Alun-alun Sumowono Kab. Semarang. Foto: dok. istimewa. |
Oleh M. Abdullah Badri
TIDAK banyak warga Desa Sumowono yang mengetahui muasal desa hingga bisa disebut Sumowono. Sekarang, desa itu menjadi salah satu nama kecamatan di Kabupaten Semarang, Jawa Tengah. Sumowono sudah ada sejak 400an tahun yang lalu. Versi ini tentu berbeda dari versi Sumowono di zaman perang gerilya Pangeran Diponegoro.
Alkisah, di zaman era Sunan Kalijogo masih hidup, ada seorang perempuan bernama Srigiti yang lahir di kampung hutan (sekarang Sumowono). Ketika lahir, Srigiti sudah ditinggal wafat ibundanya. Pada umur lima tahun, ayahnya wafat. Karena ditinggal kedua orangtua sejak kecil, Srigiti tidak begitu mengenal nama dan asal-usul kedua orangtuanya. Dia kemudian diasuh oleh keluarga, yang hidup dengan kepercayaan kuno menyembah pepohonan.
Untuk bertahan hidup, dia menjadi pengepul kembang (Jawa: sumo) yang dijual kepada orang-orang yang biasa menggelar sesaji di sekitar kampungnya. Kala itu, orang Jawa masih banyak yang menjadi penyembah pepohonan, seperti dirinya, yang mengikuti jejak orangtua asuhnya.
Setelah bunga-bunga hutan terkumpul, Srigiti menukarnya dengan beras atau ketela, untuk sekedar bertahan hidup. Srigiti paling suka bila di hutan (Jawa: alas) ia memeroleh bunga putih yang waktu mekarnya sangat singkat di tengah malam. Harganya mahal. Orang-orang menyebutnya sebagai bunga Wijaya Kusuma.
Dulu, bunga itu hanya tumbuh subur di sekitar Gunung Lawu. Untuk mendapatkan bunga tersebut, Srigiti harus mencarinya hingga ke tengah hutan lebat. Dia memang sosok anak perempuan yang menyatu dengan hutan, demi sesuap nasi.
Melarikan Diri Hingga Wafat
Di umur 13an tahun, kampung Srigiti didatangi Pangeran Rada Sutra. Dia sosok gagah tapi suka adu jago dan acap membuat onar masyarakat desa. Kabar yang didengar Srigiti, Rada Sutra suka membunuh orang yang tidak mau menuruti perintahnya.
Melihat paras cantik Srigiti yang kearaban, Rada Sutra bermaksud ingin menjadikannya sebagai wanita simpanan. Namun, Srigiti menolak. Dia memilih kabur dari kampung, mengamankan diri dan lari ke hutan.
Di tengah hutan inilah dia bertemu dengan sosok laki-laki misterius berwajah tampan dan bercaping blangkon. Srigiti menduga, dia adalah Sunan Kalijogo. Para tetangga menyebut Sunan Kalijaga sedang sibuk keluar masuk hutan sebagai penyatru (pencari) jejak Syaikh Siti Jenar yang dicari-cari untuk diekseskusi.
Lewat laki-laki bercaping itulah, Srigiti dilindungi, tapi, sebelumnya, Srigiti diajak bersyahadat dulu. Sunan Kalijaga sedih melihat Srigiti yang menyembah pepohonan, padahal, orangtuanya adalah keturunan Tarim, Yaman, yang beragama Islam. Setelah disyahadatkan kembali, dia diajak jagongan. Salah satu isi jagongan tersebut: hukum pacaran adalah zina. Hanya itu yang diingat Srigiti dari guru satu-satunya itu.
Tanpa diketahui rimbanya, Sunan Kalijaga raib lagi, mencari Siti Jenar ke hutan-hutan lain. Srigiti pun terus naik ke pegunungan hutan, sendirian. Perutnya sakit. Bukan karena lapar, tapi akibat mengalami kram tanpa ditemukan adanya penolong.
Sejak Subuh disyahadatkan, dia terus berjalan, lari dari kejaran Pangeran Rada Sutra. Sekitar pukul 11 siang, saat berteduh di bawah pohon besar, Srigiti mengalami kram hingga lemas. Perempuan 13 tahun itu pun akhirnya wafat syahid husnul khatimah walau belum pernah melaksanakan ibadah shalat.
Ya. Srigiti adalah sosok perempuan yang wafat dalam kondisi syahid, mirip Amr bin Tsabit Al-Waqash (Al-Ushairim), sahabat Nabi Muhammad Saw yang sudah bersyahadat tapi belum sempat shalat karena pasca syahadat, di hari yang sama, dia ikut Perang Uhud dan syahid di medan perang, sebelum sempat belajar tentang shalat.
Sunan Kalijaga menguburkan jasad di Srigiti setelah kembali menyatru ke hutan pelarian Srigiti. Dia dimakamkan persis di bawah pohon tengah hutan, yang sekarang tidak berbekas lagi. Setelah kematiannya, Sunan Kalijaga tersebut menyebut kampung hutan wafatnya Srigiti sebagai Sumowono, yang artinya Bunga Hutan. Dia menyebarkan sebutan kampung itu ke masyarakat sekitar. Srigiti dianggap Sunan Kalijaga sebagai anak angkat perempuannya yang paling cantik.
Ya. Kematian Srigiti terjadi ketika Sunan Kalijaga santer didengar penduduk Jawa sedang sibuk mengejar Syaikh Siti Jenar (Syaikh Lemah Bang) untuk diekseskusi para Walisongo. Jadi, kematian Srigiti sebelum tahun 1.517 M (tahun wafat Siti Jenar).
Atas kemurahan Allah Swt, konon Srigiti mendapatkan keistimewaan tersendiri sebagai manusia merdeka tanpa siksa kubur. Dia tidak mati secara hakikat. Hanya pindah alam saja. Dia hidup di alam barzakh dengan selamat, tepat di hari ke-40 setelah dikuburkan.
Menurut sumber yang penulis percaya, Mbak Srigiti selalu memantau kehidupan orang-orang Sumowono hingga sekarang. Para perempuan Sumowono didoakan olehnya supaya giat bekerja seperti dirinya, yang rajin mencari kembang alas (sumowono).
Srigiti juga selalu mendoakan agar kaum ibu di Sumowono menjadi wanita shalihah. Srigiti tidak suka bila Alun-alun Sumowono yang dibangun indah itu justru dijadikan tempat pacaran. Baginya, pacaran adalah haram. Orang yang pacaran, meski ibadahnya rajin, percuma.
Karena itulah, kadang Srigiti menghilangkan (Jawa: ngumpetke) sandal orang pacaran yang shalat jama'ah di masjid atau mushalla sekitar Sumowono. Konon, di sekitar Alun-alun Sumowono Semarang sering ada kejadian sandal hilang mendadak. Wallahu a'lam.
Untuk Mbak Srigiti, Al-Fatihah! [badriologi.com]