Hadits pentingnya menjaga kerukunan rumah tangga. Foto: badriologi.com. |
Oleh M. Abdullah Badri
HUKUM asal menikah itu tidak wajib. Tapi, ketika manusia sudah menikah, mereka wajib membangun keluarga yang sejahtera. Mengapa? Rumah tangga yang congkrah (tidak rukun), bukan hanya membuat susah pasangan, tapi juga orangtua dan keturunan. Menikah itu mudah, tapi membangun rumah tangga, tidak semudah membalikkan telapak tangan. Membangun rumah tangga ibarat jihad memerangi hawa nafsu.
Ada dua karakter yang perlu diubah dalam membangun rumah tangga. Pertama, pasangan harus bisa membangun tangga rumahnya, baik dari tampilan luar maupun dalam. Adalah tidak baik bila orang berumahtangga terlalu mementingkan bangunan luar rumah tangga, tapi internal hidupnya tidak diperhatikan. Bahasa Jawanya: "pinter dandan njobo, ora pinter dandan njero".
Di rumah, istri tidak berdandan, tapi saat keluar rumah, wajahnya dipercantik. Begitu pula suami, di mata masyarakat ia bisa jadi dikenal sebagai tokoh yang disegani, tapi di dalam rumahnya, dia menjelma pribadi kasar. Ini karena, dalam membina keluarga, ada yang terlalu "pinter dandan njobo, tapi ora pinter dandan njero".
Sayangnya, kebanyakan manusia memang lebih mementingkan tampilan luar daripada performa internal rumah tangganya. Buktinya, ketika membangun rumah, banyak di antara kita lebih memilih mempercantik teras rumah daripada ruang kamar, dapur atau sisi dalam lain. Padahal, teras bukanlah ruang keluarga. Inilah penyakit pertama dalam rumah tangga. Bahkan, saking sibuk memikirkan orang lain di luar rumah, istri tetangga lebih diperhatikan daripada istri sendiri. Karena itulah, Rasulullah Saw. bersabda:
خَيْرُكُمْ خَيْرُكُمْ لأَهْلِهِ وَأَنَا خَيْرُكُمْ لأَهْلِى
Terjemah:
"Sebaik-baik kalian adalah (suami) yang paling baik terhadap keluarganya dan aku adalah yang paling baik terhadap keluargaku". (HR. Tirmidzi).
Kedua, salah satu penyakit dalam berumahtangga adalah suka diperhatikan namun tidak suka memperhatikan. Suka dipahami, tapi tidak memahami. Hendaknya pasangan pengantin tidak perlu berharap memiliki pasangan baik, tapi berharaplah menjadi pribadi yang berbudi baik. Dengan begitu, pasangan akan ikut serta menjadi pribadi yang baik.
Bila suami baik, secerewet apapun istri, dia akan bisa memahami. Sekeras apapun watak laki-laki, dia akan memahami istrinya bila si istri bisa membahagiakan suami. Untuk saling memahami, pasangan suami-istri hendaknya saling terbuka dan membangun dialog yang harmonis. Jangan segan menanyakan apa kebutuhan pasangan dan bagaimana harus diperlakukan. Sebab, tidak ada manusia sebaik mala'ikat, yang bisa memahami seagala keinginan orang lain.
Bila dialog saling memahami tidak terjadi, maka, suami tidak betah mendengarkan keluhan istri, dan sebaliknya, istri tidak tahan mendengarkan kehendak suami. Bila mendengarkan saja tidak mau, lalu bagaimana mereka bisa saling memahami dan saling membahagiakan. Tentunya jauh panggang dari api.
Ingatlah, ruh keluarga ada pada tradisi bermusyawarah yang hidup. Keluarga yang sudah tradisi musyawarahnya hilang, tergolong keluarga mati. Komunikasi dalam keluarga yang mati terpaksa dibangun lewat kurir anak atau media telepon atau tulisan.
Saking sulitnya membangun rumahtangga, Rasulullah Saw. sampai memperingatkan begini:
طوبَى لمن باتَ حاجًّا، وأصبحَ غازيًا رجلٌ مَستورٌ ذو عيالٍ متعفِّفٌ قانعٌ باليَسيرِ منَ الدُّنيا يدخلُ عليهم ضاحِكًا ويخرجُ عنهم ضاحِكًا فوالَّذي نفسي بيدِهِ أنَّهم هم الحاجُّونَ، الغازونَ في سبيلِ اللَّهِ عزَّ وجلَّ
Artinya:
"Beruntunglah bagi orang yang tidur sebagai orang yang haji, dan bangun pagi sebagai orang yang berjihad, yakni: seorang lelaki yang tidak dikenali, miskin, banyak tanggungan namun merasa cukup dengan sedikitnya dunia. Dia datang kepada mereka (keluarga) tersenyum, dan keluar tersenyum (bahagia). Demi jiwaku yang berada di tangan-Nya! Mereka adalah orang yang melakukan haji dan berperang di jalan Allah (yang mendapat kemuliaan dan pahala keduanya)". (HR. Dailami - Hadits Dho'if yang dimuat dalam Jamius Shoghir juga).
Dari hadits di atas, tanda keberuntungan orang berumahtangga bisa dirinci di bawah ini:
1. Qoni' (Cukup/Puas)
Suami puas dengan istrinya. Istri puas dengan suaminya. Kadang ada suami yang belum puas dengan istrinya. Padahal anaknya sudah banyak. Seorang kiai pernah berpesan, kumpulkanlah harta sebanyak mungkin, bangunlah rumah semewah mungkin, tapi jika kalian -para pengantin- belum saling menerima (Jawa: marem) atas pasangannya, jangan berharap akan berhasil membangun keluarga bahagia.
Dulu, para orangtua berpesan kepada anaknya. "Nak, sebelum engkau memiliki pasangan, bukalah matamu selebar-lebarnya. Tapi, setelah engkau menikah, tutuplah matamu serapat-rapatnya". Karena itulah, akhlak terbaik bagi pasangan yang sudah menikah ialah tidak menoleh kanan-kiri sambil membuat perbandingan.
Bila suami bisa membangun sikap saling marem, puas dan memahami istri, sang istri akan tampak lebih cantik dibanding usia mudanya -walaupun sudah beranak dua. Sebaliknya, istri yang tidak diperhatikan oleh suaminya, begitu dia beranak satu, kondisinya bisa tampak lebih buruk dibanding tampilan usia perawannya, dulu.
2. Mastur (Menutup Rapat Aib Keluarga)
Aib harusnya ditutup rapat. Suami, istri, menantu, besan, semuanya harus menutupi keburukan mertua. Ini tanda rumahtangga bahagia. Sebisa mungkin, semua unsur dalam bangunan rumahtangga bisa saling menuturkan kebaikan masing-masing. Apalagi istri, sebisa mungkin ia menjadi penutup suaminya.
3. Dhohik (Tersenyum)
Walaupun rumahnya jelek, jika suami selalu tersenyum saat bertemu istri, itu tanda rumahtangga bahagia. Tersenyum itu gampang. Tapi faktanya, banyak dijumpai suami bisa tersenyum kepada teman, tidak kepada istri.
Bercanda dengan keluarga, meski hal yang remeh, pahalanya bisa menyamai ibadah i'tikaf di Masjid Madinah. Rasulullah Saw. banyak bercanda kala bercengkerama dengan keluarganya. Dalam sebuah hadits riwayat Sayyidah A'isyah ra., Rasulullah Saw. diilustrasikan sebagai sosok yang murah senyum dan humoris saat berada di rumah.
عَنْ عَائِشَةَ أَنَّهَا سُئِلَتْ: كَيْفَ كَانَ رَسُولُ اللهِ ﷺ إِذَا خَلا فِي بَيْتِهِ؟ قَالَتْ: كَانَ أَلْيَنَ النَّاسِ وَأَكْرَمَ النَّاسِ. وَكَانَ رَجُلا مِنْ رِجَالِكُمْ إِلا أَنَّهُ كَانَ ضَحَّاكًا بَسَّامًا
Artinya:
"Dari Aisyah, ia ditanya bagaimana Rasulullah SAW ketika sendirian di rumah? Ia menjawab: 'Beliau adalah manusia yang paling lembut dan manusia yang paling mulia, beliau seorang dari kaum laki-laki kalian, hanya saja beliau humoris nan banyak senyumnya'." (HR. Ahmad)
Bercandanya pasangan pengantin baru di kamar justru membuat mertua sangat bahagia jika mendengarnya. Bahkan, bila hal ini berlanjut, bisa jadi, ibu mertua akan hamil bersamaan dengan menantu perempuannya. Nyetrum.
Bila bercanda (guyon) saja tidak terjadi dalam sebuah keluarga, tentu tradisi musyawarah sulit dibangun. Akibatnya, anak yang hidup dalam keluarga yang mati suri, tidak akan mengenal jenis komunikasi yang baik dengan sesamanya, di luar rumah. Maunya menang sendiri dan harus dituruti. Bila tidak, ngambek, ngamuk.
Awal Membangun Kebahagian
Jika rukun, menikah bisa menjadi awal dari kebahagiaan pasangan rumah tangga. Suami membutuhkan istri, dan istri membutuhkan suami. Yang dulu miskin, setelah menikah, mereka insyaAllah hidup makmur. Syaratnya: rukun.
إِنَّ اللهَ تَعَالَى يَقُولُ : أَنَا ثَالِثٌ الشَرِيكَينِ مَالَم يَخُن أَحَدُهُمَا صَاحِبَهُ، فَإِذَاخَانَ أَحَدُهُمَا صَاحِبَهُ خَرَجتُ مِن بَينِهِمَا
Terjemah:
"Allah Swt. berfirman: 'Aku adalah pihak ketiga dari dua orang yang bersyarikat (rukun) selama salah satu pihak tidak mengkhianati pihak yang lain. Jika salah satu pihak telah berkhianat, Aku keluar dari mereka'.". (HR. Abu Dawud).
Pertologan Allah Swt. akan diberikan kepada pasangan yang bisa membina kerukunan. Tapi, begitu salah satu di antara pasangan itu berkhianat, Allah Swt. mencabut pertolongan-Nya untuk mereka. Barangkali dalam keluarga, harta sangat lancar, tapi hidup yang dijalani menjadi hampa karena tiadanya kerukunan.
Pengantin yang rukun insyaAllah bakal dianugerahi hujan rezeki. Di zaman Nabi Musa as. pernah terjadi paceklik. Umat Bani Israel mengeluhkan tanaman yang tidak tumbuh karena hujan tidak segera turun. Nabi Muda as. meminta kepada Allah Swt. dengan shalat istisqa' hingga tiga kali. Tapi hujan tidak segera turun.
"Ya Allah, mengapa hujan tidak turun setelah aku shalat Istisqa'? Apa yang terjadi?"
"Aku tidak menurunkan hujan sebelum umatmu yang suka menggunjing (Jawa: ngrasani) temannya tidak behenti," jawab Allah Swt. kepada Nabi Musa.
"Siapa dia Ya Allah? Jika engkau beritahu, aku akan memberinya pelajaran".
"Jangan begitu Musa! Jika aku memberitahumu, maka, aku sama saja menggunjing umatku sendiri. Aku Maha Rahmat, Musa".
Akhirnya, Nabi Musa as. mengumpulkan semua umatnya dalam sebuah perkumpulan dan mereka diminta untuk meminta ampun kepada Allah Swt., saling memberi maaf kepada sesama dan berjanji menjadi manusia yang siap hidup rukun.
Setelah itu, tanpa melakukan shalat Istisqa' lagi, Nabi Musa as. dan umatnya diberi hujan lebat, dan tanaman segera bisa dipanen. Inilah contoh dan berkah hidup saling rukun dan memaafkan.
Beruntunglah rumahtangga yang rukun. Tentang hal ini, Rasulullah Saw. bersabda:
طُوبَى لِمَنْ مَلَكَ لِسَانَهُ، وَوَسِعَهُ بَيْتُهُ، وَبَكَى عَلَى خَطِيئَتِهِ
Terjemah:
"Keberuntungan adalah milik orang yang kuasa menjaga lisannya, merasa cukup dengan rumahnya sebagai tempat berlindung dan senantiasa menangisi (menyesali) atas setiap kesalahannya". (HR. Thabrani)
Pertama, Menjaga Lisan
Banyak keluarga yang bahagia sebab lisan yang digunakan dengan bahasa yang indah. Misalnya, hitamnya kulit dibahasakan dengan manis. Gembrotnya istri, diganti dengan kata montok. Dan kurusnya istri diganti dengan langsing. Memanggil pasangan bukan dengan namanya, tapi kedudukannya (mas, mamah, papa, sayang, dll).
يا عليُّ، ما خَلقَ اللّه ُ تعالى في الإنسان أفضلَ من اللّسانِ؛ بِهِ يدخُلُ الجنّةَ و بِهِ يدخُلُ النّارَ فاسجِنْهُ فإنَّهُ كلبٌ عَقورٌ
Terjemah:
"Wahai Ali, Allah tidak menciptakan sesuatu dalam diri manusia yang lebih utama daripada mulut. Mulut bisa menjadikan seseorang masuk surga, dan juga masuk neraka, maka jagalah mulutmu, sesungguhnya mulut itu laksana anjing galak".
Sangat baik bila istri bertutur halus kepada suaminya. Dengan tutur bahasa yang halus, rasa kasih dan cinta seorang suami kian bertambah. Jika sudah sayang, yang lebih bahagia justru istri. Anaknya juga kenal dengan bahasa halus, dan bertutur halus kepada orangtua. Keluarga yang memiliki tradisi bertutur halus, insyaAllah tidak memiliki kamus bahasa kasar kala terjadi cekcok.
Tidak sedikit pasutri yang mengalami ketidakbahagiaan setelah menikah. Hidupnya makin susah, tekanan makin banyak, tubuhnya kering kerontang akibat ucapan lisan yang keluar tidak mengenakkan telinga. Banyak keluarga berantakan sebab lisan yang bentuknya sempit itu.
Karena itulah, Rasulullah Saw. mengaitkan tutur kata lisan dengan keimanan. Beliau Saw. bersabda:
مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْراً أًوْ لِيَصْمُتْ، وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَاْليَوْمِ الآخِرِ فَلْيُكْرِمْ جَارَهُ، وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ فَلْيُكْرِمْ ضَيْفَهُ.[رواه البخاري ومسلم]
Terjemah:
"Siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir hendaklah dia berkata baik atau diam, siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir hendaklah dia menghormati tetangganya dan barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka hendaklah dia memuliakan tamunya". (HR. Bukhari & Muslim)
Diceritakan, dulu ada seorang raja yang salah satu menterinya meninggal dunia. Untuk mendapatkan gantinya, sang raja melakukan rekrutmen terbuka. Banyak orang yang mendaftar. Setelah diuji, hanya tiga orang yang lolos verifikasi. Dalam tes lanjutan, nilai ketiganya sama. Hal ini berlanjut hingga berkali-kali. Secara kualitas, ketiganya memang setara ilmu dan pengetahuan. Raja bingung.
Tanpa pikir panjang, Raja kemudian memasukkan bacalon menterinya itu ke sebuah kamar. Raja mengeluarkan kentut. Bacalon menteri yang pertama ditanya, "kamu mendengar kentut saya tidak?" Dijawab iya. "Bagaimana baunya?" Dia menjawab: wangi. "Bohong. Kamu tidak layak jadi menteriku, masak ada kentut baunya wangi," jawab Raja.
Orang kedua ditanyai juga. Dia mengaku mendengar suara kentut raja yang berbau busuk. Dia jujur apa apanya. Tapi tetap saja tidak lolos verifikasi sebagai calon menteri. Menurut Raja, orang kedua ini tidak layak menjadi menteri. Alasannya, kejujurannya terlalu vulgar, dan dianggap membongkar rahasia.
"Bau atau wangi?" Tanya sang Raja kepada orang ketiga. "Saya pilek, tuan. Tidak mampu mendengar dan merasakan kentut". Tak disangka, jawaban inilah yang justru dipilih raja. Cerita ini hanyalah tamsil tentang pentingnya menjaga lisan. Sebab lisannya dijaga, derajat bisa diperoleh di dunia dan akhirat.
Kedua, Rumah Luas
Keluarga yang bisa menjaga kerukunan, rumahnya terasa luas. Sebaliknya, bila tidak rukun, walau rumahnya berukuran sangat luas dan mewah, rasanya sempit. Mertua yang tidak rukun dengan menantunya, rumah akan menjadi ruang kucing-kucingan. Seolah, mertua jadi musuh menantunya. Dia tidak nyaman di rumah bila sang mertua belum tidur.
Dipannya luas, tapi pasangan tidak rukun, keduanya bisa tidur saling membelakangi. Bahkan bisa saling mengusir dari kamar. Bila suami-istri saling rukun, dipan setengah meter pun bisa dimanfaatkan berdua, dengan posisi "atas dan bawah".
Ketidakrukunan dalam rumahtangga bisa jadi karena salah satu orang di dalam rumah merasa benar. Seolah, kejelakan dirinya tidak dianggap salah, dan kesalahan orang lain, dibesar-besarkan. "Tawar" atas kesalahan diri, tapi tidak "tawar" terhadap kesalahan orang lain. Inilah penyakit yang perlu dihindari dalam membangun keluarga.
Berbuatlah baik kepada diri sendiri tanpa menunggu orang lain berbuat baik terlebih dahulu. Inilah kunci rukun dalam rumah tangga.
Ketiga, Menangisi Kesalahan Sendiri
Orang salah itu tidak terpuji. Tapi ada yang lebih tidak terpuji dari itu, yakni: tidak mau mengakui kesalahan diri sendiri. Ingatlah, pasangan adalah manusia. Tidak ada manusia yang sempurna. Tiada gading yang tak retak, dan tiada mawar yang tak berduri.
Kadang ada istri yang memiliki suami gagah, tampan, tapi tidak terlalu pintar mencari nafkah. Ada pula suami yang jelek, rembes, namun banyak duit. Adapula suami bertubuh kecil, tapi fisiknya kuat dalam urusan kamar.
Begitu pula istri. Ada yang cantik, tapi cerewet. Cantik, tidak cerewet, tapi mudah sakit, juga ada. Adapula istri yang tidak cantik, tapi selalu sehat, bahkan tidak pernah sakit parah.
Maka, bila ingin mencari pasangan yang tidak memiliki satu kesalahan, jangan menikah dengan manusia. Karena itulah, Allah Swt. mengatakan kepada para Malaikat kalau setiap Senin dan Kamis, Dia memberikan ampun kepada setiap orang yang beriman (mukmin), kecuali kepada mereka yang belum mau memberi maaf kepada orang lain yang berbuat salah kepadanya.
Orang yang tidak mau memberi maaf atas kesalahan orang lain sama dengan mengawetkan dosanya sendiri. Sebaliknya, manusia yang mudah menerima maaf atas kesalahan orang lain adalah manusia yang bertindak cepat menghapus dosa-dosanya sendiri. Wallahu a'lam. [badriologi.com]
Keterangan:
Konten artikel ini disarikan dari ceramah (alm.) KH. Imam Syairozi, Lamongan.