฉَ َูุนََِْููู ุจِุงْูุนِْูู ِ, َูู َْู ุฃَุฑَุงุฏَُูู َุง َูุนََِْููู ุจِุงْูุนِْูู ِ
Terjemah:
"Barang siapa menginginkan soal-soal yang berhubungan dengan dunia, wajiblah ia memiliki ilmunya ; dan barang siapa yang ingin (selamat dan berbahagia) di akhirat, wajiblah ia mengetahui ilmunya pula; dan barangsiapa yang menginginkan kedua-duanya, wajiblah ia memiliki ilmu kedua-duanya pula" (HR. Bukhari & Muslim).
Orang-orang yang berilmu, lalu hidupnya menjadi serba mudah, inilah yang dikehendaki oleh Allah Swt. Simaklah firman-Nya di bawah ini:
ُูุฑِูุฏُ ุงَُّููู ุจُِูู ُ ุงُْููุณْุฑَ ََููุง ُูุฑِูุฏُ ุจُِูู ُ ุงْูุนُุณْุฑَ
Terjemah:
"Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu" (QS. Al-Baqarah: 185).
Karena itulah, pendidikan anak sudah seharusnya lebih dipentingkan daripada lebih sibuk memikirkan harta yang akan diwariskan kepada anak. Memikirkan harta tinggalan untuk anak, walau hal itu lumrah untuk semua orangtua, tapi bila keterlaluan, itu sama saja memikirkan kumis si anak di waktu kecilnya. Kumis akan tumbuh sendiri seiring usia, tidak perlu dipikir terlalu khawatir.
Tinggalilah anak dengan ilmu, terus-menerus. Dengan begitu, hidupnya akan mapan sendiri tanpa diperintah. Itulah janji Allah Swt. kepada orang-orang yang berilmu dan berakhlak mulia, baik kepada dirinya sendiri, orangtua, atau orang lain. Mereka inilah yang akan diangkat derajatnya oleh Allah Swt.
Tidak Mudah Mencela
Agar mendapatkan anak yang berilmu, sholeh dan sholehah, salah satu kuncinya adalah tidak mudah mencari-cari kejelekan orang lain. Termasuk tidak mudah mencela anak orang lain yang, barangkali, akhlaknya berbeda jauh dari orangtuanya.
Rasulullah Saw. bersabda:
ู َْู ุนََّูุฑَ ุฃَุฎَุงُู ุจِุฐَْูุจٍ َูู ْ َูู ُุชْ ุญَุชَّู َูุนْู ََُูู
Terjemah:
"Siapa yang menjelek-jelekkan saudaranya karena suatu dosa, maka ia tidak akan mati kecuali melakukan dosa tersebut" (HR. Tirmidzi).
Bila anak sendiri nakal, dibela. Bila anak orang lain nakal, dicela. Ini perbuatan tidak adil yang bisa berefek negatif terhadap anak. Orang yang mudah mencela ibarat seperti mencium ketiak diri sendiri, yang baginya, tidak begitu berbau, seolah ketiaknya rasa jeruk. Tapi, begitu mencium bau ketiak orang lain, baunya seolah tidak lebih menyengat dari ketiak sendiri. Begitulah manusia.
Rasulullah Saw. berpesan:
ุทُูุจَู ِูู َْู ุดَุบََُูู ุนَْูุจُُู ุนَู ุนُُููุจِ ุงَّููุงุณِ
Terjemah:
"Sungguh beruntung seseorang yang disibukkan dengan aibnya sendiri sehingga lalai dengan aib orang lain". (HR. Bazzar)
Mengingat-ngingat kebaikan orang lain, walau pasti ada kekurangannya, sangatlah bermanfaat untuk menanmkan energi positif kepada diri sendiri dan anak. Beruntunglah orang yang lupa keburukan orang lain karena sibuk memperbaiki dirinya sendiri.
Perbedaan baik dan buruk seseorang itu sangatlah tipis. Orang baik pasti pernah berbuat jelek, tapi kebaikannya sangat banyak. Beda dengan orang bertabiat buruk. Dia pasti memiliki sisi kebaikan walaupun tidak banyak. Hanya saat kumat saja dia baik. Tapi, semua manusia pasti memiliki sisi baik maupun buruk.
Meski begitu, kita tidak akan mengetahui pasti seberapa banyak kebaikan dan keburukan yang dilakukan orang lain. Itulah sebabnya, orang yang sibuk mencela pasti lebih banyak keburukannya daripada yang dicela. [badriologi.com]
Keterangan:
Konten artikel ini disarikan dari ceramah (alm.) KH. Imam Syairozi, Lamongan.