Apel 1000 Kader Banser di Jepara, 25 Agustus 2023. Foto: dokumen. |
Oleh M. Abdullah Badri
AKAN ada banyak hal irasional yang bakal terjadi jelang agenda demokrasi formal seperti Pilpet, Pilkada, Pilpres, Pileg dan lainnya. Tetiba saja marak dundum doorprize, hadiah, uang bantuan ratusan ribu ke erte-erte, dan lainnya, yang dikemas dalam jalan sehat mendadak, sunatan massal mendadak, pengajian mendadak, tasyakuran mendadak, ziarah ke makam-makam mendadak, dangdutan mendadak, hingga gelar pasukan (apel akbar) mendadak.
Seperti hujan tanpa awan. Tidak ada jawaban atas orang-orang yang menanyakan latar belakang agenda-agenda jelang momentum sosial politik tersebut. Ormas dan kelompok kecil tingkatan erte seolah muncul sebagai kuda hitam atas "proyek-proyek langka" (tapi bernilai), yang lazimnya diselesaikan oleh suatu badan Event Organizer (panitia yang dibayar profesional).
Bagi kelompok apolitik, agenda itu bisa dianggap sebagai realitas hakiki yang membuat mereka senang, terkenal, bangga dan kenyang. Tapi bagi kelompok kritis, hal itu dianggap sebagai kemasan luar belaka. Sebab, dalam semiotika tanda, peristiwa politik tidak mungkin berdiri sendiri. Di sana ada dua realitas. Pertama, realitas hakiki, dan ini bisa disebut sebagai agenda tersembunyi. Kedua, realitas tanda, yang terwujud sebagai kemasan. Melalui tanda, kelompok kritis mampu membaca hidden agenda. Apalagi tanda yang muncul terkesan kemproh (norak).
Realitas pertama mungkin berupa gelaran pasukan atau sunatan massal, tapi bagi kelompok kritis, realitas kedua yang tersembunyi jelas merupakan agenda politik, yang detailnya hanya diketahui shahih oleh "sang pemesan paket". Dibantah dengan hujjah aswaja sekalipun, pasti ada kepentingan politik tersembunyi di balik realitas yang ditampilkan. Apalagi tanda-tanda yang muncul terkesan dibuat-buat untuk permainan "sang pemesan paket".
Begitulah demokrasi. Ia hanyalah formalisme politik yang diagendakan, yang dibuat-buat, yang direkayasa, yang diselubungkan, yang lalu dilupakan setelah target-target tercapai. Cukup kejutan hadiah berupa binatang ternak, kulkas, kipas angin atau bahkan "tolak angin", semuanya bisa diupayakan dengan mudah dan murah, demi, agar dan untuk: sesuatu yang tidak dipahami, kecuali oleh "penerima order". Siapa yang untung dan siapa yang buntung, tak bisa dijelaskan secara jernih.
Butuh Kemasan Elegan
Bagi politisi senior, agenda politik mampu dikemas secara elegan dan tidak norak. Saya jadi ingat Presiden Jokowi yang elegan menjawab kritik SBY dengan cara: langsung terbang ke Hambalang dan berfoto selfie. Bagi orang awam sekalipun, tindakan Jokowi adalah bentuk kritik balik ke SBY yang disampaikan secara elegan, cerdas, tidak membuat polemik, tapi menggetarkan kubu pengkritiknya.
Sementara itu, bagi elit politik lain, agenda politik tidak mampu mereka kemas dengan baik dan elegan. Asal bisa mengumpulkan massa untuk popularitas, elektabilitas atau superioritas, agenda apapun bisa digelar, walau secara momentum tidak tepat (atau terlambat), tidak sesuai kultur, atau tidak ada sebab-akibat yang bisa diterima akal sehat.
Mereka tahu, mayoritas rakyat Indonesia yang terafiliasi dalam organisasi, perkumpulan, perserikatan dan lainnya, mudah dijinakkan asal "sang penerima order" bisa menyenangkan dengan hiburan, mengenyangkan dengan nasi kotak, mengganti penghasilan jam kerja harian, membuat diri merasa bangga, atau bahkan membuat mereka seolah menjadi "manusia berarti".
Jelang musim politik 2024, harusnya para politisi dan "orang-orangnya" bisa menyusun agenda yang elegan untuk menarik publik atau mengegolkan agendanya, sehingga, massa yang dihadirkan tidak merasa diprank mendadak. Hargailah mereka sebagai manusia yang berakal sehat.
Bila acaranya dikemas dengan Hari Pahlawan, buatlah agenda yang berkaitan, misalnya: orasi kebangsaan. Bila agenda mengumpulkan massa dikemas dalam acara tasyakuran menang olimpiade, hadirkanlah para pemenang ke khalayak hadir, biar dikenal. Beri mereka tambahan hadiah atau doorprize. Bila agendanya adalah unjuk kekuatan, berikanlah pitutur luhur yang heroik, penuh semangat dan digdaya loyalitas. Bila agendanya berupa peringatan harlah, buatlah agenda yang mengingatkan jama'ah akan pentingnya kesinambungan sejarah harlah.
Terlalu norak bila ada ketua penyelenggara pengajian melangsungkan acara syukuran atas suksesnya pengajian tanpa mengundang panitianya, yang berjibaku selama berpekan-pekan. Ora nyambung, tidak elegan, dan mudah dibaca sebagai tanda atas adanya realitas yang ditutupi. Mau dibantah dengan hujjah aswaja sekalipun, nuansa kemproh tak bisa dicampakkan.
Kompetisi politik dalam demokrasi memang terkesan hanya formalisme, yang tentu membutuhkan rekayasa sosial menuju puncak. Dalam rekayasa, butuh kerjasama. Itupun bila rasionalitas akal masih dibutuhkan. Bila tidak, ya sak karepmu! [badriologi.com]