Screenshoot tampilan video dari instagram. Foto: dokumen penulis. |
Oleh M. Abdullah Badri
KETIKA Ketua MUI Jepara menghadiri acara Arba'in Syiah di Jepara pada awal September 2023, saya sempat mengkritik tidak elok. Pembelaan pun muncul. Katanya, kehadiran MUI di tengah Arba'in adalah bentuk pendampingan. MUI menyatakan sesatnya Syiah kok ketuanya hadir berbicara. MUI setara ormas Islam. Ketuanya bukanlah kepala daerah setingkat Bupati atau Wakil Bupati.
Bukan hanya itu, pembelaan benarnya Ketua MUI menyambut acara Arba'in Syiah di Jepara merembet ke klaim kalau Syaikh Abdul Qadir Al-Jilani (w. 561 H) yang sangat dihormati oleh ulama NU adalah tokoh Syiah, bahkan disebut Imam Syi'ah. Apakah klaim sesat ini ingin menyebut NU (secara tidak langsung) sebagai Syiah ala Syaikh Abdul Qadir Al-Jilani? Na'udzubillah, bila iya.
Menanggapi hal itu, ada baiknya kita membaca manaqib beliau di kitab-kitab manaqib babon semacam Qala'idul Jawahir dan Khulashoh Mafakhir. Atau, langsung merujuk Kitab Al-Ghunyah karya Syaikh Abdul Qadir Al-Jilani sendiri.
Dalam artikel ini, saya akan menyitir banyak pendapat Syaikh Abdul Qadir Al-Jilani di Kitab Al-Ghunyah fil Akhlaq wat Tashawwuf wal Adabil Islamiyyah (2 Juz), yang dalam koleksi saya pribadi ditahqiq oleh Abu Abdirrahman Sholah bin Muhammad bin Uwaidhah.
Syaikh Abdul Qadir menyatakan, ahlussunnah wal jama'ah tidak terbagi dalam banyak firqah (golongan) laiknya Khawarij (15 firqah), Muktazilah (6 firqah), Murji'ah (12 firqah), Syiah (32 firqah), Musyabbihah (3 firqah) dan lainnya.
Satu-satunya golongan yang selamat adalah ahlussunnah wal jama'ah, yang disebut kalangan Rafidhah Syiah sebagai kelompok Nashibah (ناصبة) atau kelompok penyulit diri sendiri karena menyetujui kepemimpinan berdasarkan asas akad (pemilihan atau penunjukan), bukan atas dasar nash sebagaimana diyakini kelompok Syiah. (Al-Ghunyah: 1/175-176).
Syiah disebut Syiah (شيعة) karena kelompok ini mendukung kepemimpinan Sayyidina Ali bin Abi Thalib ra, lebih mengunggulkannya di antara para sahabat Nabi Muhammad Saw yang lain, dan tidak mengakui kepemimpinan Sayyidina Abu Bakar As-Shiddiq ra. Kelompok yang mencampakkan kepemimpinan Abu Bakar ra ini disebut juga sebagai Syiah Rafidhah, yang menurut Syaikh Abdul Qadir Al-Jilani terpecah menjadi 14 sub-firqah. (Al-Ghunyah: 1/179).
Menurut Syaikh, seluruh sub-firqah Syiah Rafidhah menyatakan sahnya imamah (kepemimpinan ahlul bait turun temurun) berdasarkan ketetapan langit (nash). Mereka juga menyatakan kemakshuman imam mereka dari segala kesalahan, lupa, lalai dan kekeliruan, laiknya para Nabi.
Para sahabat yang melepaskan diri dari pengakuan Imamah Imam Ali bin Abi Thalib dianggap murtad semuanya, kecuali enam orang, yakni: Ali, Ammar, Miqdad bin Al-Aswad, Salman Al-Farisi dan dua orang lain. Syiah Rafidhah meyakini orang-orang yang sudah meninggal akan kembali ke dunia ini sebelum hari perhitungan dimulai, alias reinkarnasi. (Al-Ghunyah: 1/180).
Kritik-kritik Syaikh Abdul Qadir Al-Jilani kepada Syiah dan pecahan kelompoknya amat panjang. Di bagian ketiga Kitab Al-Ghunyah, Syaikh Abdul Qadir Al-Jilani masih melangsungkan kritik kepada Syiah. Syaikh memberikan bantahan khusus kepada kelompok Syiah yang mengecam tradisi berpuasa sunnah di Hari Asyuro (Hari ke-10 Muharram). Menurut Syiah, berpuasa di Hari Asyuro tidak boleh dilakukan (لا يجوز) karena pada hari itu, Sayyidina Husain terbunuh di Karbala.
Syaikh Abdul Qadir Al-Jilani berkata, pelarangan berpuasa di Asyuro atas nama berkabung memperingati hari naas terbunuhnya Sayyidina Husain adalah pendapat yang keliru (خاطئ) dan madzhab yang hina dan berpenyakit (مذهبه قبيح فاسد). Bila perayaan berkabung berlebihan dibolehkan, maka, Hari Senin lebih layak dijadikan hari berkabung, karena di hari inilah Rasulullah Saw dan Abu Bakar As-Shiddiq wafat. (Al-Ghunyah: 2/93).
Meski begitu, di Hari Senin, puasa tetap disunnahkan. Karena itulah, kata Syaikh Abdul Qadir Al-Jilani, Hari Asyuro tidak boleh dijadikan peringatan terjadinya musibah (يوم عاشوراء لا يتخذ يوم مصيبة). Asyuro lebih utama dijadikan hari bahagia, dimana para Nabi alaihimus salam, telah diselematkan oleh Allah Swt dari para musuhnya. Di Hari Asyuro, Fir'aun bersama kaum tak beriman kepada Nabi Musa as pun, ditenggelamkan di laut oleh Allah Swt. (Al-Ghunyah: 2/93-94).
Andai Hari Asyuro boleh dijadikan hari berkabung, harusnya para sahabat dan tabi'in merayakannya terlebih dulu. Nyatanya tidak. Padahal, masa hidup mereka lebih dekat (dengan Sayyidina Husain) dan hati mereka lebih ikhlash dibanding manusia setelahnya. Justru para sahabat menganjurkan agar Asyuro dijadikan hari khusus membahagiakan keluarga dan tetap berpuasa sunnah. Sayyidina Hasan bin Ali ra pun menyatakan pentingnya berpuasa di Bulan Asyuro. Dia berkata: صوم يوم عاشوراء فريضة. (Al-Ghunyah: 2/94).
Syaikh Abdul Qadir Al-Jilani masih memiliki argumen lain untuk menolak kebatilan larangan berpuasa di Hari Asyuro. Semuanya berakhir pada pendapat Syiah yang tidak berdasar, berpenyakit dan hina.
Pertanyaannya, apakah semua kutipan di atas tidak cukup untuk membuktikan bahwa Syaikh Abdul Qadir Al-Jilani bukanlah Syiah? Bila masih belum cukup, artikel berikutnya akan saya tulis berseri. Wallahu a'lam.
M. Abdullah Badri, Ketua MDS Rijalul Ansor PC GP. Ansor Kab. Jepara